Bidadari dalam Fiksi
Izinkan langkah ini
untuk mengarungi luasnya samudera. Izinkanlah bahwa langkah kecil ini
mampu menakhlukkan waktu yang cepat berlalu. Sekiranya, selama raga ini
masih bertahan dengan segala keterbatasan yang ada, pasti takkan sia-sia.
Baru saja menelan pil kehidupan yang begitu pahit, sepahit akar
bratawali. Tapi tak ada rasa menyerah, sedikitpun tidak. Selalu saja ada
yang menguatkan, memberikan hangatnya kasih sayang, manisnya cinta yang
mampu membangkitkannya untuk terus bertahan.
***
Jarum jam
yang terus bergerak sebagai penanda waktu tak mungkin bisa dicegah.
Semakin bergerak, detak jantungnya semakin tidak beraturan. Keringat
dingin bercucuran.
“Mas, aku takut,” ucapnya cemas.
“Tenang Sayang, Mas akan tetap menemanimu di sini.” Ramdan berusaha
menenangkan istrinya yang sedang berbaring lemah, disekanya peluh
keringat di wajah. Dipandangi tubuh Imas, kurus, dengan tulang pipi yang
sangat kelihatan. Di bagian kepala, tak ada lagi mahkota indah yang
selama ini Ia kagumi.
“Bagaimanapun keadaanmu, aku akan selalu
ada untukmu, Sayang,”batinnya seraya menahan butiran bening yang hampir
ke luar dari tempat peraduannya.
Tiba-tiba kenangan masa lalu
menari-nari di kepalanya. Slide-slide yang ada di otak pun bermunculan.
Bagaimana awal pertemuannya dengan Imas, gadis cantik nan jelita, dengan
lesung pipinya yang mampu membuat siapa saja jatuh cinta, hingga
mengetahui hasil lab menunjukkan bahwa di bagian tubuh Imas bersarang
penyakit yang mematikan, penyakit yang sangat ditakuti oleh kaum wanita.
***
Tepatnya satu tahun yang lalu, setelah beberapa bulan berkenalan,
Ramdan memutuskan untuk meminangnya. Bukan karena kecantikannya saja,
tapi ketegaran dalam menjalani hiduplah yang mampu mengetuk hati Ramdan
setelah tiga tahun yang lalu ditinggal pergi oleh orang yang dicintainya
untuk selama-lamanya.
Tok..tok..tok!
Ketukan pintu
membuyarkan lamunan Ramdan yang belum sempat memutar ulang slide,
tentang bagaimana mereka hingga berada di Rumah sakit ini.
“Permisi Mbak Imas, Mas Ramdan,” sapa suster Dina dengan senyumnya yang ramah.
“Bagaimana keadaan hari ini, Mbak? Sudah siapkah?” sambungnya.
“Alhamdulillah Sus, sudah mendingan. Tapi…” Kata-katanya terhenti. Di
tariknya napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara berlahan.
“Mbak Imas tidak usah takut, kan ini yang terakhir kali.”Sepertinya suster tahu apa yang terbesit dalam pikirkannya.
“Bisa dimulai sekarang, Mbak?” Suster Dian kembali bertanya.
Imas pun mengiyakan. Pasrah, meski ketakutan merajai diri, tapi genggaman tangan Ramdan mampu menenangkannya.
“Bismillahi rohmaanirrohiim.” Mereka mengucapkan Basmallah berbarengan.
Suster mulai menekan obat di suntikan tanpa jarum yang sudah di tempel di selang infus, lalu menekannya sangat pelan.
Imas merasakan kesakitan, dahinya sesekali mengernyit, menahan sakit akibat cairan obat yang mengalir ke urat nadinya.
Ramdan yang sedari tadi menggenggam tangan istrinya mulai panik, raut wajahnya berubah serius.
“Bagaimana Sayang, sudah berasa sakitnya?”
“Iya, sudah mulai sakit dan dingin.” Suaranya melemah, badannya seketika menggigil, wajahnya pucat dan mulutnya bergetar.
Dengan sigap, Ramdan menutupi tubuh istrinya dengan selimut tebal. Ia
duduk di sampingnya. Melihat Imas tak berdaya, Ramdan hanya mampu
berdoa. Menguatkannya dengan belaian kasih sayang.
***
Imas menemukan benjolan ketika melakukan 'Sadari' di bagian kiri.
Awalnya dianggap biasa, bahkan dibiarkan begitu saja sampai satu tahun
lamanya. Tapi, lama-lama sakitnya bertambah parah. Terjadi pembengkakan,
dan sesekali mengeluarkan cairan.
Syok, stres, bercampur jadi
satu. Imas berubah menjadi pribadi yang pendiam. Murung, dan suka
menyendiri di kamar setelah mengetahui hasil lab menunjukkan bahwa Ia
terserang kanker payudara. Dan yang membuatnya semakin putus asa dalam
menjalani hidup adalah kanker itu sudah memasuki stadium 3C, stadium
yang cukup tinggi.
“ Sayang, walaupun nanti kamu akan di
operasi dan di angkat payudara kirinya, di mataku kamu tetaplah cantik.
Yang terpenting kesembuhanmu, Sayang.” Ramdan mencoba menghiburnya.
Perhatian, kasih sayang selalu tercurahkan. Karena hanya dengan support
dari orang-orang yang di cintainyalah, diharapkan bisa membangun
semangat Imas untuk sembuh.
“Tapi aku takut Mas, kenapa harus
aku? Kenapa bukan orang lain saja yang terkena penyakit ini? Kenapa
bukan penyakit kecil yang bersarang di tubuh ini, kenapa?” Tangisnya
pecah, bukan, bukan Ia tak ikhlas atas takdir yang Allah berikan. Ia
hanya ingin mengeluarkan unek-unek tak sehat agar bisa keluar seiring
dengan penyesalan atas apa yang baru saja diucapkannya.
Selama
operasi dilakukan, waktu terasa menggeliat. Detik demi detik mengguncang
jantung. Raut muka ketegangan terpancar di wajahnya. Tak bisa diuraikan
dengan kata-kata, sekedar membayangkannya pun tak mampu.
Dengan Mastektomi membuatnya lebih baik. Tapi, bukankah proses selanjutnya adalah kemoterapi?
“Mas, aku gak mau, pokoknya aku gak mau di kemo!” serunya, yang
terdengar bukan seperti menyeru, tapi bagai rintihan menyayat hati.
Ya, penolakan Imas memang masuk akal, Ia masih trauma. Apalagi setelah mendengar sendiri apa itu kemoterapi.
“Kemoterapi? Apa itu dokter?” Tanya Ramdan penasaran.
“Kemoterapi adalah salah satu jenis pengobatan penyakit kanker yang
berfungsi menghancurkan dan membunuh sel-sel kanker. Kemoterapi akan
memperlambat pertumbuhan sel atau menghentikan pertumbuhannya secara
total. Tapi…” Tiba-tiba berhenti, seolah berat untuk menjelaskan.
“Tapi apa dokter?
“Sebenarnya kemoterapi itu efektif, tapi juga akan berakibat pada
sel-sel lain yang membelah dengan cepat, seperti sel-sel pada mulut,
kulit kepala(akar rambut), dan usus. Efek tersebut menghasilkan
gejala-gejala seperti sariawan, rambut rontok, dan muntah-muntah,” jelas
dokter Ananto panjang lebar.
“Jadi maksud dokter, istri saya bisa sembuh dengan melakukan kemoterapi?"
“Sulit untuk mengatakan demikian, kemoterapi hanya salah satu cara
untuk menyembuhkan. Selebihnya, serahkan semuanya kepada Allah, Sang
Maha Penyembuh. Berdoalah, memohon untuk kesembuhan istri Anda, dan juga
berusahalah dengan melakukan kemoterapi ini”.
***
Ramdan tak patah arang. Bujukan, rayuan juga sifat optimis diberikannya
dengan kesabaran. Dukungan dari teman-teman juga keluarga besarnya pun
mengalir deras. Hingga Imas bersedia di kemoterapi.
Sekedar hiburan, Ia pun berselancar di dunia maya. Mengorek informasi sebanyak-banyaknya tentang kangker payudara.
Tiba-tiba matanya tertuju pada salah satu fiksi dengan judul “Hanya
Satu di Dadaku” karya Dimar Hanafiah. Awalnya, Ia kira isinya tentang
kesetiaan cinta, cukup hanya ada satu cinta di dada. Ternyata salah,
judulnya mampu mengecoh para pembaca.
Tokoh ibu Rita dalam
cerita tersebut sungguh menyadarkannya. Ibu Rita adalah pasien yang
terkena kanker payudara, bukan lagi yang kiri atau yang kanan, melainkan
dua-duanya dan sudah berhasil dioperasi. Bukan itu saja, ibu Rita juga
terkena tumor otak. Kepalanya harus dilepas dengan cara digergaji,
diambil tumornya lalu di pasang kembali. Dan untuk tetap kuat merekat
harus dibantu dengan jejeran besi atau staples di kepala.
Merinding, itu yang dirasakan Imas ketika membaca kisah Ibu Rita.
“Kamu jangan mau kalah dengan penyakit yang ada di diri kamu. Ini tubuh
kamu. Kamu yang memiliki, kamu juga yang menentukan maunya kamu
bagaimana. Tidak ada siapa pun dan apa pun kecuali Tuhan yang berhak
atas tubuh kamu sendiri. Kamu terus yakinkan diri kamu agar tubuh kamu
ini bisa menjadi sembuh dan hilang semua segala penyakit yang ada di
dalamnya. Perintahkan tubuh kamu dengan segala keyakinan yang kamu punya
dan dukungan dari orang-orang yang sayang sama kamu, agar bisa kembali
pulih sehat seperti semula.” (1)
“ Kamu jangan kekurangan
percaya diri setelah operasi. Kita di latih jadi sangat kuat dan hebat
untuk menghadapi ini. Perempuan kalau tidak di uji, segala kehebatan
besar yang ada di dirinya tidak akan keluar. Tapi kalau sudah di uji,
perempuan bisa lebih hebat dari pria dan semua makhluk hidup apa pun
yang ada di muka bumi ini. Itu pun kalau perempuan nya mau dan bisa
menghadapi yang sedang di alaminya.”(2)
Tertegun. Ia mendapat semangat juga masukan baru yang sangat berharga.
“Rabbi, inikah cara Engkau mengirimkan seorang dengan membawa pesan untukku?”
Ibu Rita adalah sosok bidadari meski hanya seorang tokoh dalam cerita fiksi.
Ia mampu memotivasi para penderita kanker payudara untuk menjelma menjadi bidadari.
***
Sebenarnya, pil kehidupan yang pahit itu adalah obat untuk memperbaiki
hidupnya yang jauh dari rasa syukur. Ya, betapa dulunya Ia tak begitu
mementingkan kesehatan. Pola makan yang tidak sehat. Gorengan adalah
makanan favoritnya, terlebih Ia gemar mengkonsumsi kentang goreng dan
fast food.
Dan kini, Ia bisa mengambil pelajaran dari cobaan yang
sempat membuatnya hampir terpuruk. Sebenarnya, dengan diberikannya
penyakit yang menakutkan, itu adalah proses untuk menjadikannya lebih
kuat.
Imas pun bertekad untuk sembuh. Ia ingin mengikuti jejak Ibu Rita, menjelma menjadi bidadari seperti yang ada di web www.bidadariku.com.
Catatan:
Mastektomi: Operasi pengangkatan payudara
Sadari: Periksa Payudara Sendiri
(1), (2): Dialog Ibu Rita dalam fiksi “ Hanya Satu di Dadaku” karya Dimar Hanafiah
cmiiw
BalasHapus