Jumat, 11 Juli 2014

IMPIANKU



Pikiranku kacau balau, tidak bisa konsentrasi penuh. Terlalu berfikir keras untuk membut sebuah tulisan. Ingin rasanya menyerah, biarlah mimpiku untuk menjadi seorang penulis hanyalah sebatas impian, sebatas impian. Lelah rasanya, huf…

“Ha…ha…ha, bagus…bagus. Sudahlah, menyerah saja…., kau memang tidak berbakat dalam menulis.” Tiba-tiba saja sesosok makhluk berbaju serba hitam yang melintas difikiranku menetertawakan keputus asaanku .Seolah merasa senang dengan sikap pesimisku.

“Jangan menyerah putri, kamu pasti bisa. Optimislah,” timpalnya dengan halus. Dia adalah sesosok makhluk berbaju serba putih yang berusaha untuk menyemangatiku.
[Sepertinya aku mengenali sosok-sosok itu. Ya mereka adalah 2 sosok diriku yg berbeda haluan, hitam dan putih. Astaghfirullah]

Tiba -tiba saja aku menyadari kekeliruanku.
“Ya Allah, kenapa aku jadi pesimis begini,” batinku.
Sosok-sosok itu menyadarkanku. Seperti ada kekuatan baru yang tiba-tiba muncul dalam diriku.

Aku memang tidak boleh menyerah, pesimis? Apalagi. Mana aku yang dulu, yang selalu menggebu-gebu dalam hal tulis menulis. Mana aku yang dulu selalu yakin, bahwa berasal dari mimpi semua bisa tejadi. Asalkan  harus yakin dengan apa yang kita impikan.                        
                                                                                                                      
 ***

“Wah, tulisannya bagus sekali. Kata-katanya mudah dimengerti dan enak dibaca,” puji Dian, teman sekolahku dulu.
“Kenapa tidak jadi penulis saja Put?” sambungnya.

“Ah, kamu bisa saja. Aku tidak berbakat dalam bidang tulis menulis,” jawabku seakan tidak yakin dengan kelebihan yg aku punya.

“Putri, bakat itu kan bisa diasah. Kamu masih ingat kan kata bu Windi, guru bahasa Indonesia kita waktu di SMP dulu? BISA KARNA TERBIASA. Aku tahu kamu hobi menulis, dengan seringnya kamu menulis…berarti kamu sudah bisa dong . Ayolah Put, aku akan selalu mendukungmu,”turur Dian menyakinkanku.

“Dian, terimakasih banyak.Kamu memang sahabat paling baik yang pernah ku kenal,’ ucapku penuh syukur.

“Ini sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang sahabat. Yang terpenting adalah kamu jangan mudah menyerah dan putus asa. Oke Putri yang manis dan baik hati, he….he…”
Kami pun tertawa, menikmati kebersamaan dibawah pohon beringin nan rindang disamping rumahku.                                                                                                                                                                            
 Aku jadi terharu, ternyata selain abang masih ada orang yang mau mendukungku untuk mewujudkkan impian. Dian, sahabat baikku. Dari dulu dia tidak pernah berubah, selalu mensuport dan meyakinkan  tentang keraguan yang jadi bayang –bayang hidupku. Aku sangat bersyukur bisa mengenalnya. Diam-diam aku berjanji pada diri aku sendiri, untuk mewujudkan mimpiku menjadi penulis.
                                                                                                                                                                                                                              ***
Aku jadi rajin menulis. Kertas dan pena adalah alat yang tidak pernah lepas dari keseharianku. Maklum, aku tidak memiliki alat ketik, apalagi computer. Boro-boro punya computer, rumah saja masih pakai anyaman bambu yang sudah usang dan lapuk dimakan usia. Mana mampu orang tuaku membeli alat begituan,  buat makan sehari-hari saja susah.Tapi aku tidak boleh putus asa,aku harus tunjukkan bahwa aku punya mimpi yang akan aku perjuangkan.
Ternyata, menuangkan ide-ide yang  berkeliaran didalam benak tidaklah mudah. Sudah berpuluh-puluh kertas terbuang sia-sia.

“Aduh…, susah banget sih bikin tulisan yang bagus. Kalau kaya gini caranya boros-borosin kertas dong namanya,” keluhku sambil sesekali membuka majalah kesayanganku. Banyak cerpen-cerpen hasil dari penulis-penulis pemula, meskipun dengan bahasa yang sederhana tapi isinya bagus, tidak bertele-tele dan pesannya juga masuk. Wah suer deh, aku jadi terinspirasi  gitu, ingin sekali rasanya mengikuti jejak mereka.

“Bagaimana Put, sudah selesai belum? Abang ingin lihat hasilnya,” tanya bang Ali yang tiba-tiba sudah ada dibelakangku.

“Eh Abang, bikin kaget Putri saja. Nih… baru setengahnya,” jawabku seraya menyodorkan hasil karyaku .Tidak henti-hentinya ku amati  wajah abangku [bukan karna wajahnya yang tampan lho ya, tp mimiknya]. Duh jadi  H2C harap-harap cemas, menunggu komentar dari abangku.

“Bagus, kalimatnya sudah lumayang. Tp…,” komentarnya dengan mimik wajah yang bikin penasaran.

“Tapi apa  Bang? Ayo buruan kasih tahu,” tanyaku sedikit memaksa. 

“Tapi  sayang tidak ada lanjutannya he…he,” ledeknya.
“Ayo terusin lagi, Abang ingin lihat endingnya kaya apa,” sambungnya.

“Susah Bang, aku kehabisan ide. Perlu berfikir keras untuk melanjutkanya .”

“Masak sih? Setahu Abang, dulu kamu paling bisa mengembangkan ide menjadi sebuah cerita yang menarik.”
Memang sih demikian.

“Hmm, jangan -jangan adik Abang yang satu ini  sudah lupa dengan kalimat JANGAN PIKIRKAN APA YANG AKAN KAMU TULIS, TAPI TULISLAH APA YANG ADA DIPIKIRANMU,” lanjutnya dengan senyum yang menyejukkan hati bagi siapa  saja yang melihatnya.

Oh iya, kenapa aku jadi lupa sih dengan kalimat itu. Kalimat yang sedari dulu selalu abang tanamkan sebelum memulai menulis. Sebenarnya sudah banyak hasil tulisan yang aku buat. Tapi sayang, baru setengah jalan sudah KO duluan (haduhhh, payah banget deh), tidak bisa menyelesaikannya (perlu berfikir keras untuk melanjutkannya), karena memang disitulah kelemahanku.

 Menulis juga harus pakai hati, jangan asal tulis yang nantinya akan menghasilkan tulisan yang kurang maksimal. Dulu sewaktu SMP, aku paling hobi membaca buku.Tiada hari tanpa mengunjungi perpustakaan. Banyak novel-novel  yang telah kubaca, sungguh isinya banyak yang menyentuh. Ada salah satu novel(tp aku lupa judulnya apa) isinya tentang bocah yang berjuang mencari ibunya. Ceritannya berhasil buat aku menangis sesenggukan. Ada lagi tentang anak Sekolah Dasar  yang  bercita -cita ingin menjadi penulis, dengan semangatnya yang luar biasa, ia berhasil mewujudkannya. Dan cerita itu benar-benar menginspirasiku. 
Kadang berfikir, apa mungkin aku bisa menjadi seperti merek ya? Menciptakan  karya-karya  yang bagus dan bisa membuat pembacanya ikut larut ke dalam cerita. Tapi, bukankah di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin asal kita benar-benar mau berusaha?

Semangat…, semangat…, semangat. Aku harus lebih semangat lagi, tidak mau mengecewakan orang-orang yang mendukungku. Akan kubuktikan pada diri sendiri (yang utama) dan orang lain (pastinya), untuk mengubah kata TIDAK MUNGKIN (yang selama ini bersemayam difikiranku), menjadi kata MUNGKIN, dan aku yakin bisa. Aku harus mencari inspirasi untuk melanjutkan tulisanku yaitu dengan membaca, entah itu koran, novel, cerpen, pokoknya apa saja deh, termasuk membaca buku harian(upzzst…buku harian?) ya buku harian.Tahu sendirikan? Buku  harian isinya tentang apa saja? Yap betul….tentang diri sendiri, masalah pribadi kita. Bukankah itu sangat mudah untuk kita kembangkan menjadi sebuah cerita yang menarik bukan?
Buat kalian yang punya mimpi, perjuangkanlah. Jangan mudah menyerah dan putus asa.Yakinlah, karna dengan keyakinan, apa yang kita impikan pasti akan tercapai. Aamiin.

NB: Ini adalah hasil karya yang saya kirimkan untuk pertama kalinya ke majalah Annida online kesayangan 5 April 2013.
Awalnya hancur lebur, ejaan masih berantakan, EYD apalagi? Karena waktu itu modal nekad, yang penting jadi, tidak menghiraukan syarat dan ketentuannya. Alhasil ditolak, hiks. Tapi tidak apa, saya belajar dari sini. Dan ini sudah saya revisi meski masih hancur lebur.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar