Jumat, 15 Agustus 2014

TANTANGAN KBMA SEASON 2 LEVEL 3
Tema : Memilih Background Untuk Cerpen
Ide : Musim Kemarau
Judul : El Nino
Karya : Marsiti
Mentor : Mbak Erie GusNellyanti

Aku menjauh dari kobaran api yang kian membesar, berjalan mundur beberapa langkah dengan perasaan panik. Yanto mencari sebilah kayu basah, lalu memukul-mukulkannya pada api supaya padam. Namun naas, caranya tidak berhasil. Aku dan Aris pun berlari menelusuri jalan sempit menuruni bukit untuk mencari pertolongan.

Sesekali kutoleh ke belakang, api semakin membesar tertiup angin hingga menjalari daun-daun kering di sekitarnya. Kami berlari semakin kencang seraya mengatupkan kedua tangan agar membentuk corong di sekitar mulut, lalu berteriak sekeras-kerasnya!

“Tolooong! Tolooong! Kebakaran!” Namun tak ada jawaban.
***
Kuseka peluh di wajah. Sembari memikul beban dua buah ember berisi air yang di ambil dari kali.

"Kalau capek istirahat dulu, Jo." Namun pesan laki-laki kurus berkulit hitam legam yang ada di depanku tak kuhiraukan. Siang ini matahari memang menampakkan keperkasaannya. Panasnya menyengat, kami pun bermandikan peluh.

"Bapak gak capek?" tanyaku.

"Enggak, Jo. Bapak sudah biasa," jawabnya seraya berjalan, seolah tanpa beban.
Ah betapa malunya, jika aku berhenti sedangkan Bapak yang sudah tua saja masih kuat.
***
Truk-truk besar yang mengangkut pasir melaju, menyusuri jalan beraspal yang kini penuh lubang.
Mereka tak menyadari sebelumnya, bahwa dampak dari apa yang mereka lakukan sangat merugikan desa kami.
"Parah!" desis Yanto dengan geramnya.
"Ini tidak boleh dibiaran terus-menerus. Nanti apa jadinya desa kita, jika penambangan pasir terus dilakukan? Aku sebagai warga sini tidak rela Jo, tidak rela!" lanjutnya.

"Terus, apa yang bisa kita perbuat?" tanya Aris.
Hening.
Aku tak mampu menjawab.

"Kita harus lapor pada Pak Lurah!" tegas Yanto.
 "Bagi siapa saja yang masih menambang pasir harus diberi sanksi!"

"Bapakmu kan ketua mandor, memangnya kamu berani?" tanya Aris hati-hati, khawatir menyinggung Yanto.
Yanto terdiam sejenak.

"Aku tidak takut, ini demi kebaikan kita semua," jawabnya mantap.
"Mereka sudah merugikan desa. Masa kita membiarkan begitu saja, masalah Bapak biar aku yang urus," sambungnya menggebu-gebu. Jiwa sosial Yanto memang tinggi. Berbagai cara ia lakukan untuk menghentikan pekerjaan bapaknya yang memandori penambangan pasir.

Senja tak membuat kami beranjak dari jembatan tempat biasa kami nongkrong. Menyaksikan
debu-debu berterbangan, seiring derunya truk yang terus berlalu lalang.
Aku bosan, dan mungkin semua warga juga merasakan hal yang sama. Setiap hari disuguhi pemandangan seperti ini.
***
Angin bertiup, meliuk-liukkan pepohonan. Dedaunan kering pun melepaskan diri dari ranting, terbang bebas hingga memenuhi halaman rumah.

"Tolong, Jo. Latare diseak[1]," suara emak mengagetkanku yang sedang duduk termangu memikirkan nasib sebagai pemuda pengangguran.
Seandainya mencari pekerjaan itu mudah, pasti aku sudah sukses dan langsung memperistri gadis pujaanku. Dan emak tak akan lagi menyuruhku menyapu halaman setiap hari.

Tapi, ah sudahlah. Aku hanyalah lulusan SD, tak perlu berharap banyak toh paling ujung-ujungnya jadi tani.
Meski dulu pernah mencicipi hidup dirantau, tapi tak bertahan lama, hanya lima bulan. Aku tak betah, selalu terbayang emak dan bapak terus. Rasanya tidak tega meninggalkan mereka, jauh darinya membuatku tak tenang. Mungkin karena aku anak tunggal.
***
Kusapu halaman nan luas yang banyak ditumbuhi pohon melinjo, pisang, dan bambu di setiap tepinya.
Daun-daun kering tertumpuk dan siap untuk dibakar. Kunyalakan korek, angin bertiup kencang, api pun langsung menyambar tumpukan daun kering. Kuamati api yang menjilat-jilat. Tiba-tiba slide demi slide kejadian beberapa tahun yang lalu bermunculan bak film layar lebar di kepala.

Tiga tahun yang lalu.
Kuiyakan saja, ketika Aris mengajakku beserta Yanto mencari kayu bakar di hutan dekat gunung yang kira-kira berjarak 1 kilometer dari rumah. Jalan sedikit terjal, menanjak. Kiri kanan pohon pinus berjajaran rapi, meski daunnya tak lagi hijau.
Tanah dimana kami injak berasa haus akan tetesan hujan dari jerit tangis awan. Kering. Cukup melelahkan, batinku. Tapi semilir angin sedikit mengurangi rasa dahaga.
Rasa capek hilang begitu melihat ranting-ranting kering berserakan di lahan hutan. Kami saling berebutan.

“Saat pulang nanti pasti Emak senang nih, anak bujangnya bawa kayu bakar banyak sekali,” celotehku.

“Pasti. Hitung-hitung berbakti meski hanya dengan mencari ranting,” timpal Yanto.

“Iya, dari pada di rumah saja. Bingung mau ngapain,” sambung Aris.
Setelah cukup banyak ranting yang dihasilkan, kami istirahat sejenak di bawah pohon pinus.

“Bawa korek nggak?” tanyaku pada kedua sahabatku.
Mereka saling berpandangan.

“Kamu, merokok?” tanyanya dengan ekspresi kaget juga menunjukkan ketidaksukaan padaku. Mungkin mereka tidak menyangka kalau aku merokok, karena yang mereka kenal, aku adalah seorang pemuda yang alergi dengan barang berisikan tembakau.
Aku tersenyum geli melihat kedua wajah sahabatku, mereka serius sekali.

“Tidak.” Mereka melepas ekspresi wajah yang tidak menyenangkan.
“Aku mau membakar dedaunan kering itu,” lanjutku.

“Jangan!” cegah Aris. “Ingat, sekarang musim kemarau. Kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, bagaimana?”
Namun seruan Aris tak kuhiraukan. Yanto yang kebetulan membawa korek menyuruhku mengumpulkan daun-daun kering yang banyak bersebaran di semak-semak.
Api menyala. Namun tiba-tiba.
***
Aku menjauh dari kobaran api yang kian membesar, berjalan mundur beberapa langkah dengan perasaan panik. Yanto mencari sebilah kayu basah, lalu memukul-mukulkannya pada api supaya padam. Namun naas, caranya tidak berhasil. Aku dan Aris pun berlari menelusuri jalan sempit menuruni bukit untuk mencari pertolongan.
Sesekali kutoleh ke belakang, api semakin membesar tertiup angin hingga menjalari daun-daun kering di sekitarnya. Kami berlari semakin kencang seraya mengatupkan kedua tangan agar membentuk corong di sekitar mulut, lalu berteriak sekeras-kerasnya!

“Tolooong! Tolooong! Kebakaran!” Namun tak ada jawaban.
Meski lelah, kupaksakan diri untuk tetap berlari ke pemukiman penduduk sekitar. Lumayan jauh, sampai wajahku pucat pasi, berbagai perasaan berkecamuk dalam hati, antara sedih, takut, cemas, dan merasa bersalah.

“Jo, aku capek, kakiku sakit,” keluh Aris. Dari raut wajahnya terlihat ia sedang menahan sakit. Aku pun demikian. Betapa tidak, berlari menurun menyusuri bukit tanpa beralaskan kaki membuat telapak kaki nyeri dan lecet-lecet, apalagi ditambah cuaca yang begitu panas.

Masih dengan nafas tersengal-sengal, aku dan Aris melanjutkan perjalanan. Menyeberangi sungai yang kering kerontang, ditambah bau menyengat menusuk hidung.
Warga sekitar langsung bertindak cepat, bergotong-royong memadamkan api yang sudah melalap habis dua pohon pinus. Aku dan kedua sahabatku tertunduk lesu, malu. Terlebih aku, karena tak mengindahkan nasihat Aris.
“Lain kali jangan sekali-kali membakar daun kering di musim kemarau ya Dik, bahaya!” nasihat Ketua RT.
Kami pulang dengan langkah gontai sembari memikul ranting kering untuk dijadikan kayu bakar.
***
Dan kini, kemarau kembali datang menyapa bumiku tercinta. Tak lagi kucium bau tanah basah karena rintikan hujan semenjak tiga bulan lalu. Sungai yang jadi jantung desaku pun kering kerontang.

"Bapak kemana, Mak?" tanyaku pada perempuan separuh baya yang sedang menanak nasi di tungku.

"Katanya tadi mau ke sungai, mengambil air," jawabnya sembari mempersiapkan sarapan.
Buru-buru kususul bapak, aku tak ingin laki-laki yang selama ini jadi suri tauladanku mengulangi perbuatan itu lagi.
Sesampainya di sungai, tak kudapati sosok bapak. Tapi mataku tertuju pada sesuatu yang ada di ujung sungai, aku tertegun seolah tidak percaya dengan pemandangan yang ada di depan mata.

"Ya Rabbi," lirihku.

Terlihat palung yang menjadikan permukaan sungai rata
membentuk dari hulu ke hilir. Padahal, daerah hulu yang berada di
pegunungan itu harusnya lebih tinggi. Sungguh, ini sudah keterlaluan.
Alat berat backhoe juga mesin sedot masih bertengger dengan bebasnya. Musim kemarau selalu jadi ladang rezeki bagi penambang pasir.

“Bejo, tolongin Bapak,” rintihan seseorang terdengar nyaring di telingaku.

“Bapak!” seruku ketika melihat bapak yang ada di belakangku sedang keberatan memikul ember berisi bebatuan. Aku kaget.

“Jo, kalau bukan dari ini, Bapak gak bisa menghidupi kalian. Dulu kamu melarang Bapak menambang pasir karena bisa berdampak buruk, dan menyarankan untuk bertani. Tapi gagal karena kemarau keburu datang dan hama pun menyerang tanaman padi yang siap panen. Bapak tak ada pilihan selain mencari batu untuk dijual, Jo,” jelasnya, seolah tahu akan isi hatiku. Penjelasan bapak meruntuhkan hatiku, rasa bersalah kian menghunus kalbu, sakit.

“Maafkan Bejo, Pak. Selama ini hanya bisa merepotkan Bapak dan Emak,” ucapku penuh rasa bersalah.
Betapa dulu aku sering melarang bapak setiap kali akan menambang pasir, karena selain merusak sarana dan prasarana seperti jalan umum dan jembatan, penambangan pasir juga mengikis lahan pertanian dan permukiman penduduk. Terhitung sudah beberapa rumah di pinggiran sungai yang longsor karena panambangan pasir tidak terkendali.
Upaya pemerintah untuk menghentikan penambang pasir tak pernah berhasil.

"Kita makan dari hasil memasir. Kalau dihentikan nanti kita makan apa?" protes warga setiap kali diperingatkan dampak dari memasir oleh Ketua Desa.
Pekerjaan itu sudah mendarah daging dalam hidup sebagian warga yang tak pernah menyadari akan akibatnya.
***
Sejenak, kusenderkan tubuh ditumpukan jerami kering di serambi gubug.
Kupandangi langit yang membentang luas, dengan awan putih membentuk konfigurasi nan indah. Angin sepoi-sepoi memainkan atap gubug yang terbuat dari anyaman daun kelapa.

Panasnya mentari menjilat-jilat tubuhnya yang renta, hingga kulit keriputnya bertambah hitam legam ditambah peluh yang membasahi sekujur tubuh. Siang ini matahari terlihat gagah perkasa, sinarnya mampu melumpuhkan aktifitas para petani yang sedang bekerja di sawah. Tapi tidak untuk bapak , dengan telatennya ia mencangkuli tanah yang keras, penuh semangat.

“Pak, istirahat dulu,” ajakku karena tak kuat dengan panas matahari yang menyengat.

“Tanggung, Jo.” Bapak terus saja mencangkul tanpa rasa lelah.
Niatnya tanah yang kering akan ditanami palawija, seperti saran dari Pak Kepala Desa yang beberapa waktu lalu melakukan rapat bersama warga.
Kuamati hamparan sawah, bagai gurun tandus, rumput tak lagi hijau, menguning, kering.
Retakan tanah menganga, melukai siapa saja yang tak hati-hati saat berjalan melewatinya.
Semakin jauh memandang, terlihat bebukitan yang dulunya rimbun kini gersang, kekeringan.

“Kemarau kali ini sangat parah,” gumamku. Tiba-tiba aku teringat akan berita yang pernah kudengar di radio butut milik bapak.

“Ada potensi bahwa El Nino kuat akan melanda Indonesia antara bulan Juli dan September nanti.”
“El Nino merupakan fenomena kenaikan suhu perairan di Samudra Pasifik. Kenaikan suhu air laut ini memengaruhi persebaran pembentukan awan hujan. Dalam konteks Indonesia, El Nino akan semakin menghambat pertumbuhan awan hujan di wilayah barat, memicu kekeringan, gagal panen, dan penyakit, ” lanjutnya dengan suaranya yang merdu.

“Kekeringan?” pekikku hingga mengagetkan bapak dan ibu yang sedang asyik mengobrol di siang bolong. Suara merdunya bagai teror yang akan mengancam hidup warga desa Sari
.
“Ada apa, Jo?” tanya bapak penasaran.

“Ini Pak, El Nino mau datang ke Indonesia,” jawabku sedikit panik.

“Sopo kuwi[2]? Pemain sepak bola ngendi[3]? Bapak jadi penasaran,” ucapnya, membuatku ingin tertawa.

“Bejo juga belum paham, tapi katanya akan membuat desa kita kekeringan karena kemarau panjang,” jelasku.

Ah, kenapa dulu tak kuhiraukan berita sepenting itu? Kuanggap angin lalu, mungkin otakku belum sampai.

SELESAI

1.Latare diseak : Halamannya disapu
2.Sopo kuwi? : Siapa itu?
3.Ngendi : mana

Cerita ini saya buat karena miris melihat penambangan pasir yang kian marak, apalagi di desa juga kota tempat kelahiran saya.

NB: Belum sempat ngedit, banyak sekali kritik dan saran dari para anggota KBM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar