Tema: Meraih Mimpi
Diantara puluhan anak-anak yang sedang menggembala Kambing, satu
diantaranya adalah aku. Ini adalah rutinitas sepulang sekolah,
menggiring Kambing ke sawah bersama adik dan teman-temanku. Kebiasaan
ini aku lakukan sampai lulus dari Sekolah Menengah Pertama.
Dengan nilai kelulusan di atas rata-rata, melanjutkan sekolah adalah
harapanku seperti teman-teman yang lainnya. Namun, semuanya pupus ketika
ayah tak sanggup membiayaiku untuk melanjutkan sekolah. Sedih? Pasti.
Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Pasrah.
Ibu mengerti
perasaanku dan berusaha membesarkan hatiku agar tak usah minder meski
tak bisa merasakan memakai baju putih abu-abu seperti kebanyakan teman
sebayaku. Terkadang ada rasa iri , disaat mereka berangkat ke sekolah,
aku membereskan rumah. Disaat mereka pulang sekolah, aku menggembala
kambing di sawah. Disaat mereka asyik belajar dengan seabreg tugas dari
sekolah, aku hanya bisa merenungi nasib yang tak seberuntung
mereka.Tapi, inilah jalan hidupku, hidup ke keluargaku. Kalau melihat
ibu yang tak pernah mengeluh dengan aktifitas kesehariannya, rasanya aku
malu.
***
Kuputuskan merantau ke ibu kota, ketika ada
tetangga yang mengajakku bekerja. Berharap, dengan bekerja aku bisa
melanjutkan sekolah lagi. Anganku melambung tinggi, membayangkan bisa
memakai seragam putih abu-abu dan memiliki banyak teman baru, ah…, aku
berkhayal lagi. Nyatanya, semua itu tak pernah terjadi. Mimpiku tak
kesampaian, bukannya menyerah, aku hanya tak tega jika harus menambah
beban ayah dalam membiayai sekolahku lagi, karena masih ada dua adikku
yang butuh biaya untuk pendidikannya.
Di sini, di kota yang tak
pernah ada matinya, kumengais rezeki dengan bekerja sebagai pekerja
rumah tangga. Terkadang ada rasa gengsi ketika melihat teman-temanku
bisa bekerja lebih baik dariku. Aku malu, tapi lebih malu lagi kalau aku
melupakan kata-kata ibu yang selalu mengajarkan rasa syukur.
Meski disibukkan dengan pekerjaan yang menyita waktu dalam keseharian, kuluangkan untuk menulis.
“Wah, tulisannya bagus,” puji temanku ketika melihat buku diariku yang
sudah penuh dengan tulisan. ”Kenapa gak jadi penulis saja, Ti?”
tanyanya mengagetkanku.
Penulis? Satu kata yang selalau terngiang-ngiang
hingga sekarang. Dan kata-kata itu memotivasiku untuk terus menulis,
apapun itu.
Diam-diam ada keinginan untuk menjadi penulis
terkenal. Kubulatkan tekad dan menanamkan rasa optimis, berharap suatu
saat bisa dikembangkan menjadi karya yang bermanfaat bagi sesama.
Bukankah mimpi itu milik siapa saja? Toh selama ada niat dan kemauan,
semua itu bisa terwujud.
Selalu ada jalan, bahkan membentang
luas dihadapan. Kesempatan yang ada kumanfaatkan sebaik-baiknya,
event-event kepenulisan kuikuti, meski banyak gagalnya aku tak boleh
menyerah.
Kini, membahagiakan keluarga dan menulis adalah mimpiku yang begitu nyata.
Opening cukup oke, good point!
tapi konfliknya kurang tajam, dan penyelesaiannya terkesan terburu2.
Pembaca suka dg konflik yang dialami si tokoh utama dan bagaimana cara
si tokoh menyelesaikannya. Hal itu bisa membuat cerita berkesan dan
nempel di benak pembaca, dan itu juga yg bisa mempengaruhi pemikiran
pembaca. Kurang lbh spt itu yg pernah sy baca dr berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar