Selasa, 25 November 2014

FIKSIMINI

Fiksi # Tantangan terbesar #

Orang-orang berlalu lalang tiada hentinya. Aku pun jengkel.

“Kalau begini, lebih baik aku berhenti saja. Capek!” keluhku pada Anto. Kerja menjadi OB ternyata sangat melelahkan.

“Mana ada kerja yang gak capek, Don?” jawabnya sembari mengepel lantai koridor Rumah Sakit, “Tidur aja capek!” lanjutnya.


Bukannya membantu Anto, aku malah duduk. Menyesali pilihanku mau bekerja di sini.
Sedangkan kawanku terus saja mengepel, sesekali terdengar ia bersenandung, tanpa peduli pada orang-orang di sekitarnya.

“Ayolah, Kawan. Jangan suka mengeluh. Apalagi bermalas-malasan. Kita syukuri saja apa yang ada.”

Huf. Dengan ogah-ogahan aku menghampirinya, lalu membantu Anto mengepel.


“Kamu tahu gak? Tantangan terbesar bukan saat kita menghadapi kesulitan tapi saat kita melawan kemalasan dan keluhan diri kita sendiri,” bisiknya.
--------------------
SEDERHANA. Ya benar kisah di atas sangat sederhana. Adegannya sederhana. Latarnya sederhana. Namun seringkali yang sederhana itu tidak sederhana. Begitulah kisah di atas. Menceritakan seorang Doni, yang kerja menjadi OB, dan merasa itu bukan tempatnya. Dan banyak nian orang yang merasakan demikian, yaitu saat merasa apa yang sekarang ditempatinya bukanlah tempatnya. Banyak orang mengeluhkan tempatnya bekerja, dan merasa seharusnya dia bukan kerja di sana. Namun Anto temannya memberi nasihat hebat. Kisah ini cukup berkesan, buat siapa saja, yang merasakan jenuh, lelah dan bosan dalam kerjanya, untuk selalu memandang, bahwa semua itu “Tantangan Terbesar”. Sip, sangat cocok dengan event ini: "Motivasi". Karenanya, fiksi ini saya vonis sebagai juara pertama. (Kang Dana Penjual Buku)

FIKSIMINI

Fiksi # Penengadah tangan Vs Pak Tua #

Kupandangi punggung Pak Tua yang semakin membungkuk. Ia terus berjalan memikul dagangannya yang belum laku-laku.
Matahari semakin beranjak naik, Pak Tua pun berteduh di bawah pohon.

“Pisangnya berapaan, Kek?” tanya perempuan separuh baya.

“Murah kok, Neng. Satu sisir 4000,00,” jawab Pak Tua sembari memberikan senyum tulusnya.

“Kalau begitu saya beli tiga sisir.”

Bergegas, Pak Tua memasukkan pisang ke dalam kantong plastik.

Perempuan separuh baysa yang sehari-harinya menengadahkan tangan itu pun menghampiri para pemulung, lalu membagi-bagikan pisang yang baru dibelinya.