Kamis, 21 Agustus 2014

PENANTIAN





PENANTIAN
Hujan masih mengucur deras. Hawa dingin menusuk sendi-sendi.  Aku tak mampu memejamkan mata walau hanya sekejap. Lebih baik malam ini tak usah tidur, pikirku. Pandangan mataku berlari menuju jam dinding yang masih kokoh sejak dua puluh dua tahun lalu, jarum pendek menunjuk ke angka dua dini hari.

Kusibak tirai jendela, terlihat jelas tetes-tetes hujan yang tak terhenti disertai kilat menggelegar. Mulutku pun meracau, melafalkan butiran-butiran doa yang selalu kuucapkan saat hujan mengguyur bumi.
Rabbi, kembalikan kebahagiaan mereka seperti sedia kala. Aku tak ingin ada air mata sia-sia dari wanita tegar dan penyayang yang telah menemaniku selama ini, aku ingin melihat sinar cinta itu lagi.
***
“Ibu, kenapa menangis?” tanyaku ketika melihat Ibu tersedu-sedu dalam kesendiriannya di kamar.
 Tak ada jawaban, tangisnya kian menjadi. Adakah kata-kataku yang kurang  enak didengar? Aku merasa bersalah.

“Ibu, maafkan Nila.” Aku pun berlalu, mungkin Ibu ingin menyendiri, kehadiranku  tiada berarti.

“Nila, tunggu!” Ibu berlari lalu memelukku.Tak kuasa, aku pun ikut menangis. Pundakku basah oleh air matanya.

Segala beban ia curahkan, betapa rindu membuatnya rapuh. Aku pun demikian, tapi mencoba menyembunyikannya. Sudah cukup ia bersedih karena orang yang dicintainya tak kunjung kembali.
Kata-katanya menghujam jantungku. Baru kali ini aku melihat perangainya yang aneh, tidak seperti biasanya.

***
“Ayah pergi untuk kembali, Sayang.” Kata-kata itu masih terngiang-ngiang di telingaku. Bahkan,  masih teringat jelas di pelupuk mata ketika kepergiannnya yang mendadak, membuat kami sedikit kecewa.
Apa iya, Ayah lebih mengutamakan pekerjaan dari pada menemani Ibu yang kondisinya sedang tidak baik?
Saat itu hujan turun cukup deras, Ayah berpamitan. Ia akan pergi jauh meninggalkan kami untuk waktu yang tidak ditentukan. Ibu keberatan, kekhawatiran terpancar dari wajahnya.

“Bu, Ayah akan  kembali untuk kalian. Jangan sedih, Jika kalian tidak ikhlas, Ayah pasti tidak akan tenang dalam perjalanan.

***
Melepas kepergiannya, seperti melepas burung emas dalam sangkar. Akankah Ayah kembali? Seperti burung yang dilepas agar bisa terbang bebas, lalu kembali setelah sore menjelang?
Mencoba ikhlas, tapi kenapa ada airmata menggenang di pelupuk mata?

Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar