Sabtu, 03 Januari 2015

ISTANA UNTUKMU

Istana Untukmu
Oleh: Sitie CB

Selembar kantuk menyapa, menundukkan kelopak mata yang sedari tadi belum sempat terpejam.
Namun rasa kantuk itu hilang seketika, saat kumendengar buliran bening berhamburan dari langit. Rinai turun diikuti angin kencang, membuatku semakin tak tenang.

Semakin malam, hujan bertambah deras. Kurasakan tetesan-tetesan air mengenai bahuku. Buru-buru kuambil ember dan baskom untuk menadahi air yang menetes dari genteng bocor.
Ternyata bukan hanya kamar, tapi ruang dapur juga bocor di sana-sini. Terpaksa, malam ini kurela untuk begadang.

“Mak, hujan semakin deras. Terus kita tidur dimana?” tanyaku pada emak.

Sebab, dipan yang biasa untuk merebahkan badan basah, terkena tempiasan air hujan. Maklum, rumah yang kami tinggali masih beranyamkan bambu.

“Ya sudah, kita tidur di ruang depan saja, Nak,” ajaknya.

Aku pun mempersiapkan alas tidur, bantal juga selimut.

“Oh ya, Bapak kok belum pulang, Mak? Padahal hari sudah malam,” tanyaku pada wanita berperawakan kecil.

“Mungkin masih di tempat Paman Yan.”

Jam dinding menunjukkan pukul 12 malam, tapi belum ada tanda-tanda hujan akan reda, malah kini disertai petir yang terus menggelegar seakan ingin mencari sasaran.

Rasa takut berkecamuk di dada, disertai tubuh menggigil disebabkan angin yang masuk lewat celah-celah dinding. Kutatap lekat-lekat wajah emak, garis-garis di keningnya menyadarkanku akan usia yang kini telah menua, dan kutemukan seberkas cahaya kesabaran dalam menghadapi hidup ini.

“Mak, maafkan Ria!” rasa bersalah terus menghantuiku.

**
Paginya, kudapati lantai dapur dan kamar yang masih beralaskan tanah terlihat becek. Ternyata air dari selokan belakang rumah meluap, dan masuk ke dalam. Dengan sigap, aku dan emak mencari papan kayu untuk ditaruh di tanah yang basah, supaya jika berjalan, kaki tidak belepotan.

“Mak, Bapak kok belum pulang juga ya?” Aku semakin khawatir.

“Mungkin bapak lebih nyaman tinggal di sana.” Jawaban emak bagai palu yang mengenai dada, sakit. Kuniatkan untuk menyusul bapak, berharap laki-laki yang kini menginjak kepala tujuh mau pulang ke istana sederhana ini.

Langkah kaki terasa berat kala menginjak teras rumah berbentuk minimalis, ragu, lalu dengan hati-hati kuucap salam. Paman Yan menyambutku dengan hangat, sehangat mentari yang mengintip dari celah pohon melinjo.

“Bapakmu ndak mau pulang, Nduk!” Aku tercengang mendengar perkataan dari adik bapakku.

“Memangnya kenapa, Paman?”

“Takoni dewek, apa karepe Bapakmu![1]” jawabnya.

Degup kencang di dada tak mau berhenti, aku tak kuasa melihat tubuh bapak yang masih tertidur pulas diiringi dengkuran halus. Rasa bersalah semakin menjadi, membuatku ingin berlari dan berteriak.

“Bapak, maaafkan Ria!” Namun kuurungkan.

Dalam hati yang terdalam, kusematkan dedoa juga niat untuk membahagiakan bapak dan emak.

*
“Nduk, kok awakmu nang kene?[2]” tanya bapak.

Kudekati bapak, lalu kucium tangan keriputnya.

“Ria sengaja menyusul ke sini, aku dan Emak khawatir terjadi apa-apa dengan Bapak,” jawabku sembari menyodorkan kopi hitam kesukaan bapak.

“Bapak baik-baik saja, Nduk. Di sini aman, bapak kerasan tinggal di rumah pamanmu.”

Aku pamit ke belakang sebelum tanggul pertahanan di mataku jebol. Dada ini terasa sesak.
Kuhela napas panjang, berharap lebih tenang. Tapi salah, tangisku kian pecah. Dan kini keputusanku sudah bulat, merantau adalah jalan satu-satunya untuk mewujudkan cita-cita bapak membangun istana baru.

***
Aku anak bungsu dari lima bersaudara, hidup dalam naungan kesederhanaan, dan harmonis. Meskipun rumah yang kami tinggali lebih tepat disebut gubuk, tapi tak masalah. Yang terpenting adalah kebersamaan, ketentraman.

Hingga tahun berganti tahun, satu per satu kakakku meninggalkan rumah untuk membina hidup baru. Kini tinggalah kami bertiga.

Bapak lebih sering ke sawah, pulang-pulang membawa bongkahan batu yang diambilnya dari sungai, ia lakukan setiap hari. Hingga terkumpul banyak.

“Batu itu untuk apa, Pak?” tanyaku.

“Buat mbangun rumah,” jawabnya sembari tersenyum.

“Kenapa gak minta bantuan sama Mas Adi, Mas Aris, Mas Yanto, dan Mas Bayu, Pak?”
Aku bertanya demikian karena tak tahan mendengar gunjingan tetangga sebelah.

“Pak Ahmad punya anak banyak kok rumahnya masih kayak gubuk. Memangnya gak ada yang mau membantu merenovasi?”

Hati ini sakit, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, bisanya hanya menyusahkan emak dan bapak.

“Ndak usah. Biar mereka hidup tenang dengan keluarga kecilnya.” Bapak berlalu dari hadapanku.

Ah, bapak. Aku terharu.
Namun apalah artinya aku jika hanya berdiam diri, bahkan gunjingan semakin terdengar santer, membuat hatiku panas. Aku pun tak tega melihat bapak tergopoh-gopoh memanggul bongkahan batu yang begitu berat.

*
“Emak, izinkan Ria merantau.” Kupeluk tubuhnya yang semakin ringkih.

“Ria berjanji akan pulang membawa sebongkah rezeki untuk membangun istana kita, Mak.”

Wanita di hadapanku tak menjawab apa-apa. Terlihat telaga jernih di pelupuk mata, lalu ia memelukku erat.

“Emak doakan semoga kamu sehat selalu, Nak.” Tangisnya pecah.

Rasanya tak tega meninggalkan orangtua yang sudah renta, namun demi satu tujuan, cinta yang tersemat indah untuknya. Dan kini, saatnya aku membahagiakan mereka.

Tertatih hati, menjemput cita dengan sepenuh jiwa.
Permata indah bergulir tiada henti saat kucium punggung tangan keriputnya.
Seketika, langkahku gontai. Berat!

Hasrat berbalik, memeluknya erat. Tapi…
Ah, tetap saja kuayunkan langkah ini tiada henti
Kubiarkan bulir-bulir bening berjatuhan, seiring jalan setapak yang kulalui.
Tegar!

Harus, seperti petuahnya saat hidung ini menyentuh punggung tangannya.

“Sing sabar, Nduk. Kerja karo wong liya kudu gede atine.”[3]
Seketika hatiku luruh, berbalut getaran penggugah kesadaran.
Kutatap dua bola mata sayu, namun tak balik menatap.
Genangan tampak tertahan, kualihkan pandangan
Berat!
Tuk berpisah darinya

Jakarta, 3 Januari 2015
======================selesai========================
Keterangan:
[1] “Tanyakan sendiri, apa maunya bapakmu!”
[2] “Nak, kok kamu di sini?”
[3] “Yang sabar, Nak. Kerja sama orang lain harus besar hatinya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar