Jumat, 12 September 2014

CERMIN : TUANKU SAYANG, TUANKU MALANG



Tuanku Sayang, Tuanku Malang
Kuamati wajahmu dan beberapa wanita di sekelilingmu dalam remang-remang lampu disko. Kau terlihat bahagia, tertawa terbahak-bahak menikmati malam ini penuh kemenangan. Segelas dua gelas kau teguk minuman haram itu, hingga membuatmu hilang kesadaran.
Aku  muak melihatmu, dan jijik harus berdesak-desakan dengan sosok yang sangat asing. Tapi aku tak berdaya, hingga apa yang kau lakukan, aku pun mengikutinya.
“Malam ini kita bersenang-senang, Sayang.” Ucapmu pada wanita-wanita berbaju seksi dengan keadaan sedikit kurang waras.
“Tuan sudah gila!” Kata-kataku meluncur begitu saja.
***
 Tiga hariyang lalu, kau bentak Mila hanya karena Ia tak becus mengurus rumah tangga.
“Dasar istri tidak tahu diri. Pagi-pagi sudah keluyuran tanpa pamit pada suami!” bentakmu, sedangkan Ia tertunduk, mengalah demi bakti seorang istri dan  egomu semata.
“Maaf, Bang. Tadi Mila sudah bangunin Abang, tapi gak bangun-bangun. Sedangkan hari sudah beranjak siang.” Ia berlalu ke dapur sambil menenteng belanjaan.
Tuan sudah keterlaluan, tak lagi penyayang seperti dulu. Ingin rasanya memberontak, membela wanita yang sudah jadi bagian hidupmu semenjak enam bulan yang lalu.  Namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Sosokku tak begitu berguna, lemah, tak berdaya.
Rasa benci pun kian berkecamuk dalam hati, ketika kau membawaku ke tempat yang sepertinya baru pertama kita kunjungi.
Deg!
Cahaya yang remang-remang membuatku tak berdaya, hanyut dalam hiruk-pikuk makhluk-makhluk aneh.
Tuan, sejak kapan kau kenal dengan tempat seperti ini?
“Tuan memang benar-benar sudah gila!” cerocosku.
Aku benci. Tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mila kalau saja melihat perangai Tuanku yang mulai liar ini.
“ Tuhan, Engkau ciptakan sosokku dengan segala keterbatasan. Tak berguna, hanya jadi bayang-bayang semata. Jujur ini sangat melelahkan, karena aku tak bisa mencegah perbuatan Tuanku yang kini waktunya hanya untuk berfoya-foya.”
Seketika anganku melayang jauh, terdampar pada keindahan taman.
Embun masih menyelimuti pagi, kita jogging, lalu bercengkerema di taman. Duduk menikmati orang yang berlalu lalang menghirup udara segar, merilekskan tubuhnya, jogging, dan lain-lain.
Kau tersenyum saat seorang gadis menyapa. Beberapa hari kemudian kalian berkenalan dan memadu kasih. 
Cahaya neon di  beranda rumah pun jadi saksi antara Tuan dan Mila, juga diriku dan sosok yang mengikuti kekasihmu.
Tuan, apakah kau lupa. Kerlingan mata indahnya masih membekas, saat kau rayu di malam pertama? Apakah hanya karena kesalahan kecil, hingga Tuan menyakiti hatinya? Memisahkan aku dan sosok yang ku damba?

“Sadarlah Tuan, ada si cantik Mila yang menanti kedatangnmu di malam ini. Merajut cinta  dalam kesetiannya yang kau campakkan begitu saja. Sadar Tuan, sadar…,” bisikku, berharap nuranimu bangkit dari kegilaan.
“Tuan, siapakah orang yang merawatmu di kala sakit? Membuatkan sarapan, menyambutmu pulang kerkaja dengan kecupan terhangatnya?” Tak bosan-bosannya aku menguak kembali kenanganmu bersama Mila, kembang desa yang jadi rebutan para pemuda.
“Bukankah kau sangat beruntung memilikinya, Tuan?”
Ah, aku mulai menyerah. Bisikanku tak bereaksi apa-apa. Nyatanya, kau tetap asyik berjoget.
Gedubrak!
“Tuan!” pekikku karena tubuhmu roboh dan berhasil menindihku.
Pelan-pelan kau bangkit dengan sempoyongan, meninggalkan keramaian.

Jakarta, 13 September 2014
Diikut sertakan dalam event mingguan  #CerminDuniaDekik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar