Senin, 14 Juli 2014

UCAPAN LEBARAN

# EVENT MEMBUAT UCAPAN MAAF UNTUK LEBARAN #
 
Kesalahan kian bertumpuk, menggunung
Lisan yang kadang tak terjaga ucapannya

Menghunus bagai pedang, tak terkendali
Tindakan yang terkadang menyakitkan
Tanpa diketahui
Tiada daya, hati tak lagi suci
Bercak-bercak dosa, memberkas
Menunggu satu kata
Adakah cara untuk menumbangkannya selain maaf?
Adakah cara untuk menghapuskannya selain niat tulus keikhlasan?
Ya, hanya itu. Maaf yang tulus disertai ikhlas untuk menghapus kesalahan yang ada
Mohon maaf lahir batin, tiada kata yang pantas selain maaf

EVENT DI KBM DOEL KANGPARDI



#GDW2 Sabuk Pengaman Marsiti

Hidup penuh liku-liku
Ada suka, ada duka
Semua insan, pasti pernah merasakannya

Lagu Liku-liku milik Camelia Malik terdengar mendayu-dayu dari tape recorder mobilku.
Iya, hidup itu memang penuh liku-liku, ada suka ada duka. Begitupun hidup sebagai seorang sopir. 

Masih teringat jelas kisah 2 tahun yang lalu. Pengalaman duka ketika mengantarkan keluarga besar sahabatku dari Kebumen ke Jakarta. Mobil Kijang terisi penuh, sampai-sampai jok depan diduduki dua penumpang lansia, aku kira tidak masalah, toh muat.
Jalanan macet, karena bertepatan dengan hari libur sekolah.
Tiba-tiba ada seorang laki-laki berseragam cokelat menghampiri mobil.

Tok! Tok! Tok! 

“Permisi, Pak,” sapanya dengan ramah.

“I iya, ada apa ya Pak,”jawabku gugup ketika mengetahui orang itu adalah polisi.

“Maaf, Anda saya tilang karena  penumpangnya melebihi kapasitas,” jelasnya “Dan yang di jok depan tidak memakai sabuk pengaman,”lanjutnya.

Terpaksa, uang 50 ribu raib karena keteledoranku (juga penumpangnya).
 Akhirnya aku putuskan salah satu penumpang yang duduk di depan harus pindah ke belakang, meski desak-desakan.
 Di tengah perjalanan kami berhenti di SPBU untuk istirahat sejenak. Ada yang makan, BAK, ada juga yang sekedar menghilangkan rasa bosan karena berlama-lama duduk hingga pantatnya terasa pegal. Setelah merasa cukup, semua penumpang masuk ke mobil. Perjalanan diteruskan.
Jalanan sedikit macet, karena ada operasi  polisi. Baru saja keluar dari area SPBU, tiba-tiba ada yang mengetok-ngetok kaca samping sopir.

 “Permisi Pak,” sapa pak Polisi dari luar jendela.

“Ia, ada apa Pak Polisi?” tanyaku sembari menurunkan kaca jendela.

“Maaf, Bapak saya tilang karena  penumpang bapak tidak memakai sabuk pengan,” jelasnya.

Aku pun menoleh ke penumpang di sampingku.
Nasib, nasib, dua kali kena tilang gara-gara sabuk pengaman. Lain kali  harus selalu mengingatkan penumpang yang duduk di depan nih, supaya jangan lupa pakai sabuk pengaman. Kalau perlu di mobilnya diberi tulisan “WARNING! PAKAILAH SABUK PENGAMAN, DEMI KESELAMATAN DAN KARENA SAYA TIDAK MAU KENA TILANG.”

Sabtu, 12 Juli 2014

PUISI, KEPEDULIANKU UNTUK GAZA

Peduli Gaza

Sakit, seperti ada sayatan sembilu mengenai ulu hati
Nyata, senyata dentuman keras menghunus sendi-sendi
Darah mengucur, dibarengi reruntuhan
Hancur berkeping-keping
Allahu Akbar, Allahu Akbar, serunya

Tangisan pilu kian terdengar nyaring
Mengiringi para syuhada
Sungguh, zionis terlaknat
Tak ada hatikah mendengar jeritan-jeritan kesakitan?
Tak ada hatikah melihat manusia terbujur kaku, bergelimpangan?

Tak adakah rasa belas kasihan sedikitpun dalam hatinya?
Sehingga tega meluluhlantakkan segalanya
Gaza berdarah,
Tapi, kami di sini
Saudara-saudara muslim tak tinggal diam
Doa selalu terpanjatkan
Untukmu, saudarku

Jakarta, 13 Juli 2014

KMB AKADEMY SEASON 2 DIBUKA

Tepatnya Selasa 20 Mei 2014, KBMA Season 2 dibuka pada pukul 20.00 oleh eyang Wiro Toraja. Para pesertanya membludag, termasuk saya.
Antusias mereka untuk berebut agar bisa lolos pun membangkitkan semangat saya agar bisa ikut berpartisipasi pada kontes kali ini. Maklum, di KBMA Season 1 saya ketinggalan informasi.

Eyang memberikan waktu 15 menit untuk mengirim inbok berisi cerita dasar juga asal daerahnya masing-masing. Buru-buru saya ketik ide dasar cerita secara spontan, takut gagal seleksi.

"Wanita lemah itu mampu bangkit seiring dengan ujian hidup dari-Nya, hingga membuatnya menjadi wanita tangguh. Kebumen."

Balasan inbok dari eyang pun saya terima.

"Rangkailah menjadi cerpen, kirim ke dewan juri sriesagimoon@yahoo.co.id
cc: parawiro.s.s.sos@gmail.com
Paling lambat besok jam 09.00 WIB"

What? Jam 09.00 pagi?
Jleb!!! Ngena banget di hati.

Terbayang jelas aktivitas pagi yang tidak memungkinkah saya untuk ngetik. Dilema..., hanya ada 2 pilihan, menyerah atau lanjut? Bingung.

"InsyaAllah eyang, saya usahakan."

Jam dinding menunjukkan pukul 22.00, tapi saya masih sibuk dengan pekerjaan.
Maklum, kerja di perumahan membuat saya sedikit ragu dan pesimis untuk menggeluti bidang tulis menulis. Karena waktunya tersita untuk mengurus rumah tangga orang, berjibun pekerjaan menumpuk setiap harinya. Apalagi ditambah 2 anak kecil yang harus saya urus. Tapi entah kekuatan dari mana hingga rasa optimis justru lebih mendominasi seiring dengan berjalannya waktu.

Detik berganti menit, menit pun berganti jam. Momonganku belum juga tidur.
"Kapan saya bisa ngetik?" Sembari berdoa " Ya Rabb, jika Engkau meridhoi hamba untuk mengikuti KBMA Season 2, mudahkanlah." Aamiin.

Tepat pukul 24.00, saya baru bisa terbebas dari kungkungan pekerjaan.
Bismillahirrahmaanirrohiim
Basmalah saya ucapkan dengan penuh kekhusyuan.

Awalnya bingung mau ngetik apa, meski ide dasarnya sudah ada (tantang wanita lemah). Layar monitor itu pun hanya saya pandangi diiringi jantung berdetak lebih kencang, huh rasanya  tidak karuan, gado-gado pisan.
Sebelum benar-benar mengetik, yang pertama saya lakukan adalah corat-coret terlebih dahulu di selembar kertas, kira-kira seperti apa openingnya hingga ending cerpen tersebut berakhir? Tahap satu, kerangka sudah siap.

Gambaran wanita lemah itu seperti apa sih? Dan juga ciri-ciri wanita tangguh yang sebenarnya? Saya sendiri masih bingung.
Inisiatif, tanya mbah google dari pada tambah bingung dan pusing tujuh keliling. Akhirnya nemu juga, ditambah lagi terinspirasi kisah kakak saya.

Waktupun berlalu, tidak terasa jam di layar laptop menunjuk ke angka 02.00. Aduh belum selesai juga, kapan istirahatnya?
Hampir saja putus asa dan menyerah. Tapi bukankah sebuah pilihan itu ada konsekuensinya masing-masing?
Saya sudah memilih untuk mengikuti KBMA Season 2, berarti saya harus mengikuti prosedur yang ada dan syarat-syarat yang sudah ditentukan.

Hingga satu jam lebih telah berlalau, akhirnya cerpen selesai juga. Lalu buru-buru saya kirim ke email mbak sri dan eyang Wiro Toraja.
Alhasil, pukul 4 saya baru bisa istirahat.

Paginya, tak ada waktu untuk memposting ke group. Padahal hanya dikasih waktu sampai jam 9, rasa cemas melanda. Alhamdulillah eyang memberi kemudahan, sore harinya saya baru bisa ngeposting dengan mencuri-curi waktu luang.

Sungguh, dikejar-kejar DL rasanya campur aduk jadi satu. Tapi saya menikmatinya.





Jumat, 11 Juli 2014

IMPIANKU



Pikiranku kacau balau, tidak bisa konsentrasi penuh. Terlalu berfikir keras untuk membut sebuah tulisan. Ingin rasanya menyerah, biarlah mimpiku untuk menjadi seorang penulis hanyalah sebatas impian, sebatas impian. Lelah rasanya, huf…

“Ha…ha…ha, bagus…bagus. Sudahlah, menyerah saja…., kau memang tidak berbakat dalam menulis.” Tiba-tiba saja sesosok makhluk berbaju serba hitam yang melintas difikiranku menetertawakan keputus asaanku .Seolah merasa senang dengan sikap pesimisku.

“Jangan menyerah putri, kamu pasti bisa. Optimislah,” timpalnya dengan halus. Dia adalah sesosok makhluk berbaju serba putih yang berusaha untuk menyemangatiku.
[Sepertinya aku mengenali sosok-sosok itu. Ya mereka adalah 2 sosok diriku yg berbeda haluan, hitam dan putih. Astaghfirullah]

Tiba -tiba saja aku menyadari kekeliruanku.
“Ya Allah, kenapa aku jadi pesimis begini,” batinku.
Sosok-sosok itu menyadarkanku. Seperti ada kekuatan baru yang tiba-tiba muncul dalam diriku.

Aku memang tidak boleh menyerah, pesimis? Apalagi. Mana aku yang dulu, yang selalu menggebu-gebu dalam hal tulis menulis. Mana aku yang dulu selalu yakin, bahwa berasal dari mimpi semua bisa tejadi. Asalkan  harus yakin dengan apa yang kita impikan.                        
                                                                                                                      
 ***

“Wah, tulisannya bagus sekali. Kata-katanya mudah dimengerti dan enak dibaca,” puji Dian, teman sekolahku dulu.
“Kenapa tidak jadi penulis saja Put?” sambungnya.

“Ah, kamu bisa saja. Aku tidak berbakat dalam bidang tulis menulis,” jawabku seakan tidak yakin dengan kelebihan yg aku punya.

“Putri, bakat itu kan bisa diasah. Kamu masih ingat kan kata bu Windi, guru bahasa Indonesia kita waktu di SMP dulu? BISA KARNA TERBIASA. Aku tahu kamu hobi menulis, dengan seringnya kamu menulis…berarti kamu sudah bisa dong . Ayolah Put, aku akan selalu mendukungmu,”turur Dian menyakinkanku.

“Dian, terimakasih banyak.Kamu memang sahabat paling baik yang pernah ku kenal,’ ucapku penuh syukur.

“Ini sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang sahabat. Yang terpenting adalah kamu jangan mudah menyerah dan putus asa. Oke Putri yang manis dan baik hati, he….he…”
Kami pun tertawa, menikmati kebersamaan dibawah pohon beringin nan rindang disamping rumahku.                                                                                                                                                                            
 Aku jadi terharu, ternyata selain abang masih ada orang yang mau mendukungku untuk mewujudkkan impian. Dian, sahabat baikku. Dari dulu dia tidak pernah berubah, selalu mensuport dan meyakinkan  tentang keraguan yang jadi bayang –bayang hidupku. Aku sangat bersyukur bisa mengenalnya. Diam-diam aku berjanji pada diri aku sendiri, untuk mewujudkan mimpiku menjadi penulis.
                                                                                                                                                                                                                              ***
Aku jadi rajin menulis. Kertas dan pena adalah alat yang tidak pernah lepas dari keseharianku. Maklum, aku tidak memiliki alat ketik, apalagi computer. Boro-boro punya computer, rumah saja masih pakai anyaman bambu yang sudah usang dan lapuk dimakan usia. Mana mampu orang tuaku membeli alat begituan,  buat makan sehari-hari saja susah.Tapi aku tidak boleh putus asa,aku harus tunjukkan bahwa aku punya mimpi yang akan aku perjuangkan.
Ternyata, menuangkan ide-ide yang  berkeliaran didalam benak tidaklah mudah. Sudah berpuluh-puluh kertas terbuang sia-sia.

“Aduh…, susah banget sih bikin tulisan yang bagus. Kalau kaya gini caranya boros-borosin kertas dong namanya,” keluhku sambil sesekali membuka majalah kesayanganku. Banyak cerpen-cerpen hasil dari penulis-penulis pemula, meskipun dengan bahasa yang sederhana tapi isinya bagus, tidak bertele-tele dan pesannya juga masuk. Wah suer deh, aku jadi terinspirasi  gitu, ingin sekali rasanya mengikuti jejak mereka.

“Bagaimana Put, sudah selesai belum? Abang ingin lihat hasilnya,” tanya bang Ali yang tiba-tiba sudah ada dibelakangku.

“Eh Abang, bikin kaget Putri saja. Nih… baru setengahnya,” jawabku seraya menyodorkan hasil karyaku .Tidak henti-hentinya ku amati  wajah abangku [bukan karna wajahnya yang tampan lho ya, tp mimiknya]. Duh jadi  H2C harap-harap cemas, menunggu komentar dari abangku.

“Bagus, kalimatnya sudah lumayang. Tp…,” komentarnya dengan mimik wajah yang bikin penasaran.

“Tapi apa  Bang? Ayo buruan kasih tahu,” tanyaku sedikit memaksa. 

“Tapi  sayang tidak ada lanjutannya he…he,” ledeknya.
“Ayo terusin lagi, Abang ingin lihat endingnya kaya apa,” sambungnya.

“Susah Bang, aku kehabisan ide. Perlu berfikir keras untuk melanjutkanya .”

“Masak sih? Setahu Abang, dulu kamu paling bisa mengembangkan ide menjadi sebuah cerita yang menarik.”
Memang sih demikian.

“Hmm, jangan -jangan adik Abang yang satu ini  sudah lupa dengan kalimat JANGAN PIKIRKAN APA YANG AKAN KAMU TULIS, TAPI TULISLAH APA YANG ADA DIPIKIRANMU,” lanjutnya dengan senyum yang menyejukkan hati bagi siapa  saja yang melihatnya.

Oh iya, kenapa aku jadi lupa sih dengan kalimat itu. Kalimat yang sedari dulu selalu abang tanamkan sebelum memulai menulis. Sebenarnya sudah banyak hasil tulisan yang aku buat. Tapi sayang, baru setengah jalan sudah KO duluan (haduhhh, payah banget deh), tidak bisa menyelesaikannya (perlu berfikir keras untuk melanjutkannya), karena memang disitulah kelemahanku.

 Menulis juga harus pakai hati, jangan asal tulis yang nantinya akan menghasilkan tulisan yang kurang maksimal. Dulu sewaktu SMP, aku paling hobi membaca buku.Tiada hari tanpa mengunjungi perpustakaan. Banyak novel-novel  yang telah kubaca, sungguh isinya banyak yang menyentuh. Ada salah satu novel(tp aku lupa judulnya apa) isinya tentang bocah yang berjuang mencari ibunya. Ceritannya berhasil buat aku menangis sesenggukan. Ada lagi tentang anak Sekolah Dasar  yang  bercita -cita ingin menjadi penulis, dengan semangatnya yang luar biasa, ia berhasil mewujudkannya. Dan cerita itu benar-benar menginspirasiku. 
Kadang berfikir, apa mungkin aku bisa menjadi seperti merek ya? Menciptakan  karya-karya  yang bagus dan bisa membuat pembacanya ikut larut ke dalam cerita. Tapi, bukankah di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin asal kita benar-benar mau berusaha?

Semangat…, semangat…, semangat. Aku harus lebih semangat lagi, tidak mau mengecewakan orang-orang yang mendukungku. Akan kubuktikan pada diri sendiri (yang utama) dan orang lain (pastinya), untuk mengubah kata TIDAK MUNGKIN (yang selama ini bersemayam difikiranku), menjadi kata MUNGKIN, dan aku yakin bisa. Aku harus mencari inspirasi untuk melanjutkan tulisanku yaitu dengan membaca, entah itu koran, novel, cerpen, pokoknya apa saja deh, termasuk membaca buku harian(upzzst…buku harian?) ya buku harian.Tahu sendirikan? Buku  harian isinya tentang apa saja? Yap betul….tentang diri sendiri, masalah pribadi kita. Bukankah itu sangat mudah untuk kita kembangkan menjadi sebuah cerita yang menarik bukan?
Buat kalian yang punya mimpi, perjuangkanlah. Jangan mudah menyerah dan putus asa.Yakinlah, karna dengan keyakinan, apa yang kita impikan pasti akan tercapai. Aamiin.

NB: Ini adalah hasil karya yang saya kirimkan untuk pertama kalinya ke majalah Annida online kesayangan 5 April 2013.
Awalnya hancur lebur, ejaan masih berantakan, EYD apalagi? Karena waktu itu modal nekad, yang penting jadi, tidak menghiraukan syarat dan ketentuannya. Alhasil ditolak, hiks. Tapi tidak apa, saya belajar dari sini. Dan ini sudah saya revisi meski masih hancur lebur.




Senin, 07 Juli 2014

FIKSI # MENGHISAP JARUM #

Fiksi # Menghisap Jarum #

Pardi bingung dengan kebiasaan bapaknya yang selalu membawa korek kemanapun pergi. Pernah suatu hari Pardi memergoki bapaknya sedang mengeluarkan sesuatu dari saku celana.
"Pak, itu apa?" Karena tidak ingin diketahui oleh anaknya, akhirnya barang tersebut dimasukkan kembali.

Pardi pun semakin penasaran, bagi anak kelas dua SD seperti dirinya, rasa keingintahuannya memang besar. Apa yang dilakukan orang dewasa, selalu saja ingin mengetahuinya.

Ketika Pardi sedang terlelap, bapaknya dengan perasaan tenang mengeluarkan bungkusan kotak dari saku celananya.
"Aman nih Pardi sudah tidur, waktunya bersenang-senang," batinnya girang.

Sedang enak-enaknya menikmati barang yang selama ini dihindari karena sang istri melarang untuk mengkonsumsinya lagi, tiba-tiba Pardi bangun.

"Pak, itu apa yang dihisap?"
"Jarum, Le," jawab bapak sembari menyembulkan asap dari mulutnya.

Uhuk! Uhuk!
Pardi terbatuk.

EVENT MAS FALSIST DI KBM

Tema: Meraih Mimpi

Diantara puluhan anak-anak yang sedang menggembala Kambing, satu diantaranya adalah aku. Ini adalah rutinitas sepulang sekolah, menggiring Kambing ke sawah bersama adik dan teman-temanku. Kebiasaan ini aku lakukan sampai lulus dari Sekolah Menengah Pertama.
Dengan nilai kelulusan di atas rata-rata, melanjutkan sekolah adalah harapanku seperti teman-teman yang lainnya. Namun, semuanya pupus ketika ayah tak sanggup membiayaiku untuk melanjutkan sekolah. Sedih? Pasti. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Pasrah.

Ibu mengerti perasaanku dan berusaha membesarkan hatiku agar tak usah minder meski tak bisa merasakan memakai baju putih abu-abu seperti kebanyakan teman sebayaku. Terkadang ada rasa iri , disaat mereka berangkat ke sekolah, aku membereskan rumah. Disaat mereka pulang sekolah, aku menggembala kambing di sawah. Disaat mereka asyik belajar dengan seabreg tugas dari sekolah, aku hanya bisa merenungi nasib yang tak seberuntung mereka.Tapi, inilah jalan hidupku, hidup ke keluargaku. Kalau melihat ibu yang tak pernah mengeluh dengan aktifitas kesehariannya, rasanya aku malu.
***
Kuputuskan merantau ke ibu kota, ketika ada tetangga yang mengajakku bekerja. Berharap, dengan bekerja aku bisa melanjutkan sekolah lagi. Anganku melambung tinggi, membayangkan bisa memakai seragam putih abu-abu dan memiliki banyak teman baru, ah…, aku berkhayal lagi. Nyatanya, semua itu tak pernah terjadi. Mimpiku tak kesampaian, bukannya menyerah, aku hanya tak tega jika harus menambah beban ayah dalam membiayai sekolahku lagi, karena masih ada dua adikku yang butuh biaya untuk pendidikannya.

Di sini, di kota yang tak pernah ada matinya, kumengais rezeki dengan bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Terkadang ada rasa gengsi ketika melihat teman-temanku bisa bekerja lebih baik dariku. Aku malu, tapi lebih malu lagi kalau aku melupakan kata-kata ibu yang selalu mengajarkan rasa syukur.
Meski disibukkan dengan pekerjaan yang menyita waktu dalam keseharian, kuluangkan untuk menulis.

“Wah, tulisannya bagus,” puji temanku ketika melihat buku diariku yang sudah penuh dengan tulisan. ”Kenapa gak jadi penulis saja, Ti?” tanyanya mengagetkanku.
 Penulis? Satu kata yang selalau terngiang-ngiang hingga sekarang. Dan kata-kata itu memotivasiku untuk terus menulis, apapun itu.

Diam-diam ada keinginan untuk menjadi penulis terkenal. Kubulatkan tekad dan menanamkan rasa optimis, berharap suatu saat bisa dikembangkan menjadi karya yang bermanfaat bagi sesama. Bukankah mimpi itu milik siapa saja? Toh selama ada niat dan kemauan, semua itu bisa terwujud.
Selalu ada jalan, bahkan membentang luas dihadapan. Kesempatan yang ada kumanfaatkan sebaik-baiknya, event-event kepenulisan kuikuti, meski banyak gagalnya aku tak boleh menyerah.
Kini, membahagiakan keluarga dan menulis adalah mimpiku yang begitu nyata.

 Opening cukup oke, good point! tapi konfliknya kurang tajam, dan penyelesaiannya terkesan terburu2. Pembaca suka dg konflik yang dialami si tokoh utama dan bagaimana cara si tokoh menyelesaikannya. Hal itu bisa membuat cerita berkesan dan nempel di benak pembaca, dan itu juga yg bisa mempengaruhi pemikiran pembaca. Kurang lbh spt itu yg pernah sy baca dr berbagai sumber.

EVENT MBAK OSCAR SAGARA DI KBM

Judul: Ujian Kehilangan Buah Hati(FTS)
Tema: Ikhlas Kehilangan

Empat puluh hari sepeninggalannya, belum mampu membuatku beranjak dari kedukaan. Terasa berat atas kepergiannya yang begitu cepat. Tapi, inilah takdirNya. Padahal aku belum puas menimangnya, menyusuinya, menciumnya, aku belum ingin berpisah dengannya.
Semua seperti mimpi. Rasanya baru kemarin aku melahirkan bayi mungil berparas ayu. Dan kini, tak terasa air mataku mengalir deras, aku tak mampu membendungnya lagi. Mencoba untuk kuat, tapi belum bisa, aku belum sanggup menerima semua ini. Hanya dua puluh hari aku merasakan dan menikmati peran menjadi ibu bagi bidadari cantik yang kini telah pergi untuk selama-lamanya.

Rabbi, begitu berat cobaan yang harus aku hadapi. Kehilangan kali ini benar-benar membuatku lebih syok dari yang dulu. Rasanya belum kering luka akan kehilangan calon bayiku dua tahun yang lalu, kini kejadian yang sama terulang kembali.
***
Tak pernah menyangka, yang awalnya aku kira baik-baik saja, dan akan tumbuh sehat seperti bayi-bayi lainnya, ternyata takdir berkata lain. Tragedi di petang itu memupuskan harapanku. Hasna, si bayi mungil yang baru berusia dua puluh hari harus meregang nyawa, kala tersedak saat sedang menikmati ASI yang aku berikan. Aku panik luar biasa, hingga nyawanya tak tertolong lagi.
 Hanya air mata yang mampu mewakili perasaanku.Tak mampu berkata-kata, aku pasrah dan menyerahkan sepenuhnya kepada Sang Pemilik Hidup. Disinilah Allah menguji lagi dengan kehilangan anakku.
Tapi kali ini aku lebih ikhlas dan tegar, meski sakitnya mampu membuat luka yang lalu tambah menganga.

Ku tilik lagi kisah dua tahun yang lalu, tepatnya delapan bulan di usia kandungan aku merasakan ada yang aneh dari dalam perutku. Tak ada gerakan aktif juga tendangan-tendangan calon bayi yang sering kurasakan disetiap harinya. Buru-buru ku periksakan ke bidan.

Innalilahi wainnailaihi roji’un…, calon bayi yang kami idam-idamkan ternyata sudah tak bernyawa lagi. Betapa syok dan sedihnya kala itu. Sudah kuusahakan sebaik mungkin dalam menjaga kandungan, aku rutin memeriksanya ke bidan tapi…
Mungkin Allah belum mempercayakan kami untuk menjaga titipan-Nya. Khuznudhon, harus berprasangka baik pada Sang Pemberi Hidup. Karena semua yang kita miliki adalah titipan, dan akan kembali kepada-Nya, pemilik yang sebenarnya.

Satu tahun setelah gagal memiliki momongan, Allah meniupkan kembali roh ke dalam rahimku. Sujud syukur atas karunia-Nya, kami menyambutnya dengan suka cita. Baru saja merasakan kebahagiaan atas calon bayi yang kedua tiba-tiba aku mengalami pendarahan dan keguguran saat kandungan memasuki bulan ke empat. Lagi lagi Allah belum mempercayakan kami untuk menjaga titipan-Nya. Meski sedih, tapi kali ini lebih bisa menerimanya dengan lapang dada. Aku pasang senyum ketegaran untuk menyambut masa depan. Masih ada kesempatan, apalagi usiaku kini masih muda. Aku percaya, Allah akan mengaruniakan kepada kami yang lebih baik.
***
Dibalik semua cobaan, tersirat banyak hikmah yang dapat dipetik. Agar lebih intropeksi diri, adakah kesalahan juga dosa-dosa fatal yang telah kami lakukan? Hingga berkali-kali gagal memiliki momongan. Tak semestinya pula berprasangka buruk pada Allah, sungguh rencana-Nya adalah yang terbaik buat setiap hambanya. Kami hanya perlu bersabar dan ikhlas, tak perlu meratapi kepergian mereka. Mungkin Allah belum mempercayakan mereka untuk dititipkan kepada kami. Mereka pasti lebih bahagia disana, di surga-Nya.

Kamis, 03 Juli 2014

FIKSI # KETAHUAN #

Fiksi # Ketahuan #

"Ibu mau kemana?" tanyaku pada wanita separuh baya.

"Shoping, kamu jaga rumah dan jangan kemana-mana," jawabnya sambil berlalu menuju teman-temannya yang sudah menungguinya di mobil.

"Kita jalan yuk, mumpung bos kita lagi pergi," ajak Nani dari atas loteng"

"Aku nggak boleh keluar rumah," jawabku sedih.

"Tenang, nanti aku yang tanggung jawab."

Kami pun pergi ke suatu tempat.
Situasi seperti ini memang pas buat pergi bareng teman-teman seperjuangan, apa lagi selama kerja di sini belum sekalipun diijinkan keluar rumah. Padahal, itu adalah hak aku setelah memenuhi kewajibannya. Sebagai pembantu, bukan berarti harus terus-terusan mengurus rumah bukan? Aku butuh refresing.

Deg, ternyata bos aku juga di tempat ini. Kita sembuni-sembunyi. Tapi naas, mereka mengetahui keberadaan kami. Kita lari sekencang-kencangnya. Lorong kecil kita lewati, jangan sampai mereka menangkap kami.
Aku pasrah ketika mereka berhasil menangkap kami.

"Maafkan Ibu ya, karena tidak pernah memberi ijin selama bekerja di rumah Ibu."
Aku menangis dalam pelukannya. Antara bahagia dan tidak menyangka bahwa ini hanya mimpi belaka.