Minggu, 28 Desember 2014

Liarmu Penolongku



Liarmu Penolongku
Oleh: Sitie CB

“Bang, pokoknya aku gak setuju, kalau tanah itu harus dijual!” seruku pada Bang Maman.

“Dari mana kamu tahu rencana itu, Ra?” 

“Semalam, tak sengaja aku mendengar percakapan Abang dengan Pak RT.” Aku tertunduk, merasa bersalah.

“Tapi ini demi kesembuhan Ibu, Ra?” jawabnya tetap pada pendirian.

“Bang! Itu tanah peninggalan Bapak satu-satunya. Kalau dijual, nanti kita tak punya tanah lagi!” nadaku semakin tinggi. Masih dalam keadaan jengkel, aku  pun menuju kamar ibu.
Kudapati tubuh kurusnya masih berbalut selimut, diiringi dengkuran halus. Kutatap wajahnya lekat-lekat, garis-garis keriput menghiasi keningnya.

Sepeninggal bapak, ibu jadi sering sakit-sakitan. Batuk yang dideritanya tak jua sembuh. Meskipun sudah dibawa ke puskesmas dan meminum semua jenis obat batuk, tapi hasilnya nihil! Hingga akhirnya abang putus asa dan akan menjual tanah itu untuk berobat ibu ke kota.

“Bu, Ratih berjanji, akan melakukan apapun demi kesembuhan ibu,” bisikku.
Dan aku takkan membiarkan Bang Maman menjual tanah itu, batinku yakin.
*
“Memangnya Abang sudah gak punya simpanan lagi untuk berobat Ibu?” tanyaku setelah keadaan mulai tenang.
Ia hanya diam, pandangannya terus mengarah ke pekarangan di samping rumah.

“Sebenarnya abang sudah gak kerja lagi, Ra. Perusahaan telah mem-PHK abang dari sebulan yang lalu,” jawabnya sendu.

“Kenapa Abang gak bilang sama aku?”
***
Hari ini juga kuniatkan untuk mencari kerja, apapun pekerjaannya, asalkan halal aku terima. Tapi di luar dugaan, ternyata mencari kerja itu tak mudah. Dalam terombang-ambingnya diri yang tak jelas tujuannya, aku bersender di bangku taman, menikmati sang mega bersama teman-teman.
Pandanganku tertuju pada penjual koran yang sedang menjajakkan dagangannya di pinggir jalan, aku pun menghampirinya.

“Bang, koran yang memuat lowongan kerja ada gak?” tanyaku pada pemuda beranting satu.

“Ada, Mbak. Ini,” jawabnya sembari menyodorkan koran yang aku minta.

Kucari-cari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan terakhirku, tapi tak ada. Rata-rata minimal harus lulusan SMA/sederajat. Sedangkan aku hanya lulusan SMP.

Huf!
Rasanya lemas sekali.

Dalam keterputusasaan, aku melihat artikel dengan judul ‘OBAT HERBAL TRADISIONAL’. Buru-buru kubaca.

Meniran (Phylanthus urinaria, Linn) merupakan tumbuhan liar yang banyak tumbuh di tempat lembab pada dataran rendah daerah tropis. Tumbuhan ini banyak tumbuh di hutan, kebun,
ladang dan halaman rumah. Tumbuhan ini biasa dianggap rumput liar, padahal tumbuhan meniran dapat dimanfaatkan sebagai obat herbal tradisional, seperti: Batuk, ayan, sakit kuning, malaria, demam, haid berlebihan, disentri, luka bakar, luka koreng, jerawat.”*

Tak terasa butiran bening menjadikan aliran sungai kecil di pipi. Dengan perasaan bahagia, aku berlari pulang. Ingin rasanya cepat-cepat sampai rumah dan berhambur memeluk ibu dan abang.

“Assalamu’alaikum. Ibu, Abang aku pu-,” Kata-kataku terhenti begitu melihat Pak RT dan tiga orang lainnya sedang berbincang tentang penjualan tanah.

“Tunggu!” Semua orang menolehku.
“Tanah itu tak jadi dijual!” 

“Ratih!” tegur Bang Maman, ia pun menghampiriku yang masih di ambang pintu.

“Ibu harus segera dirawat, Ra. Kita butuh biaya yang tak sedikit!” lanjutnya

“Aku sudah menemukan obat yang tepat untuk Ibu.” Kusodorkan artikel yang baru kubaca.
Ia hanya mengernyitkan kening, dihelanya napas panjang.

“Kamu yakin Ibu akan sembuh setelah meminum ini, Ra?” Kuanggukkan kepala.

“Kita harus yakin, Bang! Tak salahnya kita coba, apalagi tanaman ini banyak bertebaran di pekarangan rumah.” Senyumku merekah begitu Bang Mamam menyetujui usulanku.

Setelah membatalkan penjualan tanah dengan Pak RT, aku dan abang menuju pekarangan untuk mengambil tanaman menir.

“Siapkan 3 – 7 batang tanaman meniran lengkap (akar, batang, daun, bunga), Madu secukupnya. Bahan dicuci bersih, kemudian ditumbuk halus dan direbus dengan 3 sendok makan air masak, hasilnya dicampur dengan 1 sendok makan madu sampai merata. Diminum sekaligus dan dilakukan 2 kali sehari.”*

Obat herbal ini kuberikan pada ibu secara rutin. Berlahan, kesehatan ibu membaik, meskipun belum pulih seutuhnya.

Terima kasih menir, karena ke‘liar’anmu ibuku sembuh dari penyakit batuk yang telah lama dideritanya.
Dan kini, hari-hari kuhabiskan untuk berkebun. Mengurus si menir, si cempluk, si mutiara, dan masih banyak lagi rumput liar yang selama ini terabaikan.

NB: Tanda * diambil dari  http://raden-abdie.blogspot.com/p/tanaman-liar-yang-bermanfaat.html

Jakarta, 29-12-2014

Jumat, 19 Desember 2014

PUISI: RINAI DESEMBER




Rinai Desember
Oleh: Marsiti

Gelegar menyambar
Ketika sang mega membentang
Kilatkilat  menyilaukan netra
Seakan memburu; resah

Senja pun menghilang, rinai tak jua usai
Bulirnya mengusik ketenangan; deras
Jiwajiwa begidik;
merapal kalimat-Nya

Ah, rinai …
Hadirmu merangkai tangkai; menjulai
Menghijaukan bumi
Berkelokkelok sungai teraliri

Hai, jiwa yang tak bersyukur,
adakah cacian pantas terucap?
Sedangkan nikmat-Nya jelas
Bercucuran lewat rintikan bening

Sadarkah hai jiwajiwa lemah?
Tak ada yang abadi
Bahkan, setetes air pun mampu meluluhlantakkan segalanya
Hancur lebur, tak tersisa

Dalam buliranbuliran bening
Ia titipkan hikmah,
terbungkus malapetaka
juga rezeki-Nya

Jakarta, 20-12-2014

Selasa, 25 November 2014

FIKSIMINI

Fiksi # Tantangan terbesar #

Orang-orang berlalu lalang tiada hentinya. Aku pun jengkel.

“Kalau begini, lebih baik aku berhenti saja. Capek!” keluhku pada Anto. Kerja menjadi OB ternyata sangat melelahkan.

“Mana ada kerja yang gak capek, Don?” jawabnya sembari mengepel lantai koridor Rumah Sakit, “Tidur aja capek!” lanjutnya.


Bukannya membantu Anto, aku malah duduk. Menyesali pilihanku mau bekerja di sini.
Sedangkan kawanku terus saja mengepel, sesekali terdengar ia bersenandung, tanpa peduli pada orang-orang di sekitarnya.

“Ayolah, Kawan. Jangan suka mengeluh. Apalagi bermalas-malasan. Kita syukuri saja apa yang ada.”

Huf. Dengan ogah-ogahan aku menghampirinya, lalu membantu Anto mengepel.


“Kamu tahu gak? Tantangan terbesar bukan saat kita menghadapi kesulitan tapi saat kita melawan kemalasan dan keluhan diri kita sendiri,” bisiknya.
--------------------
SEDERHANA. Ya benar kisah di atas sangat sederhana. Adegannya sederhana. Latarnya sederhana. Namun seringkali yang sederhana itu tidak sederhana. Begitulah kisah di atas. Menceritakan seorang Doni, yang kerja menjadi OB, dan merasa itu bukan tempatnya. Dan banyak nian orang yang merasakan demikian, yaitu saat merasa apa yang sekarang ditempatinya bukanlah tempatnya. Banyak orang mengeluhkan tempatnya bekerja, dan merasa seharusnya dia bukan kerja di sana. Namun Anto temannya memberi nasihat hebat. Kisah ini cukup berkesan, buat siapa saja, yang merasakan jenuh, lelah dan bosan dalam kerjanya, untuk selalu memandang, bahwa semua itu “Tantangan Terbesar”. Sip, sangat cocok dengan event ini: "Motivasi". Karenanya, fiksi ini saya vonis sebagai juara pertama. (Kang Dana Penjual Buku)

FIKSIMINI

Fiksi # Penengadah tangan Vs Pak Tua #

Kupandangi punggung Pak Tua yang semakin membungkuk. Ia terus berjalan memikul dagangannya yang belum laku-laku.
Matahari semakin beranjak naik, Pak Tua pun berteduh di bawah pohon.

“Pisangnya berapaan, Kek?” tanya perempuan separuh baya.

“Murah kok, Neng. Satu sisir 4000,00,” jawab Pak Tua sembari memberikan senyum tulusnya.

“Kalau begitu saya beli tiga sisir.”

Bergegas, Pak Tua memasukkan pisang ke dalam kantong plastik.

Perempuan separuh baysa yang sehari-harinya menengadahkan tangan itu pun menghampiri para pemulung, lalu membagi-bagikan pisang yang baru dibelinya.

Jumat, 26 September 2014

KEBEBASAN DIRI



Tema: Kisah remaja popular dan kehidupannya
Judul: Kebebasan Diri


“Tidak ada yang namanya kebebasan, kecuali di surga kelak.”

Kata-kata itu masih terngiang di telinganya. Terdengar pelan, namun jelas.
Benarkah?

Sebenarnya kata siapa? Mungkin dari radio milik Bapak yang tak sengaja ia dengarkan.
Panji masih termenung. Sesekali wajahnya merah padam. Dan untuk kesekian kali, ia mengepulkan asap dari mulut, lalu membuang benda yang telah membuatnya kecanduan itu ke pelataran rumah.
Tatapan mata tak fokus, gerak tubuhnya mengisyaratkan kegelisahan. Malam semakin larut, namun tak ada tanda-tanda ia beranjak dari tempat favoritnya. Tetap asyik menikmati nyanyian jangkrik dan segelas kopi hitam di beranda.

Angannya melambung, membuat Panji berpikir tentang kebebasan yang ia rasakan.
Lagi-lagi, benarkah?
***
“Bu, Panji sekolah dulu,” pamitnya pada wanita separuh baya, ia mencium tangan, lalu lekas pergi.

“Tunggu, Nak!” Ia menghentikan langkahnya.
“Tumben gak minta uang jajan,” ucap wanita itu dengan lembut.

“Yang kemarin masih ada, Bu,” jawab remaja berseragam putih abu-abu.
Langkahnya sedikit ragu, terasa berat. Seperti ada pergulatan batin.
Namun di sisi lain, ia bahagia.

Di tengah jalan, Panji berpapasan dengan Riko, Enji, dan Alan. Kakak kelasnya.

“Ji, gimana? Nanti malam jadi pergi ke Alun-alun gak?” tanya Riko.

“Jadi, dong!” jawabnya mantap, namun di dalam lubuk hati terdalam, rasa bersalah berkecamuk, membuat Panji sedikit ragu.

Harusnya aku tak mengikuti ajakan mereka. Tapi, aku pun tak mau nanti dikata-katain kuper, batinnya bertentangan.

“Nah, gitu dong. Jadi laki-laki jangan kuper. Contohnya kita ini,” ucap Alan lalu diiyakan oleh Riko dan Enji.

“Tapi ngomong-ngomong, loe dapat duit dari mana, Ji? Bukankah Bapakloe sangat perhitungan?”
Panji diam, pertanyaan temannya tak dijawab.

“Ya sudah, kita gak perlu tahu Panji dapat uang darimana. Yang penting malam ini kita bersenang-senang, ha ha ha.” Mereka tertawa senang.
Sedangkan Panji terdiam, rasa bersalah masih terus membayanginya.

***
Dididididam dididum dagadagadaga digidum digidum

Sambil bercermin, dan menyemprotkan parfum ke bajunya, Panji bersenandung, mendendangkan lagu rap yang sedang populer di kalangan remaja.

“Bapak mana, Bu?” tanya Panji pada ibunya yang sedang menjahit baju pesanan orang.
Sedari pagi ia tak melihat Bapaknya ada di rumah.

“Bapak nglembur, mungkin nanti malam baru pulang. Memangnya kenapa? Tumben-tumbennya kamu nyariin Bapak!

“Nggak ada apa-apa.” Ia tersenyum, lalu berlalu dari hadapan ibunya.

Yes!
Ia nekat. Tak memikirkan dampaknya. Yang terpenting malam ini ia akan bersenang-senang. Mencicipi suasana malam Minggu bersaman teman-temannya.

“Nak, kamu mau kemana? Malam-malam begini berpakaian rapi dan…,hmmm wangi lagi,” tanya ibunya penasaran. Tidak biasa-biasanya, anak bungsu yang paling dimanja, malam ini terlihat berbeda.

“Anu, Bu…,” jawabnya ragu, “Panji mau janjian sama teman-teman ke Alun-alun,” jelasnya.

“Malam-malam begini?” Ibunya mengernyitkan kening,
“pergi sama siapa? Apa sama teman barumu itu, yang suka kebut-kebutan kalau naik motor dan suka keluyuran tidak jelas, Nak?” Pertanyaan retoris ibunya membuat Panji sedikit bersalah, “sebenarnya Ibu tidak suka lho, kamu bergaul dengan mereka! Takut ketularan tidak baiknya. Kalau Bapak tahu, kamu bakalan dimarahi!” lanjut Bu Ani panjang lebar. Sejatinya ibu mana yang mau anaknya salah dalam bergaul?

“Ah, Ibu. Panji kan sudah gede dan ingin gaul kayak mereka!” jawabnya, lalu pergi tanpa pamit. Hatinya sedikit dongkol. Ia iri pada teman-teman yang selalu dibiarkan oleh orang tuanya, bebas tanpa kekangan dan tidak banyak aturan.
Ibunya hanya bisa mengelus dada, ketika si bungsu mulai berubah.

***
“Wow, ada yang beda nih, Panji terlihat lebih menarik,” celetuk Riko ketika melihat penampilannya.

“Apanya yang menarik, bro? menurutku biasa-biasa saja,” timpal Enji, si rambut kribo.

“Parfumnya, lho. Wangi….” Seketika tawa mereka menderai-derai, membuat wajah Panji memerah, baginya itu adalah celaan. Namun ia enggan untuk menegur Riko dan kawan-kawan. Menurutnya, bergaul dengan mereka adalah jalan terbaik untuk menghilangkan jenuh, ia bosan dengan peraturan bapaknya yang ketat. Tidak boleh pergi malam-malam, dan harus belajar, belajar, dan belajar.
Arrg, membosankan.

“Yuk, kita cabut.” Suara Enji menyadarkan lamunannya.
Dengan berboncengan motor, mereka pergi menuju Alun-alun yang jaraknya lima kilometer dari rumah.

Suasana malam Minggu, Alun-alun terlihat begitu ramai. Panji diajak berkumpul bersama sekelompok remaja yang sedang asyik menggerak-gerakkan badannya, mirip seperti tarian ala boy band yang sedang ngetren-ngetrennya di zaman sekarang. Dengan pakaian longgar-longgar dan memakai topi yang lidahnya terlihat lebih pendek dan melebar dari pada topi biasa, membuat mereka terlihat menarik.

“Ji, mereka keren-keren kan,” bisik Riko.
Panji mengangguk.

“Kita ngerap dulu, yuk ,” ajak Alan.

Di tengah Alun-alun, Riko, Alan, dan Enji menunjukkan diri. Menyanyikan lagu rap disertai tarian yang mereka tiru dari salah satu boy band di televisi.


Sudah tinggalkan
Tinggalkan saja semua persoalan waktu kita sejenak
Tuk membebaskan pikiran
Dan biarkan..
Biarkan terbang tinggi sampai melayang jauh menembus awan..
Sementara tinggalkan semua aturan yang kadang terlalu mengikat dan tak beralasan teman
Memang, memang benar teman
Kita perlu cooling down dan melonggarkan pakaian
Reff:
Bebas lepas kutinggalkan saja semua beban dihatiku
Melayang kumelayang jauh
Melayang dan melayang..
Bagaikan anak kecil yang berlari bertlanjang bebas
Keluarkan suara suara canda tawa dan senyum puas
Berteman siraman hujan di lapang yang luas
Tak gentar gelegar petir yang mengaum buas
Yang penting yang penting semua senang kawan
Sejak kehadiranmu uh uh bumi terkekeh riang
Dadaku berdentam
Dididididam dididum dagadagadaga digidum digidum
Kita saling berpandang berpegangan tangan erat
Dan biarkan tubuh tersiram hujan yang lebat
Dan pekat di bawah naungan awan nan gelap
Terkadang menyilaukan di kala kilat lewat
Apakah kita kan selalu bersama-sama, kawan?
Apakah kita kan selalu berjalan beriringan?
Masih di dalam lebatnya hujan kita berjalan
Bersamamu, kita kan tebarkan senyuman

Wow!
Panji yang belum bisa seperti mereka berdecak kagum, diam-diam ia ingin menirukan gaya teman-temannya.

***
“Panji! Bangun!” teriak Pak Ahmad membangunkan anaknya yang masih mendengkur.

Panji yang sedang asyik-asyiknya bermimpi terbangun. Ia kaget, ketika membuka mata mendapati Bapak ada di hadapannya.

“Hari libur, bukannya bangun pagi, malah enak-enakan molor!” gerutu Pak Ahmad,
“ini nih, kalau malam-malam keluyuran gak jelas. Sudah dilarang-larang, masiiih saja nekat.” Tak henti-hentinya laki-laki berbadan kurus, yang tak lain adalah bapaknya mencak-mencak.
Remaja yang usianya menginjak 16 tahun itu terbengong, karena belum sepenuhnya sadar dari tidur, begadang membuat kepalanya pening, hingga tak menyadari hari sudah siang.

“Nak, ayo bangun. Nanti Bapak marah lagi,” bujuk ibunya.

***
Ternyata kemarahan dari bapaknya tak pernah dihiraukan, masuk telinga kiri lalu keluar telinga kanan.

Setiap malam Panji habiskan untuk berlatih rap di Alun-alun. Musik hip hop telah melenakannya. Tak ayal, pagi-pagi bangun kesiangan dan sering terlambat sekolah.

“Ini apa, Ji?” tanya bapaknya kala ia melihat surat pemberitahuan di atas meja.
Langsung saja wajah Pak Ahmad menyeringai.
Ditariknya napas dalam-dalam. Berlahan diredamnya amarah yang hampir saja meledak. Kemarahan bukan solusi yang baik. Menghadapi anak remaja yang masih labil harus dengan pikiran yang jernih.

“Sebenarnya mau kamu apa, Ji? Keluar dari sekolah atau bagaimana?”

Panji hanya menunduk, ia memang salah. Otaknya terus berpikir, mencari jawaban yang tepat.

“Jadi selama ini berangkat sekolah hanya untuk bermain-main! Terus kamu kemanakan uang bulanan dan gedung yang diminta tempo hari?” Pertanyaan-pertanyaan terus saja keluar dari mulut Bapak. Sedangkan Panji masih saja menunduk, ia tak berani mendongakan kepala.

“Bapak gak pernah melarangmu bergaul dengan siapapun, asal tidak mengganggu belajarmu. Tapi, ini…” Helaan nafas panjang memutus kalimat laki-laki yang terlihat lelah.

“Panji hanya ingin kebebasan seperti teman-teman, Pak,” Jawabnya dengan perasaan takut.

“Nak, akal dan kecerdasan tidak ada artinya tanpa kebebasan. Tapi, kebebasan di sini bukan berarti kamu harus melakukan apa yang kamu mau, termasuk menuruti ego,” papar Pak Ahmad dengan mengutip kalimat yang pernah didengarnya di radio.

“Berarti selama ini Panji salah ya, Pak?”
--------------------------------------Selesai-------------------------------------------
“Tetaplah fokus memilih pada kebebasan yang
bersifat positif ya, kawan.”

NB: Masih banyak kekurangan.

AKU KENAPA?



#Event_Romantis
Sub tema : Cinta Terpendam dan atau Kasih Tak Sampai.

Judul: Aku Kenapa?

Dy, adakah yang salah tentang rasa ini?
Rasa yang tiba-tiba datang laksana ombak yang mampu menghempaskan karang, sakit!
Atau laksana Guntur yang menyambar-nyambar hingga membuatku lunglai tak berdaya. Ah, lebay, lebay sekali.

Awal yang indah, saat dia berbasa-basi di sampingku.

“Eh, Mbak. Aku sudah punya nomermu belum, ya?”

“Gak, tahu.” Jawabku sekenanya.

Beribu-ribu detik kumenanti kata-kata indah, namun layar Hp jadulku kala itu tak kunjung berbunyi. Sebal!

Ah, aku benar-benar terbelenggu.

Dy, adakah dia merasa?
Rindu ini terus membuncah, tak mau dicegah.
Haruskah ku telusuri, mendayung, lalu menyelam di hatinya?
Agar aku tahu, ada sepotong hatiku yang tertinggal di sana.

“Kadang aku bertanya, tanya dalam hati
apakah kau sebodoh itu
tak juga menyadari semua yang kurasakan, kurasakan padamu”[*]

Dua ribu hari telah kulalui, awalnya rasa untukmu akan hilang. Namun, sepertinya tak mungkin. Karena sinyal-sinyal rasa untukku  pernah terbentuk dalam senyum manis di masa lalu.
Tapi, mungkinkah rasa ini akan sia-sia?

“Perasaan yang kupendam padamu
lebih dalam dari yang engkau tahu
jika kau mau membuka pintu hatimu
percayalah nanti kau pasti akan tahu.”[*]

Sepertinya tak mungkin, dia terlalu acuh, tak pernah serius. Menganggapku hanya sebatas teman.

Dy, adakah waktuku bersamanya kurang? Hingga bibit-bibit rasa yang pernah kutanam belum jua tumbuh. Atau pupuk perhatian tak pernah kuberikan? Hingga sampai sekarang belum ada tunas yang terlihat darinya.
“Seluruh waktu yang kubagi denganmu
sungguh indah dan berarti bagiku
aku masih berharap kau akan mengerti
aku ada disini untuk kau miliki.”[*]

Argh… Haruskah ku buang ego, jaim, demi rasa yang terus membelenggu?
Aku ragu!

“Pernah aku berpikir untuk nyatakan saja
tak pedulikan semua
tapi lidahku kelu setiap kau bertanya "kamu kenapa"[*]
[*] The Rain: Cinta Terpendam