Senin, 26 Januari 2015

CERPEN: TEROR


Tema: Cerita humor komedi di lingkungan sekitar
Judul: Teror
Karya: Marsiti

Kupandangi rumah mungil yang selama lima hari tak berpenghuni. Halaman luas terlihat gersang, penuh dedaunan kering. Tanaman hias kesayanganku pun layu. Bukan hanya itu, buah blimbing dan durian ikut berserakan. Sepertinya mereka protes atas kepergianku yang terlalu lama.

Baru saja melangkah sampai ke teras, hidungku mencium bau tak sedap. Menyengat. Tiba-tiba tubuh begidik, membayangkan sesuatu yang otak ciptakan.
Mungkin tikus mati, batinku menghibur diri. Tapi, baunya lain. Jangan-jangan …

Kuurungkan masuk ke dalam, dan membiarkan kunci tergantung begitu saja. Langkahku mundur hingga menabrak sesuatu.
“Aduh!” seru seseorang di belakangku sembari meringis kesakitan.

“Ups maaf, Mas.”

“Aih, Adek lagi ngelamunin siapa sih? Jalan aja sampai nabrak-nabrak gitu,” tanyanya.

“Ngelamunin ...,” kata-kataku terhenti, berganti tawa begitu melihat Kangmas tergeletak di lantai sembari memeluk tas. Langsung saja kuulurkan tangan.

“Uh, orang apes kok ditertawain.”

“Maaf, habisnya lucu sih,” jawabku sambil menahan tawa.

Hampir saja ia membuka pintu. Langsung kutahan lengannya.

“Jangan, Mas. Adek takut!”

Laki-laki bertubuh jangkung ini mengernyitkan kening. Tak lama kemudian ia tersenyum, mengajakku duduk di kursi rotan untuk merilekskan badan. Perjalanan jauh membuat tubuh remuk, capeknya luar dalam eh luar biasa maksudnya.

“Kangmas mencium bau sesuatu, gak?” tanyaku pada Kamal, laki-laki yang ada di sebelahku.

“Iya. Seperti bau …” kata-katanya terhenti.

“Bau apa, Mas?” tanyaku dengan memasang mimik serius.

“Bau keringatnya Adek, hehe,” ledek Kangmas. Langsung saja kucubit perutnya yang buncit. Hingga membuat ia kesakitan.

“Ih, orang lagi serius juga,”kesalku, “Adek jadi merinding. Coba kita analisis bersama, rumah lima hari tak berpenghuni, kosong. Pas kita pulang disambut dengan bau busuk, ini kan horror namanya? Jadi ingat film yang kemarin malam kita tonton, Mas.” Aku terdiam sejenak, slide demi slide adegan film Rumah tak Bertuan berputar di kepala.

“Jangan-jangan itu bau ma …?” Belum juga selesai ngomong, aku dikagetkan dengan suara aneh yang terdengar jelas di sebelahku.

Grrr …, grrr …
“Kangmassss …,” teriakku. Sontak kupukul bahunya. Huh, menyebalkan sekali. Bagaimana tidak coba, lagi serius-seriusnya bicara, eh yang diajak malah enak-enakan tidur, mendengkur tanpa bersalah. Huf BT.

****
Senja mulai bergegas pergi, tergantikan awan gelap, disusul bunyi yang disertai kilatan. Aku tak jua berani masuk. Rasa takut masih bergelayut manja. Sedangkan Mas Kamal asyik bermain game kesukaannya.

Berbagai macam dugaan telah bersemayam di kepala. Satu persatu P3KRK alias Pertolongan Pertama Pada Kejadian di Rumah Kosong kurancang dengan seksama.

“Yes!” seruku girang.

Kangmas terperanjat, benda yang ada di tangannya hampir terpental.

“Ada apa sih, Dek? Ngagetin Kangmas aja deh,” tanyanya, lalu kembali fokus ke layar HP.

Aku hanya senyum-senyum. Sebentar lagi IBJD alias Istri yang Berperan Jadi Detektif akan beraksi. Akan kutunjukkan pada Kangmas tersayang, kalau wanita yang satu ini bisa jadi pahlawan.
Duh senangnya. Pujian demi pujian dari Kangmas terbayang sudah.

“Adek memang cerdas. IBJD ok. Detektif Conan aja kalah.” Senyumku geli.

“Kangmas gak nyesel pilih Adek.” Jadi selama ini nyesal? Rasanya mau kutimpuk tuh kepala. Tapi bagaimana bisa, orang ini hanya lamunan. Senyumku tambah melebar.

“Sepertinya Adek lagi kurang sehat, deh!” serunya.

“Apa?” aku terbelalak mendapati wajah unyu-unyu Kangmas sudah di hadapanku. Huf, orang lagi enak-enakan ngelamun malah diganggu.

Yuk, ah kita masuk.

Dengan langkah pelan-pelan, aku dan Mas Kamal meraba-raba tembok. Untuk sementara bau tak begitu menyengat. Duh, baru ditinggal beberapa hari saja sudah lupa letak saklar ada di mana. Maklum, kami menempati rumah ini baru sebulan yang lalu, hadiah pernikahan dari sang mertua.

Semakin ke dalam, bau busuk semakin menyengat hidung. Masker yang kupergunakan pun tak mempan. Suasana horor benar-benar terasa.
Dengan daya ingat yang tak sampai 50 persen, tanganku menemukan benda yang sedari tadi dicari-cari.

Klik!
Lampu tak menyala.
Klik! Klik!
Lampu tak jua menyala.

Hingga kuulangi berkali-kali, lampu tak mau mengeluarkan cahayanya.

“Sepertinya mati lampu, Mas.”

“Tunggu di sini yak, Dek. Kangmas cari penerang dulu.”

Ingin rasanya ikut, tapi bunyi langkahnya sudah keburu menjauh.
Aku meringkuk kedinginan. Entah posisiku ada di mana, yang pasti tak jauh dari pintu depan. Bermacam-macam pikiran negatif berkelebat saling bergantian. Dan film horor itu …. Ah, membuatku semakin ketakutan.

Kangmas lama banget, batinku protes.
Entah sudah berapa lama aku menunggunya, namun ia tak juga kembali. Cemas.
Dilema. Antara tetap bertahan di sini atau memaksakan saja mencari Kangmas.

“Kir, pokoknya loe harus ngalah! Sekali-kali biar dia pakai cara gue. Walau bagaimanapun, Hati tak pernah salah,” kata Hati dengan PDnya.

“Kagak mau! Pokoknya gue gak mau kalah dari loe,” jawab Pikiran dengan nada emosi.

Setelah melewati perdebatan yang cukup pelik, akhirnya pikiran kalah. Hatiku lebih condong mencari Kangmas tersayang.
Baru beberapa melangkah, aku tersandung benda keras. Tak ayal, tubuh mungilku terpelanting. Pusing.

I-ini … a-pa?” tanganku memegang sesuatu, kenyal.

“Aoww …,” jeritku histeris. Rasa takut menjalar ke relung hati, begidik. Tak mampu kumelarikan diri, kaki terasa berat, seperti ada beban yang membanduli. Saking takutnya, sampai gak terasa aliran hangat membasahi kaki.

***
Gemericik hujan tak jua berhenti. Petir pun tak mau ketinggalan meramaikan malam yang semakin larut.

“Berani gak berani pokoknya harus berani, titik,” bisik nuraniku.
Setelah mampu menguasai keadaan, aku bergegas mundur, menenangkan diri.

Dengan dibantu senter dari Hp lowbet yang tersimpan di saku celana,sesegera mungkin indra perabaku mencari sesuatu yang kupegang barusan.
Samar-samar, terdengar suara. Sepertinya tak asing lagi di telinga.

Grrr … grrr …
“Kangmasss …” Lengkinganku untuk yang kedua kali, sedangkan ia malah cekikikan, menertawakan ketakutanku.

Kangmas benar-benar berhasil membuatku mati kutu eh hampir mati berdiri..
Lelah. Akhirnya kami putuskan untuk mencari muasalnya bau busuk esok hari.

“Dek, yuk tidur dulu. Mas capek banget,” ajaknya, aku pun berjalan mengekorinya.

***
Baru saja memejamkan mata, bulu kudukku berdiri seketika. Seiring suara aneh yang baru saja terdengar dari ruang belakang..
Lamat-lamat menghilang, membuatku semakin ketakutan.

“Mas, bangun!” Kugoyang-goyangkan tubuh laki-laki yang sebulan ini sudah resmi menjadi suamiku.

“Hmm, Kangmas ngantuk banget, Dek,” jawabnya malas-malasan.

“Sebentar saja, please,” aku memohon.

Masih dengan mata terpejam, Mas Kamal bangkit dari tidur, lalu dikucek-kuceknya kedua mata.
“Mas, ayo kita keluar!”

Kangmas menggandeng tanganku, berjalan mengendap-endap. Sampai-sampai cicak di dinding iri menyaksikan kemesraan kami berdua.

“Gak ada bunyi apa-apa, Dek. Mungkin suara angin,” katanya sambil menjelajahi seisi ruangan dengan senter. Aku menghela nafas, lega. Mungkin hanya perasaanku saja. Apakah ini efek dari suka menonton film horror? Ada sedikit bunyi aja langsung menyimpulkan kalau itu bagian dari horror.

***
Aku berjalan mengikuti Mas Kamal sembari memegangi bajunya dari belakang. Mungkin karena merasa terganggu, ia menarikku ke depan.

“Istri Kangmas harus pemberani. Apalagi ini sudah pagi, memangnya gak malu sama cicak yang sedari tadi memerhatikan kita?”

Kutoleh ke atas. Senyum simpul mengembang di bibir, aku jadi malu.
Ok, meski berat dan perut mulai mual-mual. Kuturuti apa kemauan Kangmas. Bagaimanapun juga, ia ada benarnya. Jadi teringat rencana semula, IBJD.

Semangatku mulai liar, jurus seribu langkah yang pernah kukuasai sewaktu SMP dulu kugunakan sebaik mungkin. Kangmas malah kelimpungan, bingung apa yang akan diperbuat. Mungkin tak menyangka istrinya bakalan secepat ini jadi pemberani.

“Aih, Kangmas kok malah bengong. Itu juga, ngapain bawa-bawa panci segala,” celotehku diiringi tawa. Hehee lucu juga. Gemes jadinya.
Berbagai peralatan sudah disiapkan, ada ikat tali, bogem, gunting, kain, lakban, plus panci yang dibawa suamiku.

Berlahan pintu menuju dapur dibuka. Perutku sudah tak mau diajak kompromi. Tahan-tahan.
Hoek!
Makanan yang tersimpan dalam perut keluar seiring dibukanya pintu dapur. Bau busuk menyembul seketika.
Mataku terasa berkunang-kunang begitu melihat pemandangan di depan mata.

“Mas, a-aku menyerah,” nadaku parau.

Dengan sigap, Mas Kamal mengantarkanku ke sofa, lalu bergegas membuatkan air hangat.

“Biar Kangmas yang membereskan semuanya. Adek duduk saja di situ, jangan lupa air hangatnya diminum biar perutnya agak enakan.”

Aku mengangguk, lemas menguasai kekujur tubuh
Apa yang baru saja kulihat, terus terbayang-bayang di kepala. Menyaksikan berpuluh-puluh belatung sedang koprol di pintu kulkas, bahkan ke lantai-lantai.

Ternyata bau busuk itu dari dalam kulkas. Daging, ayam, ikan, dan makanan di frezzer dipenuhi belatung semua. Syok. Dan aku baru menyadari, sebelum pulang kampung selama lima hari, kutinggalkan rumah dalam keadaaan listrik mati.



HOROR: BIRO JODOH



Biro Jodoh
Oleh: Sitie CB

Sudah beberapa bulan ini, ikan Biro Jodoh di sebuah koran mengusik hati Pras. Bagaimana tidak, gambar seorang wanita berusia 30 tahun, bersatatus single, dan pekerjaannya mapan, belum juga menemukan pendamping hidup.

Kasihan, wanita secantik ini kok gak ada yang mau! Batinnya.

“Aku harus menikahinya!” lirih Pras yakin.

Ia pun segera menghubungi wanita tersebut.
Betapa senangnya, ketika Lie, begitu nama wanita itu menyambut dengan gembira.

***
Sebuah rombongan dari keluarga Pras sudah di depan rumah besar bergaya Belanda. Tiba-tiba seorang satpam menghampirinya.

“Maaf. Ini rombongan apa, ya? Ada keperluan apa kalian datang kemari?” Pertanyaan satpam menggelitik hati Pras. Sudah tahu pakai jas, pastinya mau menikahlah, masa mau melayat!

“Saya ingin menikahi, Lie,” jawab Pras mantap.

“Mak-sud Mas, Nyo-nya Lie?” tanya pak satpam tak yakin. Pras pun mengangguk.

“Ta-pi, beliau sudah meningal lima tahun yang lalu!”

“Apa?” Pras kaget, “tidak mungkin! Terus, iklan yang beberapa bulan menghiasai koran itu …,” kata-katanya terhenti.

“Lima belas tahun yang lalu, Nyonya Lie berpesan ke agen periklanan untuk memuat ikan itu secara berkala. Ia sudah membayar kontrak pemasangan iklan untuk dua puluh tahun,” jelas laki-laki berseragam yang ada di depannya.

Jadi yang mengangkat telefon itu!
Pras begidik.

Jakarta, 26 Januari 2015

Sabtu, 24 Januari 2015

PUISI: KAU, MENTARIKU

Kau, Mentariku
Oleh: Sitie CB

Jiwaku hampa
Terombang-ambing dalam kilaunya dunia
Adakah jalan untukku pulang?
Mengawali hari bersamamu

Kini,
jauh kumelangkah
lewati lembah; tergelincir
jurang menganga, menantiku dalam nestapa

Kau, Mentariku
Sesal tiada guna
Dalam sadar kulantunkan dedoa
Kalamkalam-Nya tak jua terhenti; pasrah

Masih dalam linangan yang terus mengalir
Beribu krisral bertabur tiada henti
Apakah ini bertanda kau memaafkanku, Ibu?

Kau, Mentariku
Terangi gempita hati
Sirami untaian kata penyejuk jiwa
Bak permata indah yang hilang
Dan kini, kutemukan kembali
;dalam sunyi

Jakarta, 24 Januari 2015

FIKSIMINI: RUMAH DI SURGA

Rumah di Surga

Oleh: Site CB

Setiap bulan Ramadhan tiba, Raya selalu antusias menyambutnya.

“Ma, nanti Raya minta uangnya, ya,” kata gadis kecil berusia tujuh tahun.
Itu adalah kebiasaannya sebelum berangkat tarawih, jika tidak diberi, Raya akan terus merengek.

“Tapi, Nak. Kata Bu Ustazdah, kalau tarawih gak boleh jajan,” jawab mamanya.

“Boleh kok, Ma. Asalkan uangnya buat beli barang yang bermanfaat.”

“Memangnya Raya mau beli apa?” tanya mamanya penasaran.

“Mau beli rumah di surga!” jawab Raya polos.

Lalu wanita itu memeluk Raya, ia merasa tersindir, karena selama ini jarang beramal.

FIKSIMINI: MENYIBAK TIRAI KELABU

Menyibak Tirai Kelabu
Oleh: Sitie CB

Aku masih terguncang, perihal undangan dari Mas Ardian yang sebentar lagi akan naik ke pelaminan. Hatiku berkecamuk, mengharapkan ia jadi pangeran dalam hidupku. Tapi nyatanya, ia lebih memilih sahabatku untuk menjadi permaisurinya.

Tanggul di pelupuk mata akhirnya jebol, saat mengingat semua kenangan bersama Mas Ardian.

“Kamu sudah siap, Ri?” suara Eka mengagetkanku.
Aku mengangguk, meski sedikit terpaksa.

“Ingat, Ri! Yang terpenting itu bukan cintamu, tapi kualitas orang yang kamu cintai. Untuk apa mencintai orang yang tak juga mencintaimu!” nasihat Eka, sepupu sekaligus tempat curhat Erie.

“Sudahlah, sekarang saatnya untuk move on. Dengan meninggalkannya, sama saja kamu naik kelas, Ri!” lanjut Eka.

Kamu benar, Ka! Batinku.
Dengan mantap, kumelangkah menuju Mas Permana, orang yang baru saja mengkhitbahku.

Rabu, 14 Januari 2015

PERIHAL BUNGA MAWAR



Judul: Perihal Bunga Mawar
Oleh: Sitie CB

“Bunga mawar? Dari Edoe?” jawab Lailla penuh tanya, ketika Tika menanyakan perihal bunga mawar yang sering dibeli Edoe. “Sumpah, aku gak pernah menerima bunga mawar dari Edoe Tik!” lanjutnya.

“Jangan-jangan ….” Berbagai pikiran negative menjejali kepala perempuan berperawakan langsing itu.

Bergegas ia ke rumah Edoe, laki-laki yang memutuskan untuk menunda lamarannya dua bulan lagi tanpa penjelasan apapun.
Beberapa kali mengucap salam, namun tak ada sahutan. Handphone Edoe pun tidak aktif.
Akhirnya, Lailla pulang dengan perasaan kesal. 

**
“La, maafkan aku. Selama seminggu ini tak memberimu kabar,” ucap Edoe saat berkunjung ke rumahnya.

Namun Lailla hanya diam.
Maaf-maaf, gak semudah itu, Doe! Batinnya jengkel. 

“Iya, aku memang salah. Tapi ada alasan dibalik semua itu, La!”

“Alasan apa? Mengunjungi pacar barumu dengan sering membelikan bunga mawar, hah!” serunya.

“Kamu tahu dari mana? Semua itu salah paham, La. Rose itu …” 

“Oh, jadi namanya Rose!” potong Lailla dengan nada sinis sembari berlalu dari hadapan Edoe, laki-laki yang selama seminggu ini menghilang begitu saja.

*
Hati Lailla didera kesedihan. Ia merasa Edoe telah menghianatinya di belakang.

“La, tak seharusnya kamu marah seperti itu! Memangnya kamu sudah tahu, Rose itu siapa?” tanya Tika, sahabat yang selalu jadi tempat curhat Lailla.

Ia menggelengkan kepala.

“La, sebaiknya kamu minta maaf sama Edoe! Sekalian meminta penjelasan tentang Rose, perempuan yang telah berhasil merebut perhatian Edoe darimu!” usul Tika. 

Lailla hanya diam, meresapi setiap kata yang keluar dari mulut sahabatnya.
Kamu benar, Tik. Harusnya aku tak seemosi kemarin. Harusnya aku mendengarkan penjelasan Edoe tentang perempuan bernama Rose itu! Batin Lailla penuh sesal.
Sebab, ia tak mau kehilangan Edoe.

“Aku terlalu egois!” lirihnya.

**
Dengan yakin, Lailla melangkah menuju rumah Edoe. Meminta maaf adalah tujuannya untuk memperbaiki hubungan yang sudah empat bulan terjalin.

“Mas Edoenya baru saja keluar, Mbak. Mungkin belum jauh dari sini,” jawab pembantu Edoe, saat Lailla menanyakan keberadaan kekasihnya.

Bergegas, ia menaiki taksi untuk menyusul laki-laki yang dicintainya.

“Edoe!” serunya ketika melihat mobil yang ia kenal terparkir di depan toko bunga. 

“Dia membeli bunga mawar lagi? Benar-benar gak bisa dimaafkan!” Dihelanya napas panjang, “sabar-sabar, lebih baik aku menyelidikinya terlebih dulu,” lirihnya sembari mengelus dada.
Ia menginstrusikan Pak Sopir untuk membuntuti mobil Edoe. Mobil melaju dengan kecepatan sedang.

“Pelan-pelan saja ya, Pak. Supaya tidak dicurigai.”

“Baik, Mbak.” 

*
“Ru-mah ma-sa de-pan?” lirihnya, begitu mobil Edoe memasuki gapura. 

Lailla memilih berjalan kaki untuk masuk ke dalam. Terlihat orang-orang ramai berlalu lalang sembari membawa keranjang berisi bunga.
Ia berlari menyusul Edoe, dan ingin sekali berhambur memeluk kekasihnya.

“Edoe,” sapa Lailla pelan, ketika mendapati orang yang diikutinya baru saja selesai membaca doa.

 “Lailla! Kok kamu bisa di sini?” tanya Edoe sedikit kaget atas kehadirannya.

“Maafkan aku, Doe. Aku sudah berburuk sangka padamu.” Hanya kalimat itu yang mampu ia ucapkan. Lalu ia bersimpuh dan mengusap batu nisan bertuliskan wafatnya Rose binti Ahmad seminggu yang lalu. Inikah alasan Edoe?

 “Tak sepenuhnya salah kamu, La. Maafkan aku juga karena tidak pernah cerita tentang Rose, adikku yang meninggal dari seminggu yang lalu. Ia kecelakaan, ketika sedang menyeberang jalan untuk membeli bunga mawar ….” Kalimatnya terhenti, seolah berat untuk melanjutkan sesuatu.

“Dan kamu tahu? Bunga mawar itu kesukaan Rose, La. Ia ingin sekali seperti bunga mawar yang berduri!”
Edoe tak bisa membendung air matanya, begitu pun Lailla.
 
Bunga mawar yang berduri? Batinnya. Lalu ia tersenyum, ada kesejukan yang masuk ke hatinya, perihal bunga mawar.

Jakarta, 11 Januari 2015

Selasa, 06 Januari 2015

ISTANA UNTUKMU VERSI 2



Istana Untukmu
Oleh: Sitie CB

Selembar kantuk menyapa, menundukkan kelopak mata yang sedari tadi belum sempat terpejam.
Namun rasa kantuk itu hilang seketika, saat kumendengar buliran bening berhamburan dari langit. Rinai turun diikuti angin kencang, membuatku semakin tak tenang.

Semakin malam, hujan bertambah deras. Kurasakan tetesan-tetesan air mengenai bahuku. Buru-buru kuambil ember dan baskom untuk menadahi air yang menetes dari genteng bocor.
Ternyata bukan hanya kamar, tapi ruang dapur juga bocor di sana-sini. Terpaksa, malam ini kurela untuk begadang.

“Mak, hujan semakin deras. Terus kita tidur dimana?” tanyaku pada emak.

Sebab, dipan yang biasa untuk merebahkan badan basah, terkena tempiasan air hujan. Maklum, rumah yang kami tinggali masih beranyamkan bambu.

“Ya sudah, kita tidur di ruang depan saja, Nak,” ajaknya.
Aku pun mempersiapkan alas tidur, bantal juga selimut.

“Oh ya, Bapak kok belum pulang, Mak? Padahal hari sudah malam,” tanyaku pada wanita berperawakan kecil.

“Mungkin masih nonton bola di rumahnya Paman Yan.”

Jam dinding menunjukkan pukul 12 malam, tapi belum ada tanda-tanda hujan akan reda, malah kini disertai petir yang terus menggelegar seakan ingin mencari sasaran.

Rasa takut berkecamuk di dada, disertai tubuh menggigil disebabkan angin yang masuk lewat celah-celah dinding. Kutatap lekat-lekat wajah emak, garis-garis di keningnya menyadarkanku akan usia yang kini telah menua, dan kutemukan seberkas cahaya kesabaran dalam menghadapi hidup ini.

“Mak, maafkan Ria!” rasa bersalah terus menghantuiku.

**
Paginya, kudapati lantai dapur dan kamar yang masih beralaskan tanah terlihat becek. Ternyata air dari selokan belakang rumah meluap, dan masuk ke dalam. Dengan sigap, aku dan emak mencari papan kayu untuk ditaruh di tanah yang basah, supaya jika berjalan, kaki tidak belepotan.

“Mak, Bapak kok belum pulang juga ya?” Aku semakin khawatir.

“Mungkin bapak lebih nyaman tinggal di sana.” Jawaban emak bagai palu yang mengenai dada, sakit.

 Kuniatkan untuk menyusul bapak, berharap laki-laki yang kini menginjak kepala tujuh mau pulang ke istana sederhana ini.
Langkah kaki terasa berat kala menginjak teras rumah berbentuk minimalis, ragu, lalu dengan hati-hati kuucap salam. Paman menyambutku dengan hangat, sehangat mentari yang mengintip dari celah pohon melinjo.

“Bapakmu demam, Nduk. Dari semalam menggigil dan batuk-batuk!” Aku tercengang mendengar perkataan dari adik bapakku.

“Bapak!”

Aku berlari menghampiri laki-laki yang rambutnya sudah dipenuhi uban.
Degup kencang di dada tak mau berhenti, aku tak kuasa melihat tubuh bapak yang masih tertidur pulas diiringi dengkuran halus. Rasa bersalah semakin menjadi, membuatku ingin berlari dan berteriak.

“Bapak, maaafkan Ria!” Namun kuurungkan.
Dalam hati yang terdalam, kusematkan dedoa juga niat untuk membahagiakan bapak dan emak.

*
“Nduk, kok awakmu nang kene?[1]” tanya bapak.

Kudekati bapak, lalu kucium tangan keriputnya.

“Ria sengaja menyusul ke sini, aku dan Emak khawatir terjadi apa-apa dengan Bapak,” jawabku sembari menyodorkan kopi hitam kesukaan bapak, “kata paman semalam Bapak demam ya? Nanti Ria bawakan obat dan mengajak Emak untuk mijitin Bapak,” lanjutku, karena aku tahu bapak hanya mau dipijit sama emak.

“Bapak baik-baik saja, Nduk. Kamu dan Emak ndak usah khawatir.”

Aku pamit ke belakang sebelum tanggul pertahanan di mataku jebol. Dada ini terasa sesak.
Kuhela napas panjang, berharap lebih tenang. Tapi salah, tangisku kian pecah. Dan kini keputusanku sudah bulat, merantau adalah jalan satu-satunya agar aku bisa bisa menghasilkan uang untuk membenahi rumah yang sudah mulai rapuh.

“Untuk sementara, biar bapakmu tinggal di sini dulu, Nduk.” Suara paman mengagetkanku, buru-buru kuseka airmata yang terus berhamburan.

Aku tak mampu menjawab, hanya anggukan kepala yang bisa kulakukan. Mungkin itu lebih baik, karena jika tinggal di rumah, keadaan bapak pasti bertambah parah.

***
Aku anak bungsu dari lima bersaudara, hidup dalam naungan kesederhanaan, dan harmonis. Meskipun rumah yang kami tinggali lebih tepat disebut gubuk, tapi tak masalah. Yang terpenting adalah kebersamaan, ketentraman.
Hingga tahun berganti tahun, satu per satu kakakku meninggalkan rumah untuk membina hidup baru. Kini tinggalah kami bertiga.


“Mak, emangnya Bapak ndak mau rumah ini direnovasi? Biar kayak rumah Paman,” tanyaku di sela-sela mencabut ubannya.

“Belum ada dananya, Nduk. Bapak juga ndak kepikiran ke situ.”

“Kenapa gak minta bantuan sama Mas Adi, Mas Aris, Mas Yanto, dan Mas Bayu, Mak? Mereka kan sekarang kerjanya sudah mapan, apalagi Mas Yanto, dia punya banyak karyawan!”

Aku bertanya demikian karena tak tahan mendengar gunjingan tetangga sebelah.
“Pak Ahmad punya anak banyak kok rumahnya masih kayak gubuk. Memangnya gak ada yang mau membantu merenovasi?”

Hati ini sakit, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, bisanya hanya menyusahkan emak dan bapak.

“Ndak usah. Bapak ndak mau merepotkan mereka. Biar kakakmu hidup tenang dengan keluarga kecilnya,” jawabnya.

Ah, emak, bapak. Aku terharu.
Namun apalah artinya aku jika hanya berdiam diri, bahkan gunjingan semakin terdengar santer, membuat hatiku panas. Aku pun tak ingin gunjingan para tetangga itu membebani pikiran mereka.

*
“Emak, Ria ingin merantau,” ucapku hati-hati, takut mengganggu kesenangannya.

Wanita yang kupanggil emak itu berhenti mengunyah kinang.

"Ria berjanji sepulang merantau akan membuat rumah kita lebih nyaman."

Terlihat telaga jernih di pelupuk mata wanita yang telah melahirkanku “Ndak usah merantau, Nduk. Nanti yang nemenim Emak dan Bapak siapa?”

“Emak?” Kupeluk tubuhnya yang ringkih, tangis kami pecah begitu saja. Haru biru menghiasi senja di akhir tahun.

*
Aku mondar-mandir tak jelas. Bingung.
Merantau yang kukira jalan terbaik, kini pupus, tergantikan kebingungan untuk berpikir lebih keras lagi, apa yang harus kulakukan?

Aha …, tiba-tiba sebuah ide melintas di kepala.

“Kamu kenapa, Nduk? Dari tadi mondar-mandir kaya setrikaan,” tanya bapak yang sedang menghisap lintingan tembakau.

“Hmm …” Aku ragu, “ oh ya, minggu depan kita main ke rumah Mas Bayu yuk, Pak. Aku kangen. Sabtu depan kan juga waktunya Mbak Endang melahirkan,” usulku.

“Oh iya, bapak sampai lali. Ya wis, besok kabari Mas Adi suruh ke sini, biar berangkatnya sama-sama.”

Yes!
Buru-buru kuberi tahu semua kakakku, untuk meminta bantuannya.

*
“Pak, Ria gak jadi ikut ya.”

“Lho, kenapa? Kemarin kamu yang ngusulin ke sana!”

“Iya. Tapi Ria mau nungguin rumah, nanti kalau hujan dan air masuk ke dalam, dan gak ada yang tahu, kan bahaya!” Sebisa mungkin kuberi alasan yang masuk akal.

Emak dan Mas Adi pun membenarkan alasanku.

“Sukses selalu ya, De. Nanti Mas Aris dan Mas Yanto ke sini, sekalian membawa timnya,” bisik Mas Adi sebelum mengemudikan mobilnya.

“Ok, jaga Emak dan Bapak selama di Jogja ya, buat mereka kerasan tinggal di sana,” balasku.

*
Rencana yang telah tersusun selama seminggu kini mulai dijalani.  Satu per satu kakakku datang, Mas Yanto membawa tim yang sudah dijanjikannya. Mereka mengangkut berbagai bahan bangunan. Dengan dibantu para tetangga yang peduli dengan rumah kami, tak beberapa lama bangunan yang diimpikan Emak dan Bapak akhirnya selesai juga.

“Bagaimana, Ri?” tanya Mas Adi.

Kuacungi jempol. Biarpun tak sebagus rumah paman, yang penting bisa untuk berteduh dan nyaman ditinggali.

*
Kedatangan orang yang kusayangi disambut dengan penuh suka cita oleh para warga. Aku tersenyum haru.
Baru saja turun dari mobil, emak dan bapak tercengang, kaget.

“Iki umaeh sopo, Nduk. Kok apik tenan?[2]” tanya bapak penasaran.

“Coba Bapak baca alamat rumahnya,” timpal Emak.

Dengan mimik tak percaya, bapak memelukku. Tangis haru yang mungkin mewakili beribu pertanyaan.

Jakarta, 5 Januari 2015
======================selesai========================
Keterangan:

[1] “Nak, kok kamu di sini?”
[2] ‘Ini rumah siapa, Nak. Kok bagus banget?”

Sabtu, 03 Januari 2015

ISTANA UNTUKMU

Istana Untukmu
Oleh: Sitie CB

Selembar kantuk menyapa, menundukkan kelopak mata yang sedari tadi belum sempat terpejam.
Namun rasa kantuk itu hilang seketika, saat kumendengar buliran bening berhamburan dari langit. Rinai turun diikuti angin kencang, membuatku semakin tak tenang.

Semakin malam, hujan bertambah deras. Kurasakan tetesan-tetesan air mengenai bahuku. Buru-buru kuambil ember dan baskom untuk menadahi air yang menetes dari genteng bocor.
Ternyata bukan hanya kamar, tapi ruang dapur juga bocor di sana-sini. Terpaksa, malam ini kurela untuk begadang.

“Mak, hujan semakin deras. Terus kita tidur dimana?” tanyaku pada emak.

Sebab, dipan yang biasa untuk merebahkan badan basah, terkena tempiasan air hujan. Maklum, rumah yang kami tinggali masih beranyamkan bambu.

“Ya sudah, kita tidur di ruang depan saja, Nak,” ajaknya.

Aku pun mempersiapkan alas tidur, bantal juga selimut.

“Oh ya, Bapak kok belum pulang, Mak? Padahal hari sudah malam,” tanyaku pada wanita berperawakan kecil.

“Mungkin masih di tempat Paman Yan.”

Jam dinding menunjukkan pukul 12 malam, tapi belum ada tanda-tanda hujan akan reda, malah kini disertai petir yang terus menggelegar seakan ingin mencari sasaran.

Rasa takut berkecamuk di dada, disertai tubuh menggigil disebabkan angin yang masuk lewat celah-celah dinding. Kutatap lekat-lekat wajah emak, garis-garis di keningnya menyadarkanku akan usia yang kini telah menua, dan kutemukan seberkas cahaya kesabaran dalam menghadapi hidup ini.

“Mak, maafkan Ria!” rasa bersalah terus menghantuiku.

**
Paginya, kudapati lantai dapur dan kamar yang masih beralaskan tanah terlihat becek. Ternyata air dari selokan belakang rumah meluap, dan masuk ke dalam. Dengan sigap, aku dan emak mencari papan kayu untuk ditaruh di tanah yang basah, supaya jika berjalan, kaki tidak belepotan.

“Mak, Bapak kok belum pulang juga ya?” Aku semakin khawatir.

“Mungkin bapak lebih nyaman tinggal di sana.” Jawaban emak bagai palu yang mengenai dada, sakit. Kuniatkan untuk menyusul bapak, berharap laki-laki yang kini menginjak kepala tujuh mau pulang ke istana sederhana ini.

Langkah kaki terasa berat kala menginjak teras rumah berbentuk minimalis, ragu, lalu dengan hati-hati kuucap salam. Paman Yan menyambutku dengan hangat, sehangat mentari yang mengintip dari celah pohon melinjo.

“Bapakmu ndak mau pulang, Nduk!” Aku tercengang mendengar perkataan dari adik bapakku.

“Memangnya kenapa, Paman?”

“Takoni dewek, apa karepe Bapakmu![1]” jawabnya.

Degup kencang di dada tak mau berhenti, aku tak kuasa melihat tubuh bapak yang masih tertidur pulas diiringi dengkuran halus. Rasa bersalah semakin menjadi, membuatku ingin berlari dan berteriak.

“Bapak, maaafkan Ria!” Namun kuurungkan.

Dalam hati yang terdalam, kusematkan dedoa juga niat untuk membahagiakan bapak dan emak.

*
“Nduk, kok awakmu nang kene?[2]” tanya bapak.

Kudekati bapak, lalu kucium tangan keriputnya.

“Ria sengaja menyusul ke sini, aku dan Emak khawatir terjadi apa-apa dengan Bapak,” jawabku sembari menyodorkan kopi hitam kesukaan bapak.

“Bapak baik-baik saja, Nduk. Di sini aman, bapak kerasan tinggal di rumah pamanmu.”

Aku pamit ke belakang sebelum tanggul pertahanan di mataku jebol. Dada ini terasa sesak.
Kuhela napas panjang, berharap lebih tenang. Tapi salah, tangisku kian pecah. Dan kini keputusanku sudah bulat, merantau adalah jalan satu-satunya untuk mewujudkan cita-cita bapak membangun istana baru.

***
Aku anak bungsu dari lima bersaudara, hidup dalam naungan kesederhanaan, dan harmonis. Meskipun rumah yang kami tinggali lebih tepat disebut gubuk, tapi tak masalah. Yang terpenting adalah kebersamaan, ketentraman.

Hingga tahun berganti tahun, satu per satu kakakku meninggalkan rumah untuk membina hidup baru. Kini tinggalah kami bertiga.

Bapak lebih sering ke sawah, pulang-pulang membawa bongkahan batu yang diambilnya dari sungai, ia lakukan setiap hari. Hingga terkumpul banyak.

“Batu itu untuk apa, Pak?” tanyaku.

“Buat mbangun rumah,” jawabnya sembari tersenyum.

“Kenapa gak minta bantuan sama Mas Adi, Mas Aris, Mas Yanto, dan Mas Bayu, Pak?”
Aku bertanya demikian karena tak tahan mendengar gunjingan tetangga sebelah.

“Pak Ahmad punya anak banyak kok rumahnya masih kayak gubuk. Memangnya gak ada yang mau membantu merenovasi?”

Hati ini sakit, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, bisanya hanya menyusahkan emak dan bapak.

“Ndak usah. Biar mereka hidup tenang dengan keluarga kecilnya.” Bapak berlalu dari hadapanku.

Ah, bapak. Aku terharu.
Namun apalah artinya aku jika hanya berdiam diri, bahkan gunjingan semakin terdengar santer, membuat hatiku panas. Aku pun tak tega melihat bapak tergopoh-gopoh memanggul bongkahan batu yang begitu berat.

*
“Emak, izinkan Ria merantau.” Kupeluk tubuhnya yang semakin ringkih.

“Ria berjanji akan pulang membawa sebongkah rezeki untuk membangun istana kita, Mak.”

Wanita di hadapanku tak menjawab apa-apa. Terlihat telaga jernih di pelupuk mata, lalu ia memelukku erat.

“Emak doakan semoga kamu sehat selalu, Nak.” Tangisnya pecah.

Rasanya tak tega meninggalkan orangtua yang sudah renta, namun demi satu tujuan, cinta yang tersemat indah untuknya. Dan kini, saatnya aku membahagiakan mereka.

Tertatih hati, menjemput cita dengan sepenuh jiwa.
Permata indah bergulir tiada henti saat kucium punggung tangan keriputnya.
Seketika, langkahku gontai. Berat!

Hasrat berbalik, memeluknya erat. Tapi…
Ah, tetap saja kuayunkan langkah ini tiada henti
Kubiarkan bulir-bulir bening berjatuhan, seiring jalan setapak yang kulalui.
Tegar!

Harus, seperti petuahnya saat hidung ini menyentuh punggung tangannya.

“Sing sabar, Nduk. Kerja karo wong liya kudu gede atine.”[3]
Seketika hatiku luruh, berbalut getaran penggugah kesadaran.
Kutatap dua bola mata sayu, namun tak balik menatap.
Genangan tampak tertahan, kualihkan pandangan
Berat!
Tuk berpisah darinya

Jakarta, 3 Januari 2015
======================selesai========================
Keterangan:
[1] “Tanyakan sendiri, apa maunya bapakmu!”
[2] “Nak, kok kamu di sini?”
[3] “Yang sabar, Nak. Kerja sama orang lain harus besar hatinya.”