Senin, 26 Januari 2015

CERPEN: TEROR


Tema: Cerita humor komedi di lingkungan sekitar
Judul: Teror
Karya: Marsiti

Kupandangi rumah mungil yang selama lima hari tak berpenghuni. Halaman luas terlihat gersang, penuh dedaunan kering. Tanaman hias kesayanganku pun layu. Bukan hanya itu, buah blimbing dan durian ikut berserakan. Sepertinya mereka protes atas kepergianku yang terlalu lama.

Baru saja melangkah sampai ke teras, hidungku mencium bau tak sedap. Menyengat. Tiba-tiba tubuh begidik, membayangkan sesuatu yang otak ciptakan.
Mungkin tikus mati, batinku menghibur diri. Tapi, baunya lain. Jangan-jangan …

Kuurungkan masuk ke dalam, dan membiarkan kunci tergantung begitu saja. Langkahku mundur hingga menabrak sesuatu.
“Aduh!” seru seseorang di belakangku sembari meringis kesakitan.

“Ups maaf, Mas.”

“Aih, Adek lagi ngelamunin siapa sih? Jalan aja sampai nabrak-nabrak gitu,” tanyanya.

“Ngelamunin ...,” kata-kataku terhenti, berganti tawa begitu melihat Kangmas tergeletak di lantai sembari memeluk tas. Langsung saja kuulurkan tangan.

“Uh, orang apes kok ditertawain.”

“Maaf, habisnya lucu sih,” jawabku sambil menahan tawa.

Hampir saja ia membuka pintu. Langsung kutahan lengannya.

“Jangan, Mas. Adek takut!”

Laki-laki bertubuh jangkung ini mengernyitkan kening. Tak lama kemudian ia tersenyum, mengajakku duduk di kursi rotan untuk merilekskan badan. Perjalanan jauh membuat tubuh remuk, capeknya luar dalam eh luar biasa maksudnya.

“Kangmas mencium bau sesuatu, gak?” tanyaku pada Kamal, laki-laki yang ada di sebelahku.

“Iya. Seperti bau …” kata-katanya terhenti.

“Bau apa, Mas?” tanyaku dengan memasang mimik serius.

“Bau keringatnya Adek, hehe,” ledek Kangmas. Langsung saja kucubit perutnya yang buncit. Hingga membuat ia kesakitan.

“Ih, orang lagi serius juga,”kesalku, “Adek jadi merinding. Coba kita analisis bersama, rumah lima hari tak berpenghuni, kosong. Pas kita pulang disambut dengan bau busuk, ini kan horror namanya? Jadi ingat film yang kemarin malam kita tonton, Mas.” Aku terdiam sejenak, slide demi slide adegan film Rumah tak Bertuan berputar di kepala.

“Jangan-jangan itu bau ma …?” Belum juga selesai ngomong, aku dikagetkan dengan suara aneh yang terdengar jelas di sebelahku.

Grrr …, grrr …
“Kangmassss …,” teriakku. Sontak kupukul bahunya. Huh, menyebalkan sekali. Bagaimana tidak coba, lagi serius-seriusnya bicara, eh yang diajak malah enak-enakan tidur, mendengkur tanpa bersalah. Huf BT.

****
Senja mulai bergegas pergi, tergantikan awan gelap, disusul bunyi yang disertai kilatan. Aku tak jua berani masuk. Rasa takut masih bergelayut manja. Sedangkan Mas Kamal asyik bermain game kesukaannya.

Berbagai macam dugaan telah bersemayam di kepala. Satu persatu P3KRK alias Pertolongan Pertama Pada Kejadian di Rumah Kosong kurancang dengan seksama.

“Yes!” seruku girang.

Kangmas terperanjat, benda yang ada di tangannya hampir terpental.

“Ada apa sih, Dek? Ngagetin Kangmas aja deh,” tanyanya, lalu kembali fokus ke layar HP.

Aku hanya senyum-senyum. Sebentar lagi IBJD alias Istri yang Berperan Jadi Detektif akan beraksi. Akan kutunjukkan pada Kangmas tersayang, kalau wanita yang satu ini bisa jadi pahlawan.
Duh senangnya. Pujian demi pujian dari Kangmas terbayang sudah.

“Adek memang cerdas. IBJD ok. Detektif Conan aja kalah.” Senyumku geli.

“Kangmas gak nyesel pilih Adek.” Jadi selama ini nyesal? Rasanya mau kutimpuk tuh kepala. Tapi bagaimana bisa, orang ini hanya lamunan. Senyumku tambah melebar.

“Sepertinya Adek lagi kurang sehat, deh!” serunya.

“Apa?” aku terbelalak mendapati wajah unyu-unyu Kangmas sudah di hadapanku. Huf, orang lagi enak-enakan ngelamun malah diganggu.

Yuk, ah kita masuk.

Dengan langkah pelan-pelan, aku dan Mas Kamal meraba-raba tembok. Untuk sementara bau tak begitu menyengat. Duh, baru ditinggal beberapa hari saja sudah lupa letak saklar ada di mana. Maklum, kami menempati rumah ini baru sebulan yang lalu, hadiah pernikahan dari sang mertua.

Semakin ke dalam, bau busuk semakin menyengat hidung. Masker yang kupergunakan pun tak mempan. Suasana horor benar-benar terasa.
Dengan daya ingat yang tak sampai 50 persen, tanganku menemukan benda yang sedari tadi dicari-cari.

Klik!
Lampu tak menyala.
Klik! Klik!
Lampu tak jua menyala.

Hingga kuulangi berkali-kali, lampu tak mau mengeluarkan cahayanya.

“Sepertinya mati lampu, Mas.”

“Tunggu di sini yak, Dek. Kangmas cari penerang dulu.”

Ingin rasanya ikut, tapi bunyi langkahnya sudah keburu menjauh.
Aku meringkuk kedinginan. Entah posisiku ada di mana, yang pasti tak jauh dari pintu depan. Bermacam-macam pikiran negatif berkelebat saling bergantian. Dan film horor itu …. Ah, membuatku semakin ketakutan.

Kangmas lama banget, batinku protes.
Entah sudah berapa lama aku menunggunya, namun ia tak juga kembali. Cemas.
Dilema. Antara tetap bertahan di sini atau memaksakan saja mencari Kangmas.

“Kir, pokoknya loe harus ngalah! Sekali-kali biar dia pakai cara gue. Walau bagaimanapun, Hati tak pernah salah,” kata Hati dengan PDnya.

“Kagak mau! Pokoknya gue gak mau kalah dari loe,” jawab Pikiran dengan nada emosi.

Setelah melewati perdebatan yang cukup pelik, akhirnya pikiran kalah. Hatiku lebih condong mencari Kangmas tersayang.
Baru beberapa melangkah, aku tersandung benda keras. Tak ayal, tubuh mungilku terpelanting. Pusing.

I-ini … a-pa?” tanganku memegang sesuatu, kenyal.

“Aoww …,” jeritku histeris. Rasa takut menjalar ke relung hati, begidik. Tak mampu kumelarikan diri, kaki terasa berat, seperti ada beban yang membanduli. Saking takutnya, sampai gak terasa aliran hangat membasahi kaki.

***
Gemericik hujan tak jua berhenti. Petir pun tak mau ketinggalan meramaikan malam yang semakin larut.

“Berani gak berani pokoknya harus berani, titik,” bisik nuraniku.
Setelah mampu menguasai keadaan, aku bergegas mundur, menenangkan diri.

Dengan dibantu senter dari Hp lowbet yang tersimpan di saku celana,sesegera mungkin indra perabaku mencari sesuatu yang kupegang barusan.
Samar-samar, terdengar suara. Sepertinya tak asing lagi di telinga.

Grrr … grrr …
“Kangmasss …” Lengkinganku untuk yang kedua kali, sedangkan ia malah cekikikan, menertawakan ketakutanku.

Kangmas benar-benar berhasil membuatku mati kutu eh hampir mati berdiri..
Lelah. Akhirnya kami putuskan untuk mencari muasalnya bau busuk esok hari.

“Dek, yuk tidur dulu. Mas capek banget,” ajaknya, aku pun berjalan mengekorinya.

***
Baru saja memejamkan mata, bulu kudukku berdiri seketika. Seiring suara aneh yang baru saja terdengar dari ruang belakang..
Lamat-lamat menghilang, membuatku semakin ketakutan.

“Mas, bangun!” Kugoyang-goyangkan tubuh laki-laki yang sebulan ini sudah resmi menjadi suamiku.

“Hmm, Kangmas ngantuk banget, Dek,” jawabnya malas-malasan.

“Sebentar saja, please,” aku memohon.

Masih dengan mata terpejam, Mas Kamal bangkit dari tidur, lalu dikucek-kuceknya kedua mata.
“Mas, ayo kita keluar!”

Kangmas menggandeng tanganku, berjalan mengendap-endap. Sampai-sampai cicak di dinding iri menyaksikan kemesraan kami berdua.

“Gak ada bunyi apa-apa, Dek. Mungkin suara angin,” katanya sambil menjelajahi seisi ruangan dengan senter. Aku menghela nafas, lega. Mungkin hanya perasaanku saja. Apakah ini efek dari suka menonton film horror? Ada sedikit bunyi aja langsung menyimpulkan kalau itu bagian dari horror.

***
Aku berjalan mengikuti Mas Kamal sembari memegangi bajunya dari belakang. Mungkin karena merasa terganggu, ia menarikku ke depan.

“Istri Kangmas harus pemberani. Apalagi ini sudah pagi, memangnya gak malu sama cicak yang sedari tadi memerhatikan kita?”

Kutoleh ke atas. Senyum simpul mengembang di bibir, aku jadi malu.
Ok, meski berat dan perut mulai mual-mual. Kuturuti apa kemauan Kangmas. Bagaimanapun juga, ia ada benarnya. Jadi teringat rencana semula, IBJD.

Semangatku mulai liar, jurus seribu langkah yang pernah kukuasai sewaktu SMP dulu kugunakan sebaik mungkin. Kangmas malah kelimpungan, bingung apa yang akan diperbuat. Mungkin tak menyangka istrinya bakalan secepat ini jadi pemberani.

“Aih, Kangmas kok malah bengong. Itu juga, ngapain bawa-bawa panci segala,” celotehku diiringi tawa. Hehee lucu juga. Gemes jadinya.
Berbagai peralatan sudah disiapkan, ada ikat tali, bogem, gunting, kain, lakban, plus panci yang dibawa suamiku.

Berlahan pintu menuju dapur dibuka. Perutku sudah tak mau diajak kompromi. Tahan-tahan.
Hoek!
Makanan yang tersimpan dalam perut keluar seiring dibukanya pintu dapur. Bau busuk menyembul seketika.
Mataku terasa berkunang-kunang begitu melihat pemandangan di depan mata.

“Mas, a-aku menyerah,” nadaku parau.

Dengan sigap, Mas Kamal mengantarkanku ke sofa, lalu bergegas membuatkan air hangat.

“Biar Kangmas yang membereskan semuanya. Adek duduk saja di situ, jangan lupa air hangatnya diminum biar perutnya agak enakan.”

Aku mengangguk, lemas menguasai kekujur tubuh
Apa yang baru saja kulihat, terus terbayang-bayang di kepala. Menyaksikan berpuluh-puluh belatung sedang koprol di pintu kulkas, bahkan ke lantai-lantai.

Ternyata bau busuk itu dari dalam kulkas. Daging, ayam, ikan, dan makanan di frezzer dipenuhi belatung semua. Syok. Dan aku baru menyadari, sebelum pulang kampung selama lima hari, kutinggalkan rumah dalam keadaaan listrik mati.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar