TANTANGAN KBMA SEASON 2 LEVEL 3
Tema : Memilih Background Untuk Cerpen
Ide : Musim Kemarau
Judul : El Nino
Karya : Marsiti
Mentor : Mbak Erie GusNellyanti
Aku menjauh dari kobaran api yang kian membesar, berjalan mundur
beberapa langkah dengan perasaan panik. Yanto mencari sebilah kayu
basah, lalu memukul-mukulkannya pada api supaya padam. Namun naas,
caranya tidak berhasil. Aku dan Aris pun berlari menelusuri jalan sempit
menuruni bukit untuk mencari pertolongan.
Sesekali kutoleh ke
belakang, api semakin membesar tertiup angin hingga menjalari daun-daun
kering di sekitarnya. Kami berlari semakin kencang seraya mengatupkan
kedua tangan agar membentuk corong di sekitar mulut, lalu berteriak
sekeras-kerasnya!
“Tolooong! Tolooong! Kebakaran!” Namun tak ada jawaban.
***
Kuseka peluh di wajah. Sembari memikul beban dua buah ember berisi air yang di ambil dari kali.
"Kalau capek istirahat dulu, Jo." Namun pesan laki-laki kurus berkulit
hitam legam yang ada di depanku tak kuhiraukan. Siang ini matahari
memang menampakkan keperkasaannya. Panasnya menyengat, kami pun
bermandikan peluh.
"Bapak gak capek?" tanyaku.
"Enggak, Jo. Bapak sudah biasa," jawabnya seraya berjalan, seolah tanpa beban.
Ah betapa malunya, jika aku berhenti sedangkan Bapak yang sudah tua saja masih kuat.
***
Truk-truk besar yang mengangkut pasir melaju, menyusuri jalan beraspal yang kini penuh lubang.
Mereka tak menyadari sebelumnya, bahwa dampak dari apa yang mereka lakukan sangat merugikan desa kami.
"Parah!" desis Yanto dengan geramnya.
"Ini tidak boleh dibiaran terus-menerus. Nanti apa jadinya desa kita,
jika penambangan pasir terus dilakukan? Aku sebagai warga sini tidak
rela Jo, tidak rela!" lanjutnya.
"Terus, apa yang bisa kita perbuat?" tanya Aris.
Hening.
Aku tak mampu menjawab.
"Kita harus lapor pada Pak Lurah!" tegas Yanto.
"Bagi siapa saja yang masih menambang pasir harus diberi sanksi!"
"Bapakmu kan ketua mandor, memangnya kamu berani?" tanya Aris hati-hati, khawatir menyinggung Yanto.
Yanto terdiam sejenak.
"Aku tidak takut, ini demi kebaikan kita semua," jawabnya mantap.
"Mereka sudah merugikan desa. Masa kita membiarkan begitu saja, masalah
Bapak biar aku yang urus," sambungnya menggebu-gebu. Jiwa sosial Yanto
memang tinggi. Berbagai cara ia lakukan untuk menghentikan pekerjaan
bapaknya yang memandori penambangan pasir.
Senja tak membuat kami beranjak dari jembatan tempat biasa kami nongkrong. Menyaksikan
debu-debu berterbangan, seiring derunya truk yang terus berlalu lalang.
Aku bosan, dan mungkin semua warga juga merasakan hal yang sama. Setiap hari disuguhi pemandangan seperti ini.
***
Angin bertiup, meliuk-liukkan pepohonan. Dedaunan kering pun melepaskan
diri dari ranting, terbang bebas hingga memenuhi halaman rumah.
"Tolong, Jo. Latare diseak[1]," suara emak mengagetkanku yang sedang
duduk termangu memikirkan nasib sebagai pemuda pengangguran.
Seandainya mencari pekerjaan itu mudah, pasti aku sudah sukses dan
langsung memperistri gadis pujaanku. Dan emak tak akan lagi menyuruhku
menyapu halaman setiap hari.
Tapi, ah sudahlah. Aku hanyalah lulusan SD, tak perlu berharap banyak toh paling ujung-ujungnya jadi tani.
Meski dulu pernah mencicipi hidup dirantau, tapi tak bertahan lama,
hanya lima bulan. Aku tak betah, selalu terbayang emak dan bapak terus.
Rasanya tidak tega meninggalkan mereka, jauh darinya membuatku tak
tenang. Mungkin karena aku anak tunggal.
***
Kusapu halaman nan luas yang banyak ditumbuhi pohon melinjo, pisang, dan bambu di setiap tepinya.
Daun-daun kering tertumpuk dan siap untuk dibakar. Kunyalakan korek,
angin bertiup kencang, api pun langsung menyambar tumpukan daun kering.
Kuamati api yang menjilat-jilat. Tiba-tiba slide demi slide kejadian
beberapa tahun yang lalu bermunculan bak film layar lebar di kepala.
Tiga tahun yang lalu.
Kuiyakan saja, ketika Aris mengajakku beserta Yanto mencari kayu bakar
di hutan dekat gunung yang kira-kira berjarak 1 kilometer dari rumah.
Jalan sedikit terjal, menanjak. Kiri kanan pohon pinus berjajaran rapi,
meski daunnya tak lagi hijau.
Tanah dimana kami injak berasa haus
akan tetesan hujan dari jerit tangis awan. Kering. Cukup melelahkan,
batinku. Tapi semilir angin sedikit mengurangi rasa dahaga.
Rasa capek hilang begitu melihat ranting-ranting kering berserakan di lahan hutan. Kami saling berebutan.
“Saat pulang nanti pasti Emak senang nih, anak bujangnya bawa kayu bakar banyak sekali,” celotehku.
“Pasti. Hitung-hitung berbakti meski hanya dengan mencari ranting,” timpal Yanto.
“Iya, dari pada di rumah saja. Bingung mau ngapain,” sambung Aris.
Setelah cukup banyak ranting yang dihasilkan, kami istirahat sejenak di bawah pohon pinus.
“Bawa korek nggak?” tanyaku pada kedua sahabatku.
Mereka saling berpandangan.
“Kamu, merokok?” tanyanya dengan ekspresi kaget juga menunjukkan
ketidaksukaan padaku. Mungkin mereka tidak menyangka kalau aku merokok,
karena yang mereka kenal, aku adalah seorang pemuda yang alergi dengan
barang berisikan tembakau.
Aku tersenyum geli melihat kedua wajah sahabatku, mereka serius sekali.
“Tidak.” Mereka melepas ekspresi wajah yang tidak menyenangkan.
“Aku mau membakar dedaunan kering itu,” lanjutku.
“Jangan!” cegah Aris. “Ingat, sekarang musim kemarau. Kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, bagaimana?”
Namun seruan Aris tak kuhiraukan. Yanto yang kebetulan membawa korek
menyuruhku mengumpulkan daun-daun kering yang banyak bersebaran di
semak-semak.
Api menyala. Namun tiba-tiba.
***
Aku
menjauh dari kobaran api yang kian membesar, berjalan mundur beberapa
langkah dengan perasaan panik. Yanto mencari sebilah kayu basah, lalu
memukul-mukulkannya pada api supaya padam. Namun naas, caranya tidak
berhasil. Aku dan Aris pun berlari menelusuri jalan sempit menuruni
bukit untuk mencari pertolongan.
Sesekali kutoleh ke belakang,
api semakin membesar tertiup angin hingga menjalari daun-daun kering di
sekitarnya. Kami berlari semakin kencang seraya mengatupkan kedua tangan
agar membentuk corong di sekitar mulut, lalu berteriak
sekeras-kerasnya!
“Tolooong! Tolooong! Kebakaran!” Namun tak ada jawaban.
Meski lelah, kupaksakan diri untuk tetap berlari ke pemukiman penduduk
sekitar. Lumayan jauh, sampai wajahku pucat pasi, berbagai perasaan
berkecamuk dalam hati, antara sedih, takut, cemas, dan merasa bersalah.
“Jo, aku capek, kakiku sakit,” keluh Aris. Dari raut wajahnya terlihat
ia sedang menahan sakit. Aku pun demikian. Betapa tidak, berlari menurun
menyusuri bukit tanpa beralaskan kaki membuat telapak kaki nyeri dan
lecet-lecet, apalagi ditambah cuaca yang begitu panas.
Masih
dengan nafas tersengal-sengal, aku dan Aris melanjutkan perjalanan.
Menyeberangi sungai yang kering kerontang, ditambah bau menyengat
menusuk hidung.
Warga sekitar langsung bertindak cepat,
bergotong-royong memadamkan api yang sudah melalap habis dua pohon
pinus. Aku dan kedua sahabatku tertunduk lesu, malu. Terlebih aku,
karena tak mengindahkan nasihat Aris.
“Lain kali jangan sekali-kali membakar daun kering di musim kemarau ya Dik, bahaya!” nasihat Ketua RT.
Kami pulang dengan langkah gontai sembari memikul ranting kering untuk dijadikan kayu bakar.
***
Dan kini, kemarau kembali datang menyapa bumiku tercinta. Tak lagi
kucium bau tanah basah karena rintikan hujan semenjak tiga bulan lalu.
Sungai yang jadi jantung desaku pun kering kerontang.
"Bapak kemana, Mak?" tanyaku pada perempuan separuh baya yang sedang menanak nasi di tungku.
"Katanya tadi mau ke sungai, mengambil air," jawabnya sembari mempersiapkan sarapan.
Buru-buru kususul bapak, aku tak ingin laki-laki yang selama ini jadi suri tauladanku mengulangi perbuatan itu lagi.
Sesampainya di sungai, tak kudapati sosok bapak. Tapi mataku tertuju
pada sesuatu yang ada di ujung sungai, aku tertegun seolah tidak percaya
dengan pemandangan yang ada di depan mata.
"Ya Rabbi," lirihku.
Terlihat palung yang menjadikan permukaan sungai rata
membentuk dari hulu ke hilir. Padahal, daerah hulu yang berada di
pegunungan itu harusnya lebih tinggi. Sungguh, ini sudah keterlaluan.
Alat berat backhoe juga mesin sedot masih bertengger dengan bebasnya.
Musim kemarau selalu jadi ladang rezeki bagi penambang pasir.
“Bejo, tolongin Bapak,” rintihan seseorang terdengar nyaring di telingaku.
“Bapak!” seruku ketika melihat bapak yang ada di belakangku sedang keberatan memikul ember berisi bebatuan. Aku kaget.
“Jo, kalau bukan dari ini, Bapak gak bisa menghidupi kalian. Dulu kamu
melarang Bapak menambang pasir karena bisa berdampak buruk, dan
menyarankan untuk bertani. Tapi gagal karena kemarau keburu datang dan
hama pun menyerang tanaman padi yang siap panen. Bapak tak ada pilihan
selain mencari batu untuk dijual, Jo,” jelasnya, seolah tahu akan isi
hatiku. Penjelasan bapak meruntuhkan hatiku, rasa bersalah kian
menghunus kalbu, sakit.
“Maafkan Bejo, Pak. Selama ini hanya bisa merepotkan Bapak dan Emak,” ucapku penuh rasa bersalah.
Betapa dulu aku sering melarang bapak setiap kali akan menambang pasir,
karena selain merusak sarana dan prasarana seperti jalan umum dan
jembatan, penambangan pasir juga mengikis lahan pertanian dan permukiman
penduduk. Terhitung sudah beberapa rumah di pinggiran sungai yang
longsor karena panambangan pasir tidak terkendali.
Upaya pemerintah untuk menghentikan penambang pasir tak pernah berhasil.
"Kita makan dari hasil memasir. Kalau dihentikan nanti kita makan apa?"
protes warga setiap kali diperingatkan dampak dari memasir oleh Ketua
Desa.
Pekerjaan itu sudah mendarah daging dalam hidup sebagian warga yang tak pernah menyadari akan akibatnya.
***
Sejenak, kusenderkan tubuh ditumpukan jerami kering di serambi gubug.
Kupandangi langit yang membentang luas, dengan awan putih membentuk
konfigurasi nan indah. Angin sepoi-sepoi memainkan atap gubug yang
terbuat dari anyaman daun kelapa.
Panasnya mentari menjilat-jilat
tubuhnya yang renta, hingga kulit keriputnya bertambah hitam legam
ditambah peluh yang membasahi sekujur tubuh. Siang ini matahari terlihat
gagah perkasa, sinarnya mampu melumpuhkan aktifitas para petani yang
sedang bekerja di sawah. Tapi tidak untuk bapak , dengan telatennya ia
mencangkuli tanah yang keras, penuh semangat.
“Pak, istirahat dulu,” ajakku karena tak kuat dengan panas matahari yang menyengat.
“Tanggung, Jo.” Bapak terus saja mencangkul tanpa rasa lelah.
Niatnya tanah yang kering akan ditanami palawija, seperti saran dari
Pak Kepala Desa yang beberapa waktu lalu melakukan rapat bersama warga.
Kuamati hamparan sawah, bagai gurun tandus, rumput tak lagi hijau, menguning, kering.
Retakan tanah menganga, melukai siapa saja yang tak hati-hati saat berjalan melewatinya.
Semakin jauh memandang, terlihat bebukitan yang dulunya rimbun kini gersang, kekeringan.
“Kemarau kali ini sangat parah,” gumamku. Tiba-tiba aku teringat akan berita yang pernah kudengar di radio butut milik bapak.
“Ada potensi bahwa El Nino kuat akan melanda Indonesia antara bulan Juli dan September nanti.”
“El Nino merupakan fenomena kenaikan suhu perairan di Samudra Pasifik.
Kenaikan suhu air laut ini memengaruhi persebaran pembentukan awan
hujan. Dalam konteks Indonesia, El Nino akan semakin menghambat
pertumbuhan awan hujan di wilayah barat, memicu kekeringan, gagal panen,
dan penyakit, ” lanjutnya dengan suaranya yang merdu.
“Kekeringan?” pekikku hingga mengagetkan bapak dan ibu yang sedang asyik
mengobrol di siang bolong. Suara merdunya bagai teror yang akan
mengancam hidup warga desa Sari
.
“Ada apa, Jo?” tanya bapak penasaran.
“Ini Pak, El Nino mau datang ke Indonesia,” jawabku sedikit panik.
“Sopo kuwi[2]? Pemain sepak bola ngendi[3]? Bapak jadi penasaran,” ucapnya, membuatku ingin tertawa.
“Bejo juga belum paham, tapi katanya akan membuat desa kita kekeringan karena kemarau panjang,” jelasku.
Ah, kenapa dulu tak kuhiraukan berita sepenting itu? Kuanggap angin lalu, mungkin otakku belum sampai.
SELESAI
1.Latare diseak : Halamannya disapu
2.Sopo kuwi? : Siapa itu?
3.Ngendi : mana
Cerita ini saya buat karena miris melihat penambangan pasir yang kian marak, apalagi di desa juga kota tempat kelahiran saya.
NB: Belum sempat ngedit, banyak sekali kritik dan saran dari para anggota KBM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar