Selasa, 06 Januari 2015

ISTANA UNTUKMU VERSI 2



Istana Untukmu
Oleh: Sitie CB

Selembar kantuk menyapa, menundukkan kelopak mata yang sedari tadi belum sempat terpejam.
Namun rasa kantuk itu hilang seketika, saat kumendengar buliran bening berhamburan dari langit. Rinai turun diikuti angin kencang, membuatku semakin tak tenang.

Semakin malam, hujan bertambah deras. Kurasakan tetesan-tetesan air mengenai bahuku. Buru-buru kuambil ember dan baskom untuk menadahi air yang menetes dari genteng bocor.
Ternyata bukan hanya kamar, tapi ruang dapur juga bocor di sana-sini. Terpaksa, malam ini kurela untuk begadang.

“Mak, hujan semakin deras. Terus kita tidur dimana?” tanyaku pada emak.

Sebab, dipan yang biasa untuk merebahkan badan basah, terkena tempiasan air hujan. Maklum, rumah yang kami tinggali masih beranyamkan bambu.

“Ya sudah, kita tidur di ruang depan saja, Nak,” ajaknya.
Aku pun mempersiapkan alas tidur, bantal juga selimut.

“Oh ya, Bapak kok belum pulang, Mak? Padahal hari sudah malam,” tanyaku pada wanita berperawakan kecil.

“Mungkin masih nonton bola di rumahnya Paman Yan.”

Jam dinding menunjukkan pukul 12 malam, tapi belum ada tanda-tanda hujan akan reda, malah kini disertai petir yang terus menggelegar seakan ingin mencari sasaran.

Rasa takut berkecamuk di dada, disertai tubuh menggigil disebabkan angin yang masuk lewat celah-celah dinding. Kutatap lekat-lekat wajah emak, garis-garis di keningnya menyadarkanku akan usia yang kini telah menua, dan kutemukan seberkas cahaya kesabaran dalam menghadapi hidup ini.

“Mak, maafkan Ria!” rasa bersalah terus menghantuiku.

**
Paginya, kudapati lantai dapur dan kamar yang masih beralaskan tanah terlihat becek. Ternyata air dari selokan belakang rumah meluap, dan masuk ke dalam. Dengan sigap, aku dan emak mencari papan kayu untuk ditaruh di tanah yang basah, supaya jika berjalan, kaki tidak belepotan.

“Mak, Bapak kok belum pulang juga ya?” Aku semakin khawatir.

“Mungkin bapak lebih nyaman tinggal di sana.” Jawaban emak bagai palu yang mengenai dada, sakit.

 Kuniatkan untuk menyusul bapak, berharap laki-laki yang kini menginjak kepala tujuh mau pulang ke istana sederhana ini.
Langkah kaki terasa berat kala menginjak teras rumah berbentuk minimalis, ragu, lalu dengan hati-hati kuucap salam. Paman menyambutku dengan hangat, sehangat mentari yang mengintip dari celah pohon melinjo.

“Bapakmu demam, Nduk. Dari semalam menggigil dan batuk-batuk!” Aku tercengang mendengar perkataan dari adik bapakku.

“Bapak!”

Aku berlari menghampiri laki-laki yang rambutnya sudah dipenuhi uban.
Degup kencang di dada tak mau berhenti, aku tak kuasa melihat tubuh bapak yang masih tertidur pulas diiringi dengkuran halus. Rasa bersalah semakin menjadi, membuatku ingin berlari dan berteriak.

“Bapak, maaafkan Ria!” Namun kuurungkan.
Dalam hati yang terdalam, kusematkan dedoa juga niat untuk membahagiakan bapak dan emak.

*
“Nduk, kok awakmu nang kene?[1]” tanya bapak.

Kudekati bapak, lalu kucium tangan keriputnya.

“Ria sengaja menyusul ke sini, aku dan Emak khawatir terjadi apa-apa dengan Bapak,” jawabku sembari menyodorkan kopi hitam kesukaan bapak, “kata paman semalam Bapak demam ya? Nanti Ria bawakan obat dan mengajak Emak untuk mijitin Bapak,” lanjutku, karena aku tahu bapak hanya mau dipijit sama emak.

“Bapak baik-baik saja, Nduk. Kamu dan Emak ndak usah khawatir.”

Aku pamit ke belakang sebelum tanggul pertahanan di mataku jebol. Dada ini terasa sesak.
Kuhela napas panjang, berharap lebih tenang. Tapi salah, tangisku kian pecah. Dan kini keputusanku sudah bulat, merantau adalah jalan satu-satunya agar aku bisa bisa menghasilkan uang untuk membenahi rumah yang sudah mulai rapuh.

“Untuk sementara, biar bapakmu tinggal di sini dulu, Nduk.” Suara paman mengagetkanku, buru-buru kuseka airmata yang terus berhamburan.

Aku tak mampu menjawab, hanya anggukan kepala yang bisa kulakukan. Mungkin itu lebih baik, karena jika tinggal di rumah, keadaan bapak pasti bertambah parah.

***
Aku anak bungsu dari lima bersaudara, hidup dalam naungan kesederhanaan, dan harmonis. Meskipun rumah yang kami tinggali lebih tepat disebut gubuk, tapi tak masalah. Yang terpenting adalah kebersamaan, ketentraman.
Hingga tahun berganti tahun, satu per satu kakakku meninggalkan rumah untuk membina hidup baru. Kini tinggalah kami bertiga.


“Mak, emangnya Bapak ndak mau rumah ini direnovasi? Biar kayak rumah Paman,” tanyaku di sela-sela mencabut ubannya.

“Belum ada dananya, Nduk. Bapak juga ndak kepikiran ke situ.”

“Kenapa gak minta bantuan sama Mas Adi, Mas Aris, Mas Yanto, dan Mas Bayu, Mak? Mereka kan sekarang kerjanya sudah mapan, apalagi Mas Yanto, dia punya banyak karyawan!”

Aku bertanya demikian karena tak tahan mendengar gunjingan tetangga sebelah.
“Pak Ahmad punya anak banyak kok rumahnya masih kayak gubuk. Memangnya gak ada yang mau membantu merenovasi?”

Hati ini sakit, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, bisanya hanya menyusahkan emak dan bapak.

“Ndak usah. Bapak ndak mau merepotkan mereka. Biar kakakmu hidup tenang dengan keluarga kecilnya,” jawabnya.

Ah, emak, bapak. Aku terharu.
Namun apalah artinya aku jika hanya berdiam diri, bahkan gunjingan semakin terdengar santer, membuat hatiku panas. Aku pun tak ingin gunjingan para tetangga itu membebani pikiran mereka.

*
“Emak, Ria ingin merantau,” ucapku hati-hati, takut mengganggu kesenangannya.

Wanita yang kupanggil emak itu berhenti mengunyah kinang.

"Ria berjanji sepulang merantau akan membuat rumah kita lebih nyaman."

Terlihat telaga jernih di pelupuk mata wanita yang telah melahirkanku “Ndak usah merantau, Nduk. Nanti yang nemenim Emak dan Bapak siapa?”

“Emak?” Kupeluk tubuhnya yang ringkih, tangis kami pecah begitu saja. Haru biru menghiasi senja di akhir tahun.

*
Aku mondar-mandir tak jelas. Bingung.
Merantau yang kukira jalan terbaik, kini pupus, tergantikan kebingungan untuk berpikir lebih keras lagi, apa yang harus kulakukan?

Aha …, tiba-tiba sebuah ide melintas di kepala.

“Kamu kenapa, Nduk? Dari tadi mondar-mandir kaya setrikaan,” tanya bapak yang sedang menghisap lintingan tembakau.

“Hmm …” Aku ragu, “ oh ya, minggu depan kita main ke rumah Mas Bayu yuk, Pak. Aku kangen. Sabtu depan kan juga waktunya Mbak Endang melahirkan,” usulku.

“Oh iya, bapak sampai lali. Ya wis, besok kabari Mas Adi suruh ke sini, biar berangkatnya sama-sama.”

Yes!
Buru-buru kuberi tahu semua kakakku, untuk meminta bantuannya.

*
“Pak, Ria gak jadi ikut ya.”

“Lho, kenapa? Kemarin kamu yang ngusulin ke sana!”

“Iya. Tapi Ria mau nungguin rumah, nanti kalau hujan dan air masuk ke dalam, dan gak ada yang tahu, kan bahaya!” Sebisa mungkin kuberi alasan yang masuk akal.

Emak dan Mas Adi pun membenarkan alasanku.

“Sukses selalu ya, De. Nanti Mas Aris dan Mas Yanto ke sini, sekalian membawa timnya,” bisik Mas Adi sebelum mengemudikan mobilnya.

“Ok, jaga Emak dan Bapak selama di Jogja ya, buat mereka kerasan tinggal di sana,” balasku.

*
Rencana yang telah tersusun selama seminggu kini mulai dijalani.  Satu per satu kakakku datang, Mas Yanto membawa tim yang sudah dijanjikannya. Mereka mengangkut berbagai bahan bangunan. Dengan dibantu para tetangga yang peduli dengan rumah kami, tak beberapa lama bangunan yang diimpikan Emak dan Bapak akhirnya selesai juga.

“Bagaimana, Ri?” tanya Mas Adi.

Kuacungi jempol. Biarpun tak sebagus rumah paman, yang penting bisa untuk berteduh dan nyaman ditinggali.

*
Kedatangan orang yang kusayangi disambut dengan penuh suka cita oleh para warga. Aku tersenyum haru.
Baru saja turun dari mobil, emak dan bapak tercengang, kaget.

“Iki umaeh sopo, Nduk. Kok apik tenan?[2]” tanya bapak penasaran.

“Coba Bapak baca alamat rumahnya,” timpal Emak.

Dengan mimik tak percaya, bapak memelukku. Tangis haru yang mungkin mewakili beribu pertanyaan.

Jakarta, 5 Januari 2015
======================selesai========================
Keterangan:

[1] “Nak, kok kamu di sini?”
[2] ‘Ini rumah siapa, Nak. Kok bagus banget?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar