Tuanku Sayang, Tuanku Malang
Kuamati wajahmu dan beberapa wanita di sekelilingmu
dalam remang-remang lampu disko. Kau terlihat bahagia, tertawa terbahak-bahak
menikmati malam ini penuh kemenangan. Segelas dua gelas kau teguk minuman haram
itu, hingga membuatmu hilang kesadaran.
Aku muak melihatmu,
dan jijik harus berdesak-desakan dengan sosok yang sangat asing. Tapi aku tak
berdaya, hingga apa yang kau lakukan, aku pun mengikutinya.
“Malam ini kita bersenang-senang, Sayang.” Ucapmu pada
wanita-wanita berbaju seksi dengan keadaan sedikit kurang waras.
“Tuan sudah gila!” Kata-kataku meluncur begitu saja.
***
Tiga hariyang
lalu, kau bentak Mila hanya karena Ia tak becus mengurus rumah tangga.
“Dasar istri tidak tahu diri. Pagi-pagi sudah keluyuran
tanpa pamit pada suami!” bentakmu, sedangkan Ia tertunduk, mengalah demi bakti
seorang istri dan egomu semata.
“Maaf, Bang. Tadi Mila sudah bangunin Abang, tapi
gak bangun-bangun. Sedangkan hari sudah beranjak siang.” Ia berlalu ke dapur sambil
menenteng belanjaan.
Tuan sudah keterlaluan, tak lagi penyayang seperti
dulu. Ingin rasanya memberontak, membela wanita yang sudah jadi bagian hidupmu
semenjak enam bulan yang lalu. Namun aku
tak bisa berbuat apa-apa. Sosokku tak begitu berguna, lemah, tak berdaya.
Rasa benci pun kian berkecamuk dalam hati, ketika
kau membawaku ke tempat yang sepertinya baru pertama kita kunjungi.
Deg!
Cahaya yang remang-remang membuatku tak berdaya,
hanyut dalam hiruk-pikuk makhluk-makhluk aneh.
Tuan, sejak kapan kau kenal dengan tempat seperti
ini?
“Tuan memang benar-benar sudah gila!” cerocosku.
Aku benci. Tak bisa membayangkan bagaimana perasaan
Mila kalau saja melihat perangai Tuanku yang mulai liar ini.
“ Tuhan, Engkau ciptakan sosokku dengan segala
keterbatasan. Tak berguna, hanya jadi bayang-bayang semata. Jujur ini sangat
melelahkan, karena aku tak bisa mencegah perbuatan Tuanku yang kini waktunya
hanya untuk berfoya-foya.”
Seketika anganku melayang jauh, terdampar pada
keindahan taman.
Embun masih menyelimuti pagi, kita jogging, lalu bercengkerema
di taman. Duduk menikmati orang yang berlalu lalang menghirup udara segar,
merilekskan tubuhnya, jogging, dan lain-lain.
Kau tersenyum saat seorang gadis menyapa. Beberapa
hari kemudian kalian berkenalan dan memadu kasih.
Cahaya neon di
beranda rumah pun jadi saksi antara Tuan dan Mila, juga diriku dan sosok
yang mengikuti kekasihmu.
Tuan, apakah kau lupa. Kerlingan mata indahnya masih
membekas, saat kau rayu di malam pertama? Apakah hanya karena kesalahan kecil,
hingga Tuan menyakiti hatinya? Memisahkan aku dan sosok yang ku damba?
“Sadarlah Tuan, ada si cantik Mila yang menanti
kedatangnmu di malam ini. Merajut cinta dalam kesetiannya yang kau campakkan begitu
saja. Sadar Tuan, sadar…,” bisikku, berharap nuranimu bangkit dari kegilaan.
“Tuan, siapakah orang yang merawatmu di kala sakit? Membuatkan
sarapan, menyambutmu pulang kerkaja dengan kecupan terhangatnya?” Tak
bosan-bosannya aku menguak kembali kenanganmu bersama Mila, kembang desa yang
jadi rebutan para pemuda.
“Bukankah kau sangat beruntung memilikinya, Tuan?”
Ah, aku mulai menyerah. Bisikanku tak bereaksi
apa-apa. Nyatanya, kau tetap asyik berjoget.
Gedubrak!
“Tuan!” pekikku karena tubuhmu roboh dan berhasil
menindihku.
Pelan-pelan kau bangkit dengan sempoyongan,
meninggalkan keramaian.
Jakarta, 13 September 2014
Diikut sertakan dalam event mingguan #CerminDuniaDekik
Jakarta, 13 September 2014
Diikut sertakan dalam event mingguan #CerminDuniaDekik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar