Jumat, 26 September 2014

KEBEBASAN DIRI



Tema: Kisah remaja popular dan kehidupannya
Judul: Kebebasan Diri


“Tidak ada yang namanya kebebasan, kecuali di surga kelak.”

Kata-kata itu masih terngiang di telinganya. Terdengar pelan, namun jelas.
Benarkah?

Sebenarnya kata siapa? Mungkin dari radio milik Bapak yang tak sengaja ia dengarkan.
Panji masih termenung. Sesekali wajahnya merah padam. Dan untuk kesekian kali, ia mengepulkan asap dari mulut, lalu membuang benda yang telah membuatnya kecanduan itu ke pelataran rumah.
Tatapan mata tak fokus, gerak tubuhnya mengisyaratkan kegelisahan. Malam semakin larut, namun tak ada tanda-tanda ia beranjak dari tempat favoritnya. Tetap asyik menikmati nyanyian jangkrik dan segelas kopi hitam di beranda.

Angannya melambung, membuat Panji berpikir tentang kebebasan yang ia rasakan.
Lagi-lagi, benarkah?
***
“Bu, Panji sekolah dulu,” pamitnya pada wanita separuh baya, ia mencium tangan, lalu lekas pergi.

“Tunggu, Nak!” Ia menghentikan langkahnya.
“Tumben gak minta uang jajan,” ucap wanita itu dengan lembut.

“Yang kemarin masih ada, Bu,” jawab remaja berseragam putih abu-abu.
Langkahnya sedikit ragu, terasa berat. Seperti ada pergulatan batin.
Namun di sisi lain, ia bahagia.

Di tengah jalan, Panji berpapasan dengan Riko, Enji, dan Alan. Kakak kelasnya.

“Ji, gimana? Nanti malam jadi pergi ke Alun-alun gak?” tanya Riko.

“Jadi, dong!” jawabnya mantap, namun di dalam lubuk hati terdalam, rasa bersalah berkecamuk, membuat Panji sedikit ragu.

Harusnya aku tak mengikuti ajakan mereka. Tapi, aku pun tak mau nanti dikata-katain kuper, batinnya bertentangan.

“Nah, gitu dong. Jadi laki-laki jangan kuper. Contohnya kita ini,” ucap Alan lalu diiyakan oleh Riko dan Enji.

“Tapi ngomong-ngomong, loe dapat duit dari mana, Ji? Bukankah Bapakloe sangat perhitungan?”
Panji diam, pertanyaan temannya tak dijawab.

“Ya sudah, kita gak perlu tahu Panji dapat uang darimana. Yang penting malam ini kita bersenang-senang, ha ha ha.” Mereka tertawa senang.
Sedangkan Panji terdiam, rasa bersalah masih terus membayanginya.

***
Dididididam dididum dagadagadaga digidum digidum

Sambil bercermin, dan menyemprotkan parfum ke bajunya, Panji bersenandung, mendendangkan lagu rap yang sedang populer di kalangan remaja.

“Bapak mana, Bu?” tanya Panji pada ibunya yang sedang menjahit baju pesanan orang.
Sedari pagi ia tak melihat Bapaknya ada di rumah.

“Bapak nglembur, mungkin nanti malam baru pulang. Memangnya kenapa? Tumben-tumbennya kamu nyariin Bapak!

“Nggak ada apa-apa.” Ia tersenyum, lalu berlalu dari hadapan ibunya.

Yes!
Ia nekat. Tak memikirkan dampaknya. Yang terpenting malam ini ia akan bersenang-senang. Mencicipi suasana malam Minggu bersaman teman-temannya.

“Nak, kamu mau kemana? Malam-malam begini berpakaian rapi dan…,hmmm wangi lagi,” tanya ibunya penasaran. Tidak biasa-biasanya, anak bungsu yang paling dimanja, malam ini terlihat berbeda.

“Anu, Bu…,” jawabnya ragu, “Panji mau janjian sama teman-teman ke Alun-alun,” jelasnya.

“Malam-malam begini?” Ibunya mengernyitkan kening,
“pergi sama siapa? Apa sama teman barumu itu, yang suka kebut-kebutan kalau naik motor dan suka keluyuran tidak jelas, Nak?” Pertanyaan retoris ibunya membuat Panji sedikit bersalah, “sebenarnya Ibu tidak suka lho, kamu bergaul dengan mereka! Takut ketularan tidak baiknya. Kalau Bapak tahu, kamu bakalan dimarahi!” lanjut Bu Ani panjang lebar. Sejatinya ibu mana yang mau anaknya salah dalam bergaul?

“Ah, Ibu. Panji kan sudah gede dan ingin gaul kayak mereka!” jawabnya, lalu pergi tanpa pamit. Hatinya sedikit dongkol. Ia iri pada teman-teman yang selalu dibiarkan oleh orang tuanya, bebas tanpa kekangan dan tidak banyak aturan.
Ibunya hanya bisa mengelus dada, ketika si bungsu mulai berubah.

***
“Wow, ada yang beda nih, Panji terlihat lebih menarik,” celetuk Riko ketika melihat penampilannya.

“Apanya yang menarik, bro? menurutku biasa-biasa saja,” timpal Enji, si rambut kribo.

“Parfumnya, lho. Wangi….” Seketika tawa mereka menderai-derai, membuat wajah Panji memerah, baginya itu adalah celaan. Namun ia enggan untuk menegur Riko dan kawan-kawan. Menurutnya, bergaul dengan mereka adalah jalan terbaik untuk menghilangkan jenuh, ia bosan dengan peraturan bapaknya yang ketat. Tidak boleh pergi malam-malam, dan harus belajar, belajar, dan belajar.
Arrg, membosankan.

“Yuk, kita cabut.” Suara Enji menyadarkan lamunannya.
Dengan berboncengan motor, mereka pergi menuju Alun-alun yang jaraknya lima kilometer dari rumah.

Suasana malam Minggu, Alun-alun terlihat begitu ramai. Panji diajak berkumpul bersama sekelompok remaja yang sedang asyik menggerak-gerakkan badannya, mirip seperti tarian ala boy band yang sedang ngetren-ngetrennya di zaman sekarang. Dengan pakaian longgar-longgar dan memakai topi yang lidahnya terlihat lebih pendek dan melebar dari pada topi biasa, membuat mereka terlihat menarik.

“Ji, mereka keren-keren kan,” bisik Riko.
Panji mengangguk.

“Kita ngerap dulu, yuk ,” ajak Alan.

Di tengah Alun-alun, Riko, Alan, dan Enji menunjukkan diri. Menyanyikan lagu rap disertai tarian yang mereka tiru dari salah satu boy band di televisi.


Sudah tinggalkan
Tinggalkan saja semua persoalan waktu kita sejenak
Tuk membebaskan pikiran
Dan biarkan..
Biarkan terbang tinggi sampai melayang jauh menembus awan..
Sementara tinggalkan semua aturan yang kadang terlalu mengikat dan tak beralasan teman
Memang, memang benar teman
Kita perlu cooling down dan melonggarkan pakaian
Reff:
Bebas lepas kutinggalkan saja semua beban dihatiku
Melayang kumelayang jauh
Melayang dan melayang..
Bagaikan anak kecil yang berlari bertlanjang bebas
Keluarkan suara suara canda tawa dan senyum puas
Berteman siraman hujan di lapang yang luas
Tak gentar gelegar petir yang mengaum buas
Yang penting yang penting semua senang kawan
Sejak kehadiranmu uh uh bumi terkekeh riang
Dadaku berdentam
Dididididam dididum dagadagadaga digidum digidum
Kita saling berpandang berpegangan tangan erat
Dan biarkan tubuh tersiram hujan yang lebat
Dan pekat di bawah naungan awan nan gelap
Terkadang menyilaukan di kala kilat lewat
Apakah kita kan selalu bersama-sama, kawan?
Apakah kita kan selalu berjalan beriringan?
Masih di dalam lebatnya hujan kita berjalan
Bersamamu, kita kan tebarkan senyuman

Wow!
Panji yang belum bisa seperti mereka berdecak kagum, diam-diam ia ingin menirukan gaya teman-temannya.

***
“Panji! Bangun!” teriak Pak Ahmad membangunkan anaknya yang masih mendengkur.

Panji yang sedang asyik-asyiknya bermimpi terbangun. Ia kaget, ketika membuka mata mendapati Bapak ada di hadapannya.

“Hari libur, bukannya bangun pagi, malah enak-enakan molor!” gerutu Pak Ahmad,
“ini nih, kalau malam-malam keluyuran gak jelas. Sudah dilarang-larang, masiiih saja nekat.” Tak henti-hentinya laki-laki berbadan kurus, yang tak lain adalah bapaknya mencak-mencak.
Remaja yang usianya menginjak 16 tahun itu terbengong, karena belum sepenuhnya sadar dari tidur, begadang membuat kepalanya pening, hingga tak menyadari hari sudah siang.

“Nak, ayo bangun. Nanti Bapak marah lagi,” bujuk ibunya.

***
Ternyata kemarahan dari bapaknya tak pernah dihiraukan, masuk telinga kiri lalu keluar telinga kanan.

Setiap malam Panji habiskan untuk berlatih rap di Alun-alun. Musik hip hop telah melenakannya. Tak ayal, pagi-pagi bangun kesiangan dan sering terlambat sekolah.

“Ini apa, Ji?” tanya bapaknya kala ia melihat surat pemberitahuan di atas meja.
Langsung saja wajah Pak Ahmad menyeringai.
Ditariknya napas dalam-dalam. Berlahan diredamnya amarah yang hampir saja meledak. Kemarahan bukan solusi yang baik. Menghadapi anak remaja yang masih labil harus dengan pikiran yang jernih.

“Sebenarnya mau kamu apa, Ji? Keluar dari sekolah atau bagaimana?”

Panji hanya menunduk, ia memang salah. Otaknya terus berpikir, mencari jawaban yang tepat.

“Jadi selama ini berangkat sekolah hanya untuk bermain-main! Terus kamu kemanakan uang bulanan dan gedung yang diminta tempo hari?” Pertanyaan-pertanyaan terus saja keluar dari mulut Bapak. Sedangkan Panji masih saja menunduk, ia tak berani mendongakan kepala.

“Bapak gak pernah melarangmu bergaul dengan siapapun, asal tidak mengganggu belajarmu. Tapi, ini…” Helaan nafas panjang memutus kalimat laki-laki yang terlihat lelah.

“Panji hanya ingin kebebasan seperti teman-teman, Pak,” Jawabnya dengan perasaan takut.

“Nak, akal dan kecerdasan tidak ada artinya tanpa kebebasan. Tapi, kebebasan di sini bukan berarti kamu harus melakukan apa yang kamu mau, termasuk menuruti ego,” papar Pak Ahmad dengan mengutip kalimat yang pernah didengarnya di radio.

“Berarti selama ini Panji salah ya, Pak?”
--------------------------------------Selesai-------------------------------------------
“Tetaplah fokus memilih pada kebebasan yang
bersifat positif ya, kawan.”

NB: Masih banyak kekurangan.

AKU KENAPA?



#Event_Romantis
Sub tema : Cinta Terpendam dan atau Kasih Tak Sampai.

Judul: Aku Kenapa?

Dy, adakah yang salah tentang rasa ini?
Rasa yang tiba-tiba datang laksana ombak yang mampu menghempaskan karang, sakit!
Atau laksana Guntur yang menyambar-nyambar hingga membuatku lunglai tak berdaya. Ah, lebay, lebay sekali.

Awal yang indah, saat dia berbasa-basi di sampingku.

“Eh, Mbak. Aku sudah punya nomermu belum, ya?”

“Gak, tahu.” Jawabku sekenanya.

Beribu-ribu detik kumenanti kata-kata indah, namun layar Hp jadulku kala itu tak kunjung berbunyi. Sebal!

Ah, aku benar-benar terbelenggu.

Dy, adakah dia merasa?
Rindu ini terus membuncah, tak mau dicegah.
Haruskah ku telusuri, mendayung, lalu menyelam di hatinya?
Agar aku tahu, ada sepotong hatiku yang tertinggal di sana.

“Kadang aku bertanya, tanya dalam hati
apakah kau sebodoh itu
tak juga menyadari semua yang kurasakan, kurasakan padamu”[*]

Dua ribu hari telah kulalui, awalnya rasa untukmu akan hilang. Namun, sepertinya tak mungkin. Karena sinyal-sinyal rasa untukku  pernah terbentuk dalam senyum manis di masa lalu.
Tapi, mungkinkah rasa ini akan sia-sia?

“Perasaan yang kupendam padamu
lebih dalam dari yang engkau tahu
jika kau mau membuka pintu hatimu
percayalah nanti kau pasti akan tahu.”[*]

Sepertinya tak mungkin, dia terlalu acuh, tak pernah serius. Menganggapku hanya sebatas teman.

Dy, adakah waktuku bersamanya kurang? Hingga bibit-bibit rasa yang pernah kutanam belum jua tumbuh. Atau pupuk perhatian tak pernah kuberikan? Hingga sampai sekarang belum ada tunas yang terlihat darinya.
“Seluruh waktu yang kubagi denganmu
sungguh indah dan berarti bagiku
aku masih berharap kau akan mengerti
aku ada disini untuk kau miliki.”[*]

Argh… Haruskah ku buang ego, jaim, demi rasa yang terus membelenggu?
Aku ragu!

“Pernah aku berpikir untuk nyatakan saja
tak pedulikan semua
tapi lidahku kelu setiap kau bertanya "kamu kenapa"[*]
[*] The Rain: Cinta Terpendam

Jumat, 19 September 2014

CERPEN: BERTEMA KISAH REMAJA POPULER DAN KEHIDUPANNYA



 KEBEBASAN DIRI






“Tidak ada yang namanya kebebasan, kecuali di surga kelak.”

Kata-kata itu masih terngiang di telinganya. Terdengar pelan, namun jelas.
Benarkah?

Sebenarnya kata siapa? Mungkin dari radio milik Bapak yang tak sengaja ia dengar.
Panji masih termenung. Sesekali wajahnya merah padam. Dan untuk kesekian kali, ia mengepulkan asap dari mulut, lalu membuang benda yang telah membuatnya kecanduan itu ke pelataran rumah.
Tatapan mata tak fokus, gerak tubuhnya mengisyaratkan kegelisahan. Malam semakin larut, namun tak ada tanda-tanda ia beranjak dari tempat favoritnya. Tetap asyik menikmati nyanyian jangkrik dan segelas kopi hitam di beranda.



Angannya melambung, membuat Panji berpikir tentang kebebasan yang ia rasakan.
Lagi-lagi, benarkah?

***
“Bu, Panji sekolah dulu,” pamitnya pada wanita separuh baya, ia mencium tangan, lalu lekas pergi.

“Tunggu, Nak!” Ia menghentikan langkahnya.
“Tumben gak minta uang jajan,” ucap wanita itu dengan lembut.

“Yang kemarin masih ada, Bu,” jawab remaja yang berseragam putih abu-abu.
Langkahnya sedikit ragu, terasa berat. Seperti ada pergulatan batin.
Namun di sisi lain, ia bahagia.

Di tengah jalan, Panji berpapasan dengan Riko, Enji, dan Alan. Kakak kelasnya.

“Ji, gimana? Nanti malam jadi pergi ke Alun-alun gak?” tanya Riko.

“Jadi, dong!” jawabnya mantap, namun di dalam lubuk hati terdalam, rasa bersalah berkecamuk, membuat Panji sedikit ragu.

Harusnya aku tak mengikuti ajakan mereka. Tapi, aku pun tak mau nanti dikata-katain kuper, batinnya bertentangan.

“Nah, gitu dong. Jadi laki-laki jangan kuper. Contohnya kita ini,” ucap Alan lalu diiyakan oleh Riko dan Enji.

“Tapi ngomong-ngomong, loe dapat duit dari mana, Ji? Bukankah Bapakloe sangat perhitungan?”
Panji diam, pertanyaan temannya tak dijawab.

“Ya sudah, kita gak perlu tahu Panji dapat uang darimana. Yang penting malam ini kita bersenang-senang, ha ha ha.” Mereka tertawa senang.
Sedangkan Panji terdiam, rasa bersalah masih terus membayanginya.

***
Dididididam dididum dagadagadaga digidum digidum

Sambil bercermin, dan menyemprotkan parfum ke bajunya, Panji bersenandung, mendendangkan lagu rap yang sedang populer di kalangan remaja.

“Bapak mana, Bu?” tanya Panji pada ibunya yang sedang menjahit baju pesanan orang.
Sedari pagi ia tak melihat Bapaknya ada di rumah.

“Bapak nglembur, mungkin nanti malam baru pulang. Memangnya kenapa? Tumben-tumbennya kamu nyariin Bapak!"

“Nggak ada apa-apa.” Ia tersenyum, lalu berlalu dari hadapan ibunya.

Yes!

Ia nekat. Tak memikirkan dampaknya. Yang terpenting malam ini ia akan bersenang-senang. Mencicipi suasana malam Minggu bersaman teman-temannya.

“Nak, kamu mau kemana? Malam-malam begini berpakaian rapi dan…,hmmm wangi lagi,” tanya ibunya penasaran. Tidak biasa-biasanya, anak bungsu yang paling dimanja, malam ini terlihat berbeda.

“Anu, Bu…,” jawabnya ragu, “Panji mau janjian sama teman-teman ke Alun-alun,” jelasnya.
“Malam-malam begini?” Ibunya mengernyitkan kening,
“pergi sama siapa? Apa sama teman barumu itu, yang suka kebut-kebutan kalau naik motor dan suka keluyuran tidak jelas, Nak?” Pertanyaan retoris ibunya membuat Panji sedikit bersalah, “sebenarnya Ibu tidak suka lho, kamu bergaul dengan mereka! Takut ketularan tidak baiknya. Kalau Bapak tahu, kamu bakalan dimarahi!” lanjut Bu Ani panjang lebar. Sejatinya ibu mana yang mau anaknya salah dalam bergaul?

“Ah, Ibu. Panji kan sudah gede dan ingin gaul kayak mereka!” jawabnya, lalu pergi tanpa pamit. Hatinya sedikit dongkol. Ia iri pada teman-teman yang selalu dibiarkan oleh orang tuanya, bebas tanpa kekangan dan tidak banyak aturan.

Ibunya hanya bisa mengelus dada, ketika si bungsu mulai berubah.

***

“Wow, ada yang beda nih, Panji terlihat lebih menarik,” celetuk Riko ketika melihat penampilannya.

“Apanya yang menarik, bro? menurutku biasa-biasa saja,” timpal Enji, si rambut kribo.

“Parfumnya, lho. Wangi….” Seketika tawa mereka menderai-derai, membuat wajah Panji memerah, baginya itu adalah celaan. Namun ia enggan untuk menegur Riko dan kawan-kawan. Menurutnya, bergaul dengan mereka adalah jalan terbaik untuk menghilangkan jenuh, ia bosan dengan peraturan bapaknya yang ketat. Tidak boleh pergi malam-malam, dan harus belajar, belajar, dan belajar.
Arrg, membosankan.

“Yuk, kita cabut.” Suara Enji menyadarkan lamunannya.

Dengan berboncengan motor, mereka pergi menuju Alun-alun yang jaraknya lima kilometer dari rumah.
Suasana malam Minggu, Alun-alun terlihat begitu ramai. Panji diajak berkumpul bersama sekelompok remaja yang sedang asyik menggerak-gerakkan badannya, mirip seperti tarian ala boy band yang sedang ngetren-ngetrennya di zaman sekarang. Dengan pakaian longgar-longgar dan memakai topi yang lidahnya terlihat lebih pendek dan melebar dari pada topi biasa, membuat mereka terlihat menarik.

“Ji, mereka keren-keren kan?” bisik Riko.
Panji mengangguk.

“Kita ngerap dulu, yuk,” ajak Alan.

Di tengah Alun-alun, Riko, Alan, dan Enji menunjukkan diri. Menyanyikan lagu rap disertai tarian yang mereka tiru dari salah satu boy band di televisi.

Sudah tinggalkan
Tinggalkan saja semua persoalan waktu kita sejenak
Tuk membebaskan pikiran
Dan biarkan..
Biarkan terbang tinggi sampai melayang jauh menembus awan..
Sementara tinggalkan semua aturan yang kadang terlalu mengikat dan tak beralasan teman
Memang, memang benar teman
Kita perlu cooling down dan melonggarkan pakaian
Reff:
Bebas lepas kutinggalkan saja semua beban dihatiku
Melayang kumelayang jauh
Melayang dan melayang..
Bagaikan anak kecil yang berlari bertlanjang bebas
Keluarkan suara suara canda tawa dan senyum puas
Berteman siraman hujan di lapang yang luas
Tak gentar gelegar petir yang mengaum buas
Yang penting yang penting semua senang kawan
Sejak kehadiranmu uh uh bumi terkekeh riang
Dadaku berdentam
Dididididam dididum dagadagadaga digidum digidum
Kita saling berpandang berpegangan tangan erat
Dan biarkan tubuh tersiram hujan yang lebat
Dan pekat di bawah naungan awan nan gelap
Terkadang menyilaukan di kala kilat lewat
Apakah kita kan selalu bersama-sama, kawan?
Apakah kita kan selalu berjalan beriringan?
Masih di dalam lebatnya hujan kita berjalan
Bersamamu, kita kan tebarkan senyuman

Wow!
Panji yang belum bisa seperti mereka berdecak kagum, diam-diam ia ingin menirukan gaya teman-temannya.

***
“Panji! Bangun!” teriak Pak Ahmad membangunkan anaknya yang masih mendengkur.
Panji yang sedang asyik-asyiknya bermimpi terbangun. Ia kaget, ketika membuka mata mendapati Bapak ada di hadapannya.

“Hari libur, bukannya bangun pagi, malah enak-enakan molor!” gerutu Pak Ahmad,
“ini nih, kalau malam-malam keluyuran gak jelas. Sudah dilarang-larang, masiiih saja nekat.” Tak henti-hentinya laki-laki berbadan kurus, yang tak lain adalah bapaknya mencak-mencak.

Remaja yang usianya menginjak 16 tahun itu terbengong, karena belum sepenuhnya sadar dari tidur, begadang membuat kepalanya pening, hingga tak menyadari hari sudah siang.

“Nak, ayo bangun. Nanti Bapak marah lagi,” bujuk ibunya.

***
Ternyata kemarahan dari bapaknya tak pernah dihiraukan, masuk telinga kiri lalu keluar telinga kanan.
Setiap malam Panji habiskan untuk berlatih rap di Alun-alun. Musik hip hop telah melenakannya. Tak ayal, pagi-pagi bangun kesiangan dan sering terlambat sekolah.

“Ini apa, Ji?” tanya bapaknya kala ia melihat surat pemberitahuan di atas meja.

Langsung saja wajah Pak Ahmad menyeringai.
Ditariknya napas dalam-dalam. Berlahan diredamnya amarah yang hampir saja meledak. Kemarahan bukan solusi yang baik. Menghadapi anak remaja yang masih labil harus dengan pikiran yang jernih.

“Sebenarnya mau kamu apa, Ji? Keluar dari sekolah atau bagaimana?”

Panji hanya menunduk, ia memang salah. Otaknya terus berpikir, mencari jawaban yang tepat.

“Jadi selama ini berangkat sekolah hanya untuk bermain-main! Terus kamu kemanakan uang bulanan dan gedung yang diminta tempo hari?” Pertanyaan-pertanyaan terus saja keluar dari mulut Bapak. Sedangkan Panji masih saja menunduk, ia tak berani mendongakan kepala.

“Bapak gak pernah melarangmu bergaul dengan siapapun, asal tidak mengganggu belajarmu. Tapi, ini…” Helaan nafas panjang memutus kalimat laki-laki yang terlihat lelah.

“Panji hanya ingin kebebasan seperti teman-teman, Pak,” Jawabnya dengan perasaan takut.

“Nak, akal dan kecerdasan tidak ada artinya tanpa kebebasan. Tapi, kebebasan di sini bukan berarti kamu harus melakukan apa yang kamu mau, termasuk menuruti ego,” papar Pak Ahmad dengan mengutip kalimat yang pernah didengarnya di radio.

“Berarti selama ini Panji salah ya, Pak?”

--------------------------------------Selesai-------------------------------------------

“Tetaplah fokus memilih pada kebebasan yang
bersifat positif ya, kawan.”


 Jakarta, 17 September 2014

Jumat, 12 September 2014

CERMIN : TUANKU SAYANG, TUANKU MALANG



Tuanku Sayang, Tuanku Malang
Kuamati wajahmu dan beberapa wanita di sekelilingmu dalam remang-remang lampu disko. Kau terlihat bahagia, tertawa terbahak-bahak menikmati malam ini penuh kemenangan. Segelas dua gelas kau teguk minuman haram itu, hingga membuatmu hilang kesadaran.
Aku  muak melihatmu, dan jijik harus berdesak-desakan dengan sosok yang sangat asing. Tapi aku tak berdaya, hingga apa yang kau lakukan, aku pun mengikutinya.
“Malam ini kita bersenang-senang, Sayang.” Ucapmu pada wanita-wanita berbaju seksi dengan keadaan sedikit kurang waras.
“Tuan sudah gila!” Kata-kataku meluncur begitu saja.
***
 Tiga hariyang lalu, kau bentak Mila hanya karena Ia tak becus mengurus rumah tangga.
“Dasar istri tidak tahu diri. Pagi-pagi sudah keluyuran tanpa pamit pada suami!” bentakmu, sedangkan Ia tertunduk, mengalah demi bakti seorang istri dan  egomu semata.
“Maaf, Bang. Tadi Mila sudah bangunin Abang, tapi gak bangun-bangun. Sedangkan hari sudah beranjak siang.” Ia berlalu ke dapur sambil menenteng belanjaan.
Tuan sudah keterlaluan, tak lagi penyayang seperti dulu. Ingin rasanya memberontak, membela wanita yang sudah jadi bagian hidupmu semenjak enam bulan yang lalu.  Namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Sosokku tak begitu berguna, lemah, tak berdaya.
Rasa benci pun kian berkecamuk dalam hati, ketika kau membawaku ke tempat yang sepertinya baru pertama kita kunjungi.
Deg!
Cahaya yang remang-remang membuatku tak berdaya, hanyut dalam hiruk-pikuk makhluk-makhluk aneh.
Tuan, sejak kapan kau kenal dengan tempat seperti ini?
“Tuan memang benar-benar sudah gila!” cerocosku.
Aku benci. Tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mila kalau saja melihat perangai Tuanku yang mulai liar ini.
“ Tuhan, Engkau ciptakan sosokku dengan segala keterbatasan. Tak berguna, hanya jadi bayang-bayang semata. Jujur ini sangat melelahkan, karena aku tak bisa mencegah perbuatan Tuanku yang kini waktunya hanya untuk berfoya-foya.”
Seketika anganku melayang jauh, terdampar pada keindahan taman.
Embun masih menyelimuti pagi, kita jogging, lalu bercengkerema di taman. Duduk menikmati orang yang berlalu lalang menghirup udara segar, merilekskan tubuhnya, jogging, dan lain-lain.
Kau tersenyum saat seorang gadis menyapa. Beberapa hari kemudian kalian berkenalan dan memadu kasih. 
Cahaya neon di  beranda rumah pun jadi saksi antara Tuan dan Mila, juga diriku dan sosok yang mengikuti kekasihmu.
Tuan, apakah kau lupa. Kerlingan mata indahnya masih membekas, saat kau rayu di malam pertama? Apakah hanya karena kesalahan kecil, hingga Tuan menyakiti hatinya? Memisahkan aku dan sosok yang ku damba?

“Sadarlah Tuan, ada si cantik Mila yang menanti kedatangnmu di malam ini. Merajut cinta  dalam kesetiannya yang kau campakkan begitu saja. Sadar Tuan, sadar…,” bisikku, berharap nuranimu bangkit dari kegilaan.
“Tuan, siapakah orang yang merawatmu di kala sakit? Membuatkan sarapan, menyambutmu pulang kerkaja dengan kecupan terhangatnya?” Tak bosan-bosannya aku menguak kembali kenanganmu bersama Mila, kembang desa yang jadi rebutan para pemuda.
“Bukankah kau sangat beruntung memilikinya, Tuan?”
Ah, aku mulai menyerah. Bisikanku tak bereaksi apa-apa. Nyatanya, kau tetap asyik berjoget.
Gedubrak!
“Tuan!” pekikku karena tubuhmu roboh dan berhasil menindihku.
Pelan-pelan kau bangkit dengan sempoyongan, meninggalkan keramaian.

Jakarta, 13 September 2014
Diikut sertakan dalam event mingguan  #CerminDuniaDekik