Sabtu, 21 Februari 2015

KISAH ISLAMI: AKHIR YANG INDAH

Akhir yang Indah
Oleh: Sitie CB

Ini adalah sebuah kisah tentang kematian.
Bahwa kematian adalah rahasia Ilahi. Tidak ada seorang pun yang tahu kapan Malakat Izrail itu datang untuk mencabut nyawa kita. Dan kita pun tidak tahu, dalam keadaan bagaimanakah saat ajal itu menjemput? Entah khusnul khotimah atau suul khotimah.

***
Mbah Dawi namanya. Seorang laki-laki tua yang memiliki sifat keras kepala, tapi tipikal pekerja keras itu, telah menghembuskan napas terakhir di tempat pembaringannya pada bulan Agustus 2012.
Banyak orang yang kehilangan sosok kakek yang suka bercerita tentang masa penjajahan dulu, termasuk diriku.

Dulu, sebelum pergi merantau, aku sering menyambangi rumahnya yang hanya beberapa langkah dari tempat tinggalku. Meskipun kondisi tubuhnya mulai lemah, beliau tetap melakukan aktifitas.

Tentu saja, saat pertama mendengar kabar kematiannya aku sempat syok. Sosok beliau masih terbayang jelas di kepala. Ketika hendak pergi merantau, satu tahun sebelum kabar itu datang, kusempatkan berpamitan kepada beliau yang sedang berbaring lemah di dipan kesayangan, "Saya pamit dulu, Kek." Dengan segera kucium tangan keriputnya.

"Hati-hati di jalan, Cu," jawabnya dengan suara berat.

Dan tak pernah menyangka, bahwa itu adalah untuk terakhir kali aku melihat sosok beliau.

***
Semasa hidup, beliau hanya tinggal bertiga dengan anak bungsu juga menantunya di rumah sederhana yang masih beranyamkan bambu usang karena dimakan usia. Di sana-sini terlihat lubang bekas gerogotan rayap. Jika hujan deras disertai angin kencang, rumah bagian belakang hampir saja roboh.

Maka dari itu, Mbah Dawi berusaha bekerja keras. Dan, beliau tunjukkan dengan membawa bongkahan batu yang diambilnya dari sungai sepulang dari sawah. Kegiatan itu dilakukan bertahun-tahun lamanya, hingga terkumpul memenuhi sebagian halaman rumah. Dengan harapan, cita-cita untuk membangun rumah gedongan dapat terwujud. Ya, beliau ingin sekali memiliki rumah seperti para tetangga yang lainnya, rumah berdinding batu-bata.

Beliau merasa tak mungkin mengandalkan anaknya yang sudah berumah tangga, dengan sifat kerasnya, ia pun berusaha melakukan semua sendiri. Padahal, anak-anaknya sudah berusaha menasihati agar tidak usah terlalu capek dalam bekerja.

Hingga akhirnya, di mana tubuh tak lagi kuat, semakin ringkih. Dan terlihat pundaknya mulai membungkuk karena terlalu berat mengangkat beban. Beliau pun berhenti dari kebiasaan tersebut. Kesehariannya lebih sering mondar-mandir, entah ke sawah atau main di rumah tetangga.

Suatu hari, ketika mengetahui cucu yang baru lahir tidak lagi bernyawa. Aku tidak sengaja mendengar obrolan beliau dengan para tetangga, bahwa ingin sekali belajar mengaji lagi. Sontak saja para tetangga yang hadir menyambut dengan gembira. Karena mereka tahu, walaupun beragama islam, tapi semasa hidupnya jarang sekali shalat, bahkan tidak pernah, apalagi mendatangi Mushala.

Alhamdulillah, rasa syukur kami haturkan pada Sang Pemilik hidup. Apalagi aman dan bibi, mereka sangat bahagia. Berharap, sifat kerasnya dapat terlunakkan dengan beliau mendekatkan diri pada Sang Ilahi Rabbi. Hingga tahun berganti tahun, perubahan itu nyata adanya.

Setiap Ramadhan datang, beliau berusaha untuk ikut tarawih di mushala. Meskipun tubuhnya kian ringkih dan kondisi jalan yang naik turun tanjakan, tidak menjadi alasan untuk meninggalkan ibadah di rumah Allah. Subhanallah.
Dan bibi sempat bercerita. Sebelum ajal menjemput, beliau ingin sekali menjalankah ibadah puasa. Tapi, takdir berkata lain. Beliau menghembuskan napas terakhir menjelang bulan ampunan itu datang.

***
Demikianlah sedikit kisah tentang Mbah Dawi. Meskipun sebagian besar masa hidupnya lebih banyak dihabiskan untuk urusan dunia, tapi di akhir hidup, beliau kembali ke jalan-Nya.
Inilah sebuah hidayah dari Allah, hidayah yang berikan kepada Mbah Dawi di hari tuanya.

Jakarta 21 Februari 2015

Minggu, 08 Februari 2015

CATATAN: MENUJU RIDHO-NYA


November
 
“Maaf, Mas. Untuk saat ini aku belum bisa jawab,” balasku, saat dia menanyakan kesediaanku untuk menyempurnakan separuh agamanya.

Jujur aku bingung, meski sebenarnya tak ada keraguan. Tapi, ada beberapa alasan mendasar yang membuatku belum bisa menjawab ‘iya’.

Kuhela nafas panjang, ada kebahagiaan yang tersirat. Entah, rasanya bahagia. Meski dilain sisi dilema. Kenapa di saat aku ingin move on dari seseorang yang aku pikir adalah jodohku, kini ada lagi seseorang yang datang dengan penuh kesungguhan?

Rabbi, aku bingung.