# EVENT MEMBUAT UCAPAN MAAF UNTUK LEBARAN #
Kesalahan kian bertumpuk, menggunung
Lisan yang kadang tak terjaga ucapannya
Menghunus bagai pedang, tak terkendali
Tindakan yang terkadang menyakitkan
Tanpa diketahui
Tiada daya, hati tak lagi suci
Bercak-bercak dosa, memberkas
Menunggu satu kata
Adakah cara untuk menumbangkannya selain maaf?
Adakah cara untuk menghapuskannya selain niat tulus keikhlasan?
Ya, hanya itu. Maaf yang tulus disertai ikhlas untuk menghapus kesalahan yang ada
Mohon maaf lahir batin, tiada kata yang pantas selain maaf
Senin, 14 Juli 2014
EVENT DI KBM DOEL KANGPARDI
#GDW2 Sabuk Pengaman Marsiti
Hidup penuh liku-liku
Ada suka, ada duka
Semua insan, pasti pernah merasakannya
Lagu Liku-liku milik Camelia Malik terdengar mendayu-dayu
dari tape recorder mobilku.
Iya, hidup itu memang penuh liku-liku, ada suka ada
duka. Begitupun hidup sebagai seorang sopir.
Masih teringat jelas kisah 2 tahun
yang lalu. Pengalaman duka ketika mengantarkan keluarga besar sahabatku dari
Kebumen ke Jakarta. Mobil Kijang terisi penuh, sampai-sampai jok depan diduduki
dua penumpang lansia, aku kira tidak masalah, toh muat.
Jalanan macet, karena bertepatan dengan hari libur
sekolah.
Tiba-tiba ada seorang laki-laki berseragam cokelat
menghampiri mobil.
Tok! Tok! Tok!
“Permisi, Pak,” sapanya dengan ramah.
“I iya, ada apa ya Pak,”jawabku gugup ketika
mengetahui orang itu adalah polisi.
“Maaf, Anda saya tilang karena penumpangnya melebihi kapasitas,” jelasnya “Dan
yang di jok depan tidak memakai sabuk pengaman,”lanjutnya.
Terpaksa, uang 50 ribu raib karena keteledoranku (juga
penumpangnya).
Akhirnya aku
putuskan salah satu penumpang yang duduk di depan harus pindah ke belakang,
meski desak-desakan.
Di tengah perjalanan kami berhenti di SPBU untuk istirahat
sejenak. Ada yang makan, BAK, ada juga yang sekedar menghilangkan rasa bosan
karena berlama-lama duduk hingga pantatnya terasa pegal. Setelah merasa cukup, semua
penumpang masuk ke mobil. Perjalanan diteruskan.
Jalanan sedikit macet, karena ada operasi polisi. Baru saja keluar dari area SPBU,
tiba-tiba ada yang mengetok-ngetok kaca samping sopir.
“Permisi Pak,”
sapa pak Polisi dari luar jendela.
“Ia, ada apa Pak Polisi?” tanyaku sembari menurunkan
kaca jendela.
“Maaf, Bapak saya tilang karena penumpang bapak tidak memakai sabuk pengan,”
jelasnya.
Aku pun menoleh ke penumpang di sampingku.
Nasib, nasib, dua kali kena tilang gara-gara sabuk
pengaman. Lain kali harus selalu mengingatkan
penumpang yang duduk di depan nih, supaya jangan lupa pakai sabuk pengaman.
Kalau perlu di mobilnya diberi tulisan “WARNING! PAKAILAH SABUK PENGAMAN, DEMI
KESELAMATAN DAN KARENA SAYA TIDAK MAU KENA TILANG.”
Sabtu, 12 Juli 2014
PUISI, KEPEDULIANKU UNTUK GAZA
Peduli Gaza
Sakit, seperti ada sayatan sembilu mengenai ulu hati
Nyata, senyata dentuman keras menghunus sendi-sendi
Darah mengucur, dibarengi reruntuhan
Hancur berkeping-keping
Allahu Akbar, Allahu Akbar, serunya
Tangisan pilu kian terdengar nyaring
Mengiringi para syuhada
Sungguh, zionis terlaknat
Tak ada hatikah mendengar jeritan-jeritan kesakitan?
Tak ada hatikah melihat manusia terbujur kaku, bergelimpangan?
Tak adakah rasa belas kasihan sedikitpun dalam hatinya?
Sehingga tega meluluhlantakkan segalanya
Gaza berdarah,
Tapi, kami di sini
Saudara-saudara muslim tak tinggal diam
Doa selalu terpanjatkan
Untukmu, saudarku
Jakarta, 13 Juli 2014
Sakit, seperti ada sayatan sembilu mengenai ulu hati
Nyata, senyata dentuman keras menghunus sendi-sendi
Darah mengucur, dibarengi reruntuhan
Hancur berkeping-keping
Allahu Akbar, Allahu Akbar, serunya
Tangisan pilu kian terdengar nyaring
Mengiringi para syuhada
Sungguh, zionis terlaknat
Tak ada hatikah mendengar jeritan-jeritan kesakitan?
Tak ada hatikah melihat manusia terbujur kaku, bergelimpangan?
Tak adakah rasa belas kasihan sedikitpun dalam hatinya?
Sehingga tega meluluhlantakkan segalanya
Gaza berdarah,
Tapi, kami di sini
Saudara-saudara muslim tak tinggal diam
Doa selalu terpanjatkan
Untukmu, saudarku
Jakarta, 13 Juli 2014
KMB AKADEMY SEASON 2 DIBUKA
Tepatnya Selasa 20 Mei 2014, KBMA Season 2 dibuka pada pukul 20.00 oleh eyang Wiro Toraja. Para pesertanya membludag, termasuk saya.
Antusias mereka untuk berebut agar bisa lolos pun membangkitkan semangat saya agar bisa ikut berpartisipasi pada kontes kali ini. Maklum, di KBMA Season 1 saya ketinggalan informasi.
Eyang memberikan waktu 15 menit untuk mengirim inbok berisi cerita dasar juga asal daerahnya masing-masing. Buru-buru saya ketik ide dasar cerita secara spontan, takut gagal seleksi.
"Wanita lemah itu mampu bangkit seiring dengan ujian hidup dari-Nya, hingga membuatnya menjadi wanita tangguh. Kebumen."
Balasan inbok dari eyang pun saya terima.
"Rangkailah menjadi cerpen, kirim ke dewan juri sriesagimoon@yahoo.co.id
cc: parawiro.s.s.sos@gmail.com
Paling lambat besok jam 09.00 WIB"
What? Jam 09.00 pagi?
Jleb!!! Ngena banget di hati.
Terbayang jelas aktivitas pagi yang tidak memungkinkah saya untuk ngetik. Dilema..., hanya ada 2 pilihan, menyerah atau lanjut? Bingung.
"InsyaAllah eyang, saya usahakan."
Jam dinding menunjukkan pukul 22.00, tapi saya masih sibuk dengan pekerjaan.
Maklum, kerja di perumahan membuat saya sedikit ragu dan pesimis untuk menggeluti bidang tulis menulis. Karena waktunya tersita untuk mengurus rumah tangga orang, berjibun pekerjaan menumpuk setiap harinya. Apalagi ditambah 2 anak kecil yang harus saya urus. Tapi entah kekuatan dari mana hingga rasa optimis justru lebih mendominasi seiring dengan berjalannya waktu.
Detik berganti menit, menit pun berganti jam. Momonganku belum juga tidur.
"Kapan saya bisa ngetik?" Sembari berdoa " Ya Rabb, jika Engkau meridhoi hamba untuk mengikuti KBMA Season 2, mudahkanlah." Aamiin.
Tepat pukul 24.00, saya baru bisa terbebas dari kungkungan pekerjaan.
Bismillahirrahmaanirrohiim
Basmalah saya ucapkan dengan penuh kekhusyuan.
Awalnya bingung mau ngetik apa, meski ide dasarnya sudah ada (tantang wanita lemah). Layar monitor itu pun hanya saya pandangi diiringi jantung berdetak lebih kencang, huh rasanya tidak karuan, gado-gado pisan.
Sebelum benar-benar mengetik, yang pertama saya lakukan adalah corat-coret terlebih dahulu di selembar kertas, kira-kira seperti apa openingnya hingga ending cerpen tersebut berakhir? Tahap satu, kerangka sudah siap.
Gambaran wanita lemah itu seperti apa sih? Dan juga ciri-ciri wanita tangguh yang sebenarnya? Saya sendiri masih bingung.
Inisiatif, tanya mbah google dari pada tambah bingung dan pusing tujuh keliling. Akhirnya nemu juga, ditambah lagi terinspirasi kisah kakak saya.
Waktupun berlalu, tidak terasa jam di layar laptop menunjuk ke angka 02.00. Aduh belum selesai juga, kapan istirahatnya?
Hampir saja putus asa dan menyerah. Tapi bukankah sebuah pilihan itu ada konsekuensinya masing-masing?
Saya sudah memilih untuk mengikuti KBMA Season 2, berarti saya harus mengikuti prosedur yang ada dan syarat-syarat yang sudah ditentukan.
Hingga satu jam lebih telah berlalau, akhirnya cerpen selesai juga. Lalu buru-buru saya kirim ke email mbak sri dan eyang Wiro Toraja.
Alhasil, pukul 4 saya baru bisa istirahat.
Paginya, tak ada waktu untuk memposting ke group. Padahal hanya dikasih waktu sampai jam 9, rasa cemas melanda. Alhamdulillah eyang memberi kemudahan, sore harinya saya baru bisa ngeposting dengan mencuri-curi waktu luang.
Sungguh, dikejar-kejar DL rasanya campur aduk jadi satu. Tapi saya menikmatinya.
Antusias mereka untuk berebut agar bisa lolos pun membangkitkan semangat saya agar bisa ikut berpartisipasi pada kontes kali ini. Maklum, di KBMA Season 1 saya ketinggalan informasi.
Eyang memberikan waktu 15 menit untuk mengirim inbok berisi cerita dasar juga asal daerahnya masing-masing. Buru-buru saya ketik ide dasar cerita secara spontan, takut gagal seleksi.
"Wanita lemah itu mampu bangkit seiring dengan ujian hidup dari-Nya, hingga membuatnya menjadi wanita tangguh. Kebumen."
Balasan inbok dari eyang pun saya terima.
"Rangkailah menjadi cerpen, kirim ke dewan juri sriesagimoon@yahoo.co.id
cc: parawiro.s.s.sos@gmail.com
Paling lambat besok jam 09.00 WIB"
What? Jam 09.00 pagi?
Jleb!!! Ngena banget di hati.
Terbayang jelas aktivitas pagi yang tidak memungkinkah saya untuk ngetik. Dilema..., hanya ada 2 pilihan, menyerah atau lanjut? Bingung.
"InsyaAllah eyang, saya usahakan."
Jam dinding menunjukkan pukul 22.00, tapi saya masih sibuk dengan pekerjaan.
Maklum, kerja di perumahan membuat saya sedikit ragu dan pesimis untuk menggeluti bidang tulis menulis. Karena waktunya tersita untuk mengurus rumah tangga orang, berjibun pekerjaan menumpuk setiap harinya. Apalagi ditambah 2 anak kecil yang harus saya urus. Tapi entah kekuatan dari mana hingga rasa optimis justru lebih mendominasi seiring dengan berjalannya waktu.
Detik berganti menit, menit pun berganti jam. Momonganku belum juga tidur.
"Kapan saya bisa ngetik?" Sembari berdoa " Ya Rabb, jika Engkau meridhoi hamba untuk mengikuti KBMA Season 2, mudahkanlah." Aamiin.
Tepat pukul 24.00, saya baru bisa terbebas dari kungkungan pekerjaan.
Bismillahirrahmaanirrohiim
Basmalah saya ucapkan dengan penuh kekhusyuan.
Awalnya bingung mau ngetik apa, meski ide dasarnya sudah ada (tantang wanita lemah). Layar monitor itu pun hanya saya pandangi diiringi jantung berdetak lebih kencang, huh rasanya tidak karuan, gado-gado pisan.
Sebelum benar-benar mengetik, yang pertama saya lakukan adalah corat-coret terlebih dahulu di selembar kertas, kira-kira seperti apa openingnya hingga ending cerpen tersebut berakhir? Tahap satu, kerangka sudah siap.
Gambaran wanita lemah itu seperti apa sih? Dan juga ciri-ciri wanita tangguh yang sebenarnya? Saya sendiri masih bingung.
Inisiatif, tanya mbah google dari pada tambah bingung dan pusing tujuh keliling. Akhirnya nemu juga, ditambah lagi terinspirasi kisah kakak saya.
Waktupun berlalu, tidak terasa jam di layar laptop menunjuk ke angka 02.00. Aduh belum selesai juga, kapan istirahatnya?
Hampir saja putus asa dan menyerah. Tapi bukankah sebuah pilihan itu ada konsekuensinya masing-masing?
Saya sudah memilih untuk mengikuti KBMA Season 2, berarti saya harus mengikuti prosedur yang ada dan syarat-syarat yang sudah ditentukan.
Hingga satu jam lebih telah berlalau, akhirnya cerpen selesai juga. Lalu buru-buru saya kirim ke email mbak sri dan eyang Wiro Toraja.
Alhasil, pukul 4 saya baru bisa istirahat.
Paginya, tak ada waktu untuk memposting ke group. Padahal hanya dikasih waktu sampai jam 9, rasa cemas melanda. Alhamdulillah eyang memberi kemudahan, sore harinya saya baru bisa ngeposting dengan mencuri-curi waktu luang.
Sungguh, dikejar-kejar DL rasanya campur aduk jadi satu. Tapi saya menikmatinya.
Jumat, 11 Juli 2014
IMPIANKU
Pikiranku kacau balau, tidak bisa konsentrasi penuh.
Terlalu berfikir keras untuk membut sebuah tulisan. Ingin rasanya menyerah, biarlah
mimpiku untuk menjadi seorang penulis hanyalah sebatas impian, sebatas impian.
Lelah rasanya, huf…
“Ha…ha…ha, bagus…bagus. Sudahlah, menyerah saja…., kau
memang tidak berbakat dalam menulis.” Tiba-tiba saja sesosok makhluk berbaju
serba hitam yang melintas difikiranku menetertawakan keputus asaanku .Seolah
merasa senang dengan sikap pesimisku.
“Jangan menyerah putri, kamu pasti bisa. Optimislah,”
timpalnya dengan halus. Dia adalah sesosok makhluk berbaju serba putih yang
berusaha untuk menyemangatiku.
[Sepertinya aku mengenali sosok-sosok itu. Ya mereka
adalah 2 sosok diriku yg berbeda haluan, hitam dan putih. Astaghfirullah]
Tiba -tiba saja aku menyadari kekeliruanku.
“Ya Allah, kenapa aku jadi pesimis begini,” batinku.
Sosok-sosok itu menyadarkanku. Seperti ada kekuatan
baru yang tiba-tiba muncul dalam diriku.
Aku memang tidak boleh menyerah, pesimis? Apalagi.
Mana aku yang dulu, yang selalu menggebu-gebu dalam hal tulis menulis. Mana aku
yang dulu selalu yakin, bahwa berasal dari mimpi semua bisa tejadi. Asalkan harus yakin dengan apa yang kita impikan.
***
“Wah, tulisannya bagus sekali. Kata-katanya mudah dimengerti
dan enak dibaca,” puji Dian, teman sekolahku dulu.
“Kenapa tidak jadi penulis saja Put?” sambungnya.
“Ah, kamu bisa saja. Aku tidak berbakat dalam bidang
tulis menulis,” jawabku seakan tidak yakin dengan kelebihan yg aku punya.
“Putri, bakat itu kan bisa diasah. Kamu masih ingat
kan kata bu Windi, guru bahasa Indonesia kita waktu di SMP dulu? BISA KARNA
TERBIASA. Aku tahu kamu hobi menulis, dengan seringnya kamu menulis…berarti
kamu sudah bisa dong . Ayolah Put, aku akan selalu mendukungmu,”turur Dian
menyakinkanku.
“Dian, terimakasih banyak.Kamu memang sahabat paling
baik yang pernah ku kenal,’ ucapku penuh syukur.
“Ini sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang
sahabat. Yang terpenting adalah kamu jangan mudah menyerah dan putus asa. Oke Putri
yang manis dan baik hati, he….he…”
Kami pun tertawa, menikmati kebersamaan dibawah
pohon beringin nan rindang disamping rumahku.
Aku
jadi terharu, ternyata selain abang masih ada orang yang mau mendukungku untuk
mewujudkkan impian. Dian, sahabat baikku. Dari dulu dia tidak pernah berubah, selalu
mensuport dan meyakinkan tentang
keraguan yang jadi bayang –bayang hidupku. Aku sangat bersyukur bisa
mengenalnya. Diam-diam aku berjanji pada diri aku sendiri, untuk mewujudkan
mimpiku menjadi penulis.
***
Aku jadi rajin menulis. Kertas dan pena adalah alat
yang tidak pernah lepas dari keseharianku. Maklum, aku tidak memiliki alat
ketik, apalagi computer. Boro-boro punya computer, rumah saja masih pakai anyaman
bambu yang sudah usang dan lapuk dimakan usia. Mana mampu orang tuaku membeli
alat begituan, buat makan sehari-hari
saja susah.Tapi aku tidak boleh putus asa,aku harus tunjukkan bahwa aku punya
mimpi yang akan aku perjuangkan.
Ternyata, menuangkan ide-ide yang berkeliaran didalam benak tidaklah mudah. Sudah
berpuluh-puluh kertas terbuang sia-sia.
“Aduh…, susah banget sih bikin tulisan yang bagus. Kalau
kaya gini caranya boros-borosin kertas dong namanya,” keluhku sambil sesekali
membuka majalah kesayanganku. Banyak cerpen-cerpen hasil dari penulis-penulis
pemula, meskipun dengan bahasa yang sederhana tapi isinya bagus, tidak
bertele-tele dan pesannya juga masuk. Wah suer deh, aku jadi terinspirasi gitu, ingin sekali rasanya mengikuti jejak
mereka.
“Bagaimana Put, sudah selesai belum? Abang ingin
lihat hasilnya,” tanya bang Ali yang tiba-tiba sudah ada dibelakangku.
“Eh Abang, bikin kaget Putri saja. Nih… baru
setengahnya,” jawabku seraya menyodorkan hasil karyaku .Tidak henti-hentinya ku
amati wajah abangku [bukan karna
wajahnya yang tampan lho ya, tp mimiknya]. Duh jadi H2C harap-harap cemas, menunggu komentar dari
abangku.
“Bagus, kalimatnya sudah lumayang. Tp…,” komentarnya
dengan mimik wajah yang bikin penasaran.
“Tapi apa
Bang? Ayo buruan kasih tahu,” tanyaku sedikit memaksa.
“Tapi sayang
tidak ada lanjutannya he…he,” ledeknya.
“Ayo terusin lagi, Abang ingin lihat endingnya kaya
apa,” sambungnya.
“Susah Bang, aku kehabisan ide. Perlu berfikir keras
untuk melanjutkanya .”
“Masak sih? Setahu Abang, dulu kamu paling bisa
mengembangkan ide menjadi sebuah cerita yang menarik.”
Memang sih demikian.
“Hmm, jangan -jangan adik Abang yang satu ini sudah lupa dengan kalimat JANGAN PIKIRKAN APA
YANG AKAN KAMU TULIS, TAPI TULISLAH APA YANG ADA DIPIKIRANMU,” lanjutnya dengan
senyum yang menyejukkan hati bagi siapa
saja yang melihatnya.
Oh iya, kenapa aku jadi lupa sih dengan kalimat itu.
Kalimat yang sedari dulu selalu abang tanamkan sebelum memulai menulis. Sebenarnya
sudah banyak hasil tulisan yang aku buat. Tapi sayang, baru setengah jalan
sudah KO duluan (haduhhh, payah banget deh), tidak bisa menyelesaikannya (perlu
berfikir keras untuk melanjutkannya), karena memang disitulah kelemahanku.
Menulis juga
harus pakai hati, jangan asal tulis yang nantinya akan menghasilkan tulisan yang
kurang maksimal. Dulu sewaktu SMP, aku paling hobi membaca buku.Tiada hari
tanpa mengunjungi perpustakaan. Banyak novel-novel yang telah kubaca, sungguh isinya banyak yang
menyentuh. Ada salah satu novel(tp aku lupa judulnya apa) isinya tentang bocah
yang berjuang mencari ibunya. Ceritannya berhasil buat aku menangis
sesenggukan. Ada lagi tentang anak Sekolah Dasar yang
bercita -cita ingin menjadi penulis, dengan semangatnya yang luar biasa,
ia berhasil mewujudkannya. Dan cerita itu benar-benar menginspirasiku.
Kadang berfikir,
apa mungkin aku bisa menjadi seperti merek ya? Menciptakan karya-karya
yang bagus dan bisa membuat pembacanya ikut larut ke dalam cerita. Tapi,
bukankah di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin asal kita benar-benar mau berusaha?
Semangat…, semangat…, semangat. Aku harus lebih
semangat lagi, tidak mau mengecewakan orang-orang yang mendukungku. Akan
kubuktikan pada diri sendiri (yang utama) dan orang lain (pastinya), untuk
mengubah kata TIDAK MUNGKIN (yang selama ini bersemayam difikiranku), menjadi
kata MUNGKIN, dan aku yakin bisa. Aku harus mencari inspirasi untuk melanjutkan
tulisanku yaitu dengan membaca, entah itu koran, novel, cerpen, pokoknya apa
saja deh, termasuk membaca buku harian(upzzst…buku harian?) ya buku harian.Tahu
sendirikan? Buku harian isinya tentang apa
saja? Yap betul….tentang diri sendiri, masalah pribadi kita. Bukankah itu
sangat mudah untuk kita kembangkan menjadi sebuah cerita yang menarik bukan?
Buat kalian yang punya
mimpi, perjuangkanlah. Jangan mudah menyerah dan putus asa.Yakinlah, karna
dengan keyakinan, apa yang kita impikan pasti akan tercapai. Aamiin.
NB: Ini adalah hasil
karya yang saya kirimkan untuk pertama kalinya ke majalah Annida online
kesayangan 5 April 2013.
Awalnya hancur lebur,
ejaan masih berantakan, EYD apalagi? Karena waktu itu modal nekad, yang penting
jadi, tidak menghiraukan syarat dan ketentuannya. Alhasil ditolak, hiks. Tapi
tidak apa, saya belajar dari sini. Dan ini sudah saya revisi meski masih hancur
lebur.
Senin, 07 Juli 2014
FIKSI # MENGHISAP JARUM #
Fiksi # Menghisap Jarum #
Pardi bingung dengan kebiasaan bapaknya yang selalu membawa korek kemanapun pergi. Pernah suatu hari Pardi memergoki bapaknya sedang mengeluarkan sesuatu dari saku celana.
"Pak, itu apa?" Karena tidak ingin diketahui oleh anaknya, akhirnya barang tersebut dimasukkan kembali.
Pardi pun semakin penasaran, bagi anak kelas dua SD seperti dirinya, rasa keingintahuannya memang besar. Apa yang dilakukan orang dewasa, selalu saja ingin mengetahuinya.
Ketika Pardi sedang terlelap, bapaknya dengan perasaan tenang mengeluarkan bungkusan kotak dari saku celananya.
"Aman nih Pardi sudah tidur, waktunya bersenang-senang," batinnya girang.
Sedang enak-enaknya menikmati barang yang selama ini dihindari karena sang istri melarang untuk mengkonsumsinya lagi, tiba-tiba Pardi bangun.
"Pak, itu apa yang dihisap?"
"Jarum, Le," jawab bapak sembari menyembulkan asap dari mulutnya.
Uhuk! Uhuk!
Pardi terbatuk.
Pardi bingung dengan kebiasaan bapaknya yang selalu membawa korek kemanapun pergi. Pernah suatu hari Pardi memergoki bapaknya sedang mengeluarkan sesuatu dari saku celana.
"Pak, itu apa?" Karena tidak ingin diketahui oleh anaknya, akhirnya barang tersebut dimasukkan kembali.
Pardi pun semakin penasaran, bagi anak kelas dua SD seperti dirinya, rasa keingintahuannya memang besar. Apa yang dilakukan orang dewasa, selalu saja ingin mengetahuinya.
Ketika Pardi sedang terlelap, bapaknya dengan perasaan tenang mengeluarkan bungkusan kotak dari saku celananya.
"Aman nih Pardi sudah tidur, waktunya bersenang-senang," batinnya girang.
Sedang enak-enaknya menikmati barang yang selama ini dihindari karena sang istri melarang untuk mengkonsumsinya lagi, tiba-tiba Pardi bangun.
"Pak, itu apa yang dihisap?"
"Jarum, Le," jawab bapak sembari menyembulkan asap dari mulutnya.
Uhuk! Uhuk!
Pardi terbatuk.
EVENT MAS FALSIST DI KBM
Tema: Meraih Mimpi
Diantara puluhan anak-anak yang sedang menggembala Kambing, satu diantaranya adalah aku. Ini adalah rutinitas sepulang sekolah, menggiring Kambing ke sawah bersama adik dan teman-temanku. Kebiasaan ini aku lakukan sampai lulus dari Sekolah Menengah Pertama.
Dengan nilai kelulusan di atas rata-rata, melanjutkan sekolah adalah harapanku seperti teman-teman yang lainnya. Namun, semuanya pupus ketika ayah tak sanggup membiayaiku untuk melanjutkan sekolah. Sedih? Pasti. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Pasrah.
Ibu mengerti perasaanku dan berusaha membesarkan hatiku agar tak usah minder meski tak bisa merasakan memakai baju putih abu-abu seperti kebanyakan teman sebayaku. Terkadang ada rasa iri , disaat mereka berangkat ke sekolah, aku membereskan rumah. Disaat mereka pulang sekolah, aku menggembala kambing di sawah. Disaat mereka asyik belajar dengan seabreg tugas dari sekolah, aku hanya bisa merenungi nasib yang tak seberuntung mereka.Tapi, inilah jalan hidupku, hidup ke keluargaku. Kalau melihat ibu yang tak pernah mengeluh dengan aktifitas kesehariannya, rasanya aku malu.
***
Kuputuskan merantau ke ibu kota, ketika ada tetangga yang mengajakku bekerja. Berharap, dengan bekerja aku bisa melanjutkan sekolah lagi. Anganku melambung tinggi, membayangkan bisa memakai seragam putih abu-abu dan memiliki banyak teman baru, ah…, aku berkhayal lagi. Nyatanya, semua itu tak pernah terjadi. Mimpiku tak kesampaian, bukannya menyerah, aku hanya tak tega jika harus menambah beban ayah dalam membiayai sekolahku lagi, karena masih ada dua adikku yang butuh biaya untuk pendidikannya.
Di sini, di kota yang tak pernah ada matinya, kumengais rezeki dengan bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Terkadang ada rasa gengsi ketika melihat teman-temanku bisa bekerja lebih baik dariku. Aku malu, tapi lebih malu lagi kalau aku melupakan kata-kata ibu yang selalu mengajarkan rasa syukur.
Meski disibukkan dengan pekerjaan yang menyita waktu dalam keseharian, kuluangkan untuk menulis.
“Wah, tulisannya bagus,” puji temanku ketika melihat buku diariku yang sudah penuh dengan tulisan. ”Kenapa gak jadi penulis saja, Ti?” tanyanya mengagetkanku.
Penulis? Satu kata yang selalau terngiang-ngiang hingga sekarang. Dan kata-kata itu memotivasiku untuk terus menulis, apapun itu.
Diam-diam ada keinginan untuk menjadi penulis terkenal. Kubulatkan tekad dan menanamkan rasa optimis, berharap suatu saat bisa dikembangkan menjadi karya yang bermanfaat bagi sesama. Bukankah mimpi itu milik siapa saja? Toh selama ada niat dan kemauan, semua itu bisa terwujud.
Selalu ada jalan, bahkan membentang luas dihadapan. Kesempatan yang ada kumanfaatkan sebaik-baiknya, event-event kepenulisan kuikuti, meski banyak gagalnya aku tak boleh menyerah.
Kini, membahagiakan keluarga dan menulis adalah mimpiku yang begitu nyata.
Opening cukup oke, good point! tapi konfliknya kurang tajam, dan penyelesaiannya terkesan terburu2. Pembaca suka dg konflik yang dialami si tokoh utama dan bagaimana cara si tokoh menyelesaikannya. Hal itu bisa membuat cerita berkesan dan nempel di benak pembaca, dan itu juga yg bisa mempengaruhi pemikiran pembaca. Kurang lbh spt itu yg pernah sy baca dr berbagai sumber.
Diantara puluhan anak-anak yang sedang menggembala Kambing, satu diantaranya adalah aku. Ini adalah rutinitas sepulang sekolah, menggiring Kambing ke sawah bersama adik dan teman-temanku. Kebiasaan ini aku lakukan sampai lulus dari Sekolah Menengah Pertama.
Dengan nilai kelulusan di atas rata-rata, melanjutkan sekolah adalah harapanku seperti teman-teman yang lainnya. Namun, semuanya pupus ketika ayah tak sanggup membiayaiku untuk melanjutkan sekolah. Sedih? Pasti. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Pasrah.
Ibu mengerti perasaanku dan berusaha membesarkan hatiku agar tak usah minder meski tak bisa merasakan memakai baju putih abu-abu seperti kebanyakan teman sebayaku. Terkadang ada rasa iri , disaat mereka berangkat ke sekolah, aku membereskan rumah. Disaat mereka pulang sekolah, aku menggembala kambing di sawah. Disaat mereka asyik belajar dengan seabreg tugas dari sekolah, aku hanya bisa merenungi nasib yang tak seberuntung mereka.Tapi, inilah jalan hidupku, hidup ke keluargaku. Kalau melihat ibu yang tak pernah mengeluh dengan aktifitas kesehariannya, rasanya aku malu.
***
Kuputuskan merantau ke ibu kota, ketika ada tetangga yang mengajakku bekerja. Berharap, dengan bekerja aku bisa melanjutkan sekolah lagi. Anganku melambung tinggi, membayangkan bisa memakai seragam putih abu-abu dan memiliki banyak teman baru, ah…, aku berkhayal lagi. Nyatanya, semua itu tak pernah terjadi. Mimpiku tak kesampaian, bukannya menyerah, aku hanya tak tega jika harus menambah beban ayah dalam membiayai sekolahku lagi, karena masih ada dua adikku yang butuh biaya untuk pendidikannya.
Di sini, di kota yang tak pernah ada matinya, kumengais rezeki dengan bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Terkadang ada rasa gengsi ketika melihat teman-temanku bisa bekerja lebih baik dariku. Aku malu, tapi lebih malu lagi kalau aku melupakan kata-kata ibu yang selalu mengajarkan rasa syukur.
Meski disibukkan dengan pekerjaan yang menyita waktu dalam keseharian, kuluangkan untuk menulis.
“Wah, tulisannya bagus,” puji temanku ketika melihat buku diariku yang sudah penuh dengan tulisan. ”Kenapa gak jadi penulis saja, Ti?” tanyanya mengagetkanku.
Penulis? Satu kata yang selalau terngiang-ngiang hingga sekarang. Dan kata-kata itu memotivasiku untuk terus menulis, apapun itu.
Diam-diam ada keinginan untuk menjadi penulis terkenal. Kubulatkan tekad dan menanamkan rasa optimis, berharap suatu saat bisa dikembangkan menjadi karya yang bermanfaat bagi sesama. Bukankah mimpi itu milik siapa saja? Toh selama ada niat dan kemauan, semua itu bisa terwujud.
Selalu ada jalan, bahkan membentang luas dihadapan. Kesempatan yang ada kumanfaatkan sebaik-baiknya, event-event kepenulisan kuikuti, meski banyak gagalnya aku tak boleh menyerah.
Kini, membahagiakan keluarga dan menulis adalah mimpiku yang begitu nyata.
Opening cukup oke, good point! tapi konfliknya kurang tajam, dan penyelesaiannya terkesan terburu2. Pembaca suka dg konflik yang dialami si tokoh utama dan bagaimana cara si tokoh menyelesaikannya. Hal itu bisa membuat cerita berkesan dan nempel di benak pembaca, dan itu juga yg bisa mempengaruhi pemikiran pembaca. Kurang lbh spt itu yg pernah sy baca dr berbagai sumber.
EVENT MBAK OSCAR SAGARA DI KBM
Judul: Ujian Kehilangan Buah Hati(FTS)
Tema: Ikhlas Kehilangan
Empat puluh hari sepeninggalannya, belum mampu membuatku beranjak dari kedukaan. Terasa berat atas kepergiannya yang begitu cepat. Tapi, inilah takdirNya. Padahal aku belum puas menimangnya, menyusuinya, menciumnya, aku belum ingin berpisah dengannya.
Semua seperti mimpi. Rasanya baru kemarin aku melahirkan bayi mungil berparas ayu. Dan kini, tak terasa air mataku mengalir deras, aku tak mampu membendungnya lagi. Mencoba untuk kuat, tapi belum bisa, aku belum sanggup menerima semua ini. Hanya dua puluh hari aku merasakan dan menikmati peran menjadi ibu bagi bidadari cantik yang kini telah pergi untuk selama-lamanya.
Rabbi, begitu berat cobaan yang harus aku hadapi. Kehilangan kali ini benar-benar membuatku lebih syok dari yang dulu. Rasanya belum kering luka akan kehilangan calon bayiku dua tahun yang lalu, kini kejadian yang sama terulang kembali.
***
Tak pernah menyangka, yang awalnya aku kira baik-baik saja, dan akan tumbuh sehat seperti bayi-bayi lainnya, ternyata takdir berkata lain. Tragedi di petang itu memupuskan harapanku. Hasna, si bayi mungil yang baru berusia dua puluh hari harus meregang nyawa, kala tersedak saat sedang menikmati ASI yang aku berikan. Aku panik luar biasa, hingga nyawanya tak tertolong lagi.
Hanya air mata yang mampu mewakili perasaanku.Tak mampu berkata-kata, aku pasrah dan menyerahkan sepenuhnya kepada Sang Pemilik Hidup. Disinilah Allah menguji lagi dengan kehilangan anakku.
Tapi kali ini aku lebih ikhlas dan tegar, meski sakitnya mampu membuat luka yang lalu tambah menganga.
Ku tilik lagi kisah dua tahun yang lalu, tepatnya delapan bulan di usia kandungan aku merasakan ada yang aneh dari dalam perutku. Tak ada gerakan aktif juga tendangan-tendangan calon bayi yang sering kurasakan disetiap harinya. Buru-buru ku periksakan ke bidan.
Innalilahi wainnailaihi roji’un…, calon bayi yang kami idam-idamkan ternyata sudah tak bernyawa lagi. Betapa syok dan sedihnya kala itu. Sudah kuusahakan sebaik mungkin dalam menjaga kandungan, aku rutin memeriksanya ke bidan tapi…
Mungkin Allah belum mempercayakan kami untuk menjaga titipan-Nya. Khuznudhon, harus berprasangka baik pada Sang Pemberi Hidup. Karena semua yang kita miliki adalah titipan, dan akan kembali kepada-Nya, pemilik yang sebenarnya.
Satu tahun setelah gagal memiliki momongan, Allah meniupkan kembali roh ke dalam rahimku. Sujud syukur atas karunia-Nya, kami menyambutnya dengan suka cita. Baru saja merasakan kebahagiaan atas calon bayi yang kedua tiba-tiba aku mengalami pendarahan dan keguguran saat kandungan memasuki bulan ke empat. Lagi lagi Allah belum mempercayakan kami untuk menjaga titipan-Nya. Meski sedih, tapi kali ini lebih bisa menerimanya dengan lapang dada. Aku pasang senyum ketegaran untuk menyambut masa depan. Masih ada kesempatan, apalagi usiaku kini masih muda. Aku percaya, Allah akan mengaruniakan kepada kami yang lebih baik.
***
Dibalik semua cobaan, tersirat banyak hikmah yang dapat dipetik. Agar lebih intropeksi diri, adakah kesalahan juga dosa-dosa fatal yang telah kami lakukan? Hingga berkali-kali gagal memiliki momongan. Tak semestinya pula berprasangka buruk pada Allah, sungguh rencana-Nya adalah yang terbaik buat setiap hambanya. Kami hanya perlu bersabar dan ikhlas, tak perlu meratapi kepergian mereka. Mungkin Allah belum mempercayakan mereka untuk dititipkan kepada kami. Mereka pasti lebih bahagia disana, di surga-Nya.
Tema: Ikhlas Kehilangan
Empat puluh hari sepeninggalannya, belum mampu membuatku beranjak dari kedukaan. Terasa berat atas kepergiannya yang begitu cepat. Tapi, inilah takdirNya. Padahal aku belum puas menimangnya, menyusuinya, menciumnya, aku belum ingin berpisah dengannya.
Semua seperti mimpi. Rasanya baru kemarin aku melahirkan bayi mungil berparas ayu. Dan kini, tak terasa air mataku mengalir deras, aku tak mampu membendungnya lagi. Mencoba untuk kuat, tapi belum bisa, aku belum sanggup menerima semua ini. Hanya dua puluh hari aku merasakan dan menikmati peran menjadi ibu bagi bidadari cantik yang kini telah pergi untuk selama-lamanya.
Rabbi, begitu berat cobaan yang harus aku hadapi. Kehilangan kali ini benar-benar membuatku lebih syok dari yang dulu. Rasanya belum kering luka akan kehilangan calon bayiku dua tahun yang lalu, kini kejadian yang sama terulang kembali.
***
Tak pernah menyangka, yang awalnya aku kira baik-baik saja, dan akan tumbuh sehat seperti bayi-bayi lainnya, ternyata takdir berkata lain. Tragedi di petang itu memupuskan harapanku. Hasna, si bayi mungil yang baru berusia dua puluh hari harus meregang nyawa, kala tersedak saat sedang menikmati ASI yang aku berikan. Aku panik luar biasa, hingga nyawanya tak tertolong lagi.
Hanya air mata yang mampu mewakili perasaanku.Tak mampu berkata-kata, aku pasrah dan menyerahkan sepenuhnya kepada Sang Pemilik Hidup. Disinilah Allah menguji lagi dengan kehilangan anakku.
Tapi kali ini aku lebih ikhlas dan tegar, meski sakitnya mampu membuat luka yang lalu tambah menganga.
Ku tilik lagi kisah dua tahun yang lalu, tepatnya delapan bulan di usia kandungan aku merasakan ada yang aneh dari dalam perutku. Tak ada gerakan aktif juga tendangan-tendangan calon bayi yang sering kurasakan disetiap harinya. Buru-buru ku periksakan ke bidan.
Innalilahi wainnailaihi roji’un…, calon bayi yang kami idam-idamkan ternyata sudah tak bernyawa lagi. Betapa syok dan sedihnya kala itu. Sudah kuusahakan sebaik mungkin dalam menjaga kandungan, aku rutin memeriksanya ke bidan tapi…
Mungkin Allah belum mempercayakan kami untuk menjaga titipan-Nya. Khuznudhon, harus berprasangka baik pada Sang Pemberi Hidup. Karena semua yang kita miliki adalah titipan, dan akan kembali kepada-Nya, pemilik yang sebenarnya.
Satu tahun setelah gagal memiliki momongan, Allah meniupkan kembali roh ke dalam rahimku. Sujud syukur atas karunia-Nya, kami menyambutnya dengan suka cita. Baru saja merasakan kebahagiaan atas calon bayi yang kedua tiba-tiba aku mengalami pendarahan dan keguguran saat kandungan memasuki bulan ke empat. Lagi lagi Allah belum mempercayakan kami untuk menjaga titipan-Nya. Meski sedih, tapi kali ini lebih bisa menerimanya dengan lapang dada. Aku pasang senyum ketegaran untuk menyambut masa depan. Masih ada kesempatan, apalagi usiaku kini masih muda. Aku percaya, Allah akan mengaruniakan kepada kami yang lebih baik.
***
Dibalik semua cobaan, tersirat banyak hikmah yang dapat dipetik. Agar lebih intropeksi diri, adakah kesalahan juga dosa-dosa fatal yang telah kami lakukan? Hingga berkali-kali gagal memiliki momongan. Tak semestinya pula berprasangka buruk pada Allah, sungguh rencana-Nya adalah yang terbaik buat setiap hambanya. Kami hanya perlu bersabar dan ikhlas, tak perlu meratapi kepergian mereka. Mungkin Allah belum mempercayakan mereka untuk dititipkan kepada kami. Mereka pasti lebih bahagia disana, di surga-Nya.
Kamis, 03 Juli 2014
FIKSI # KETAHUAN #
Fiksi # Ketahuan #
"Ibu mau kemana?" tanyaku pada wanita separuh baya.
"Shoping, kamu jaga rumah dan jangan kemana-mana," jawabnya sambil berlalu menuju teman-temannya yang sudah menungguinya di mobil.
"Kita jalan yuk, mumpung bos kita lagi pergi," ajak Nani dari atas loteng"
"Aku nggak boleh keluar rumah," jawabku sedih.
"Tenang, nanti aku yang tanggung jawab."
Kami pun pergi ke suatu tempat.
Situasi seperti ini memang pas buat pergi bareng teman-teman seperjuangan, apa lagi selama kerja di sini belum sekalipun diijinkan keluar rumah. Padahal, itu adalah hak aku setelah memenuhi kewajibannya. Sebagai pembantu, bukan berarti harus terus-terusan mengurus rumah bukan? Aku butuh refresing.
Deg, ternyata bos aku juga di tempat ini. Kita sembuni-sembunyi. Tapi naas, mereka mengetahui keberadaan kami. Kita lari sekencang-kencangnya. Lorong kecil kita lewati, jangan sampai mereka menangkap kami.
Aku pasrah ketika mereka berhasil menangkap kami.
"Maafkan Ibu ya, karena tidak pernah memberi ijin selama bekerja di rumah Ibu."
Aku menangis dalam pelukannya. Antara bahagia dan tidak menyangka bahwa ini hanya mimpi belaka.
"Ibu mau kemana?" tanyaku pada wanita separuh baya.
"Shoping, kamu jaga rumah dan jangan kemana-mana," jawabnya sambil berlalu menuju teman-temannya yang sudah menungguinya di mobil.
"Kita jalan yuk, mumpung bos kita lagi pergi," ajak Nani dari atas loteng"
"Aku nggak boleh keluar rumah," jawabku sedih.
"Tenang, nanti aku yang tanggung jawab."
Kami pun pergi ke suatu tempat.
Situasi seperti ini memang pas buat pergi bareng teman-teman seperjuangan, apa lagi selama kerja di sini belum sekalipun diijinkan keluar rumah. Padahal, itu adalah hak aku setelah memenuhi kewajibannya. Sebagai pembantu, bukan berarti harus terus-terusan mengurus rumah bukan? Aku butuh refresing.
Deg, ternyata bos aku juga di tempat ini. Kita sembuni-sembunyi. Tapi naas, mereka mengetahui keberadaan kami. Kita lari sekencang-kencangnya. Lorong kecil kita lewati, jangan sampai mereka menangkap kami.
Aku pasrah ketika mereka berhasil menangkap kami.
"Maafkan Ibu ya, karena tidak pernah memberi ijin selama bekerja di rumah Ibu."
Aku menangis dalam pelukannya. Antara bahagia dan tidak menyangka bahwa ini hanya mimpi belaka.
Langganan:
Postingan (Atom)