TANTANGAN KBM MANIA SEASON 2
BABAK KONSER LEVEL 1
Ide cerita : Ketika penyekapan memakan korban
Judul cerpen : Tragedi di Gudang Tua
Karya : Marsiti
Mentor : Erie GusNellyanti
“Aparat kepolisian Resor (Polres) Sukabumi Kota, Jawa Barat,
menggerebek sebuah rumah di Jalan Goalpara, Kabupaten Sukabumi yang
diduga dijadikan tempat penyekapan belasan wanita. Belasan wanita itu
diduga merupakan korban perdagangan manusia (human trafficking).”
(Okezone)
Begitulah bunyi berita hari ini. Penyekapan semakin
marak terjadi dimana-mana, korbannya pun bertambah banyak. Tiba-tiba
ingatanku kembali ke peristiwa masa lalu, yang masih menyisakan duka
mendalam.
***
Pada pertengahan bulan September, ada seorang
paruh baya mendatangi kampung kami, Pak Usman namanya. Ia ingin merekrut
para pemuda pengangguran untuk dijadikan karyawan pabrik. Tak ada
kecurigaan, Kepala Desa pun menyambutnya dengan senang hati.
Ia
menjanjikan akan memberi gaji 500 ribu per bulan. Setelah Enam bulan,
gaji akan dinaikkan menjadi 1,5 juta per bulan. Selain itu, kami juga
diiming-imingi tempat tinggal yang layak, cuti kerja, serta liburan
gratis ke Ancol. Siapa yang tak tertarik? Bagi orang kampung yang saban
harinya bekerja sebagai buruh tani, gaji besar adalah suatu
keberuntungan. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas, lantas kami
mengiyakan. Berbekal izin dari kedua orang tua, kami berangkat dengan
menaiki travel yang sudah disediakan.
Mereka melepaskan kami
dengan harapan yang sangat, berharap sekembali dari rantau akan menjadi
pahlawan perubahan untuk dukuh Jati, yang dipandang orang sebagai dukuh
terpencil dan termiskin.
Dalam perjalanan, Pak Usman menyuguhi makan malam. Kami pun makan dengan lahapnya.
Hoammmm, tiba-tiba rasa kantuk menghinggapi kami yang terlalu
kekenyangan. Kucoba untuk menahannya sejenak, tetap saja tak bisa.
Sedikit aneh, karna tak biasanya sengantuk ini. Mungkin kelelahan,
mencoba berpikir positif.
***
Hari Pertama
Gelap, itu
yang aku rasakan ketika membuka mata. Tak ada cahaya yang menerangi.
Kuraba-raba di sekelilingku, yang ada hanya balok-balok kayu. Dimanakah
gerangan? Apa yang sebenarnya terjadi? Tanda tanya memenuhi kepalaku.
“Iwan, Badu, Roni… kalian di mana?” panggilku sedikit berteriak. Aku pun berjalan sembari mencari-cari tembok untuk pegangan.
“To, aku di sini,” sahut Iwan dengan nada ketakutan. “Tolong, di sini
gelap sekali,” sambungnya. Kucari sumber suara Iwan, sesekali kaki
menginjak kayu, tersandung benda entah apa namanya, hingga terjatuh.
“Awww…, sakit,” rintihku. Sepertinya benda tajam mengenai kaki, hingga kurasakan ada aliran dingin, darah.
“To, kamu kenapa?" tanya Iwan khawatir. Sepertinya posisi Iwan sudah
dekat. Meski langkah kaki terasa gontai, aku tetap mencarinya. Akhirnya
kumenemukan Iwan dengan napas tersengal-sengal, Ia takut sekali dengan
gelap. Astaghfirullah hal’adzim…matanya ditutup dengan kain dan
tangannya diikat kebelakang, pantas saja ketakutan. Benar-benar
keterlaluan orang yang telah melakukan semua ini.
“Terimakasih, To,” ucapnya kala aku membantu membuka penutup mata.
“Kita di mana, To? Teman-teman yang lain pada di mana?" Bertubi-tubi
pertanyaan keluar dari mulutnya. Aku hanya diam membisu, pandanganku
menerawang jauh, namun sia-sia, kegelapan menghalangiku untuk berfikir
jernih. Ruangan ini begitu tertutup, sama sekali tak ada cahaya yang
masuk. Kita hanya bisa pasrah, pasrah dengan keadaan yang ada.
Tiba-tiba ruangan menjadi terang. Seisi ruangan terlihat jelas. Sebuah
gudang tua, atapnya penuh sarang laba-laba, kayu-kayu berserakan, dan
tercium bau tak sedap. Terdengar langkah kaki dan suara gaduh. Dua orang
tak dikenal, yang satu berperawakan besar dan berkumis tebal, sedangkan
yang satunya lagi berperawakan sedang berambut gondrong. Mereka membawa
teman-teman kami, tangannya diikat serta mulutnya dilakban, kasihan
sekali.
“Siapa kalian? di mana Pak Usman?” tanyaku dengan suara gemetaran. Rasa takut menjalari tubuhku.
“Hahahaaaa…., kalian tidak perlu tahu. Jangan macam-macam kau anak
kecil, hahahaa…,” jawabnya diiringi tawa yang menggelegar, memekikkan
telinga. Merekapun berlalu, meninggalkan kami dalam kebingungan. Di
manakah Pak Usman? Mana janjinya untuk mempekerjakan kami jadi karyawan
pabrik? Apakah semua itu hanya omong kosong belaka? Aku hanya bisa
menerima nasib.
***
Hari Kedua
“Hei, siapa yang berisik
tadi?” Teriaknya lantang, bagai anjing melolong karna kelaparan. Kami
hanya bisa diam, tak ada yang berani menatapnya, apalagi menjawab. Tapi,
tiba-tiba Iwan memberanikan diri dan mengakui kesalahannya.
Plakk!
Sebuah pukulan mendarat di bagian pipinya. Darah segar pun mengalir
dari hidung dan mulut, serta diiringi rintihan kesakitan yang luar
biasa.
Aku hanya bisa memandangi dengan mata nanar, perasaan ini
bagai teriris pisau tajam, sakit. Hatiku menangis, ingin rasanya
cepat-cepat menghampiri Iwan dan menenangkannya, sayang nyaliku ciut
ketika manusia berperawakan besar itu memberi ancaman agar tak mendekati
Iwan. Kucoba pejamkan mata sejenak, pedih. Seperti inikah yang
dirasakan Iwan?
***
Hari Ketiga
Aku terduduk lesu,
lemah, lunglai. Ingin rasanya memberontak, tapi tak ada nyali. Aku
takut, takut yang amat sangat. Begitu juga dengan teman-teman yang lain,
mereka begitu ketakutan. Gurat ketakutan pun terlukis jelas di raut
wajahnya. Rasa haus, lapar, membuat kami tak berdaya.
Di sampingku
ada Iwan, ia tengah meringkuk, memeluk diri dengan tubuh penuh luka.
Detak jantungnya sudah tak beraturan. Terkadang mengerang kesakitan,
rintihannya menyayat hatiku. Aku bingung, apa yang harus kulakukan?
Mata ini terpejam, kembali bertemu dengan gelap yang tak bisa bicara, dan hanya bisa menyaksikan semuanya.
Arghhh.. ada rasa sesal yang menyusup dalam relung jiwaku. Penyesalan
yang amat sangat. Seandainya aku menolak ajakan Pak Usman, seandainya
aku lebih bersyukur dengan hanya menjadi buruh tani meski berpenghasilan
kecil, seandainya aku tak punya harapan terlalu tinggi untuk
menginjakkan kaki di Jakarta, seandainya… seandainya aku tak
menghiraukan ejekan orang-orang dukuh sebelah yang memandang sebelah
mata tentang nasib dukuh kami. Aaahhhh… penyesalan memang selalu
belakangan, agar kita bisa belajar dan memetik hikmahnya dari kejadian
tersebut.
***
Hari Keempat
Kejadian malam itu
menyadarkanku.Uuuhhh… betapa bodohnya. Melihat teman tak berdaya, aku
malah hanya bisa diam. Ah, laki-laki macam apa aku ini, membela keadilan
saja tak berani, melihat kezaliman di depan mata malah dibiarkan saja.
Rasa geram menguasai kekujur tubuhku. Emosiku kian naik ke ubun-ubun.
Kutatap lekat-lekat wajah manusia itu, kulitnya hitam, sorot matanya
yang tajam, hidungnya pesek, berkumis tebal, dan dari bibirnya
menyunggingkan senyum tipis yang membuatku semakin muak melihatnya.
“Hahahaaa… hai anak kecil, mau apa kau. Melawan? Hahhaaa…” ejeknya.
Geram, hatiku tersulut api kemarahan. Entah setan apa yang merasuk dalam diriku hingga…
“Aowwww… sakit, aduh… aduh, sakit sekali.” Spontan saja si rambut
gondrong meringis kesakitan setelah tendanganku mengenai sasaran.
Melihat temannya terus-terusan meringis kesakitan, si kumis tebal
meradang, lalu ambil ancang-ancang. Dengan gerakan silat bak pesilat
jagoan, Ia berusaha menonjok bagian perutku, settttt meleset jauh dan
hampir saja mengenai muka Badu yang sedari tadi hanya menyaksikan saja.
Dengan sigapnya, Roni menendang bagian punggung hingga tersungkur, dan
terjerembak pada tumpukan-tumpukan kayu.
"Aaa… am… ppuuunn."
Akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutnya. Ada kepuasan tersendirI
bisa membalas dan mengalahkan mereka, karna tak ada satupun dari kami
yang jago silat. Mungkin, itu hanyalah refleksi tubuh, pengaruh otak
yang timbul karna rasa emosi tidak bisa ditahan.
***
Hari Kelima
Akhirnya, kami bisa keluar dari gudang tua yang letaknya di bawah
tanah. Sambil menggendong Iwan yang lunglai tak berdaya, kami meminta
pertolongan warga.
Polisi telah berhasil meringkus Pak Usman, Ia
termasuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang). Ternyata, Sudah banyak
korban yang termakan janjinya.
Untuk sahabat sekalian WASPADALAH! WASPADALAH!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar