Curahan Hati Ayah
Oleh: Sitie CB
Kurasakan
hembusan napas berat dari balik telepon.
“Ayah
kenapa?” tanyaku pelan. Entah ia mendengar pertanyaanku atau tidak. Aku sendiri
merasa tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mungkin suaraku tertahan di pangkal
tenggorokan.
“Ayah
sudah nggak tahan menghadapi si bungsu, Nduk,” kalimatnya terkesan dipaksakan.
Nada suaranya pun berat, terkadang tersendat.
“Apa
yang sebenarnya terjadi, Yah?” tanyaku, kali ini aku benar-benar mengatakannya.
Lama
tak ada jawaban. Diamnya membuat otakku bekerja keras untuk menebak apa yang telah
terjadi di sana. Apa yang kau lakukan terhadap Ayah, Dek? Kesalahan apa yang
kau perbuat? Kenapa kau melakukannya? Bagaimana mungkin kau bisa melukai hati
Ayah? Bukankah kau tahu, Ayah lah yang selama ini menghidupi kita? Dan, dan
baru kali ini kujumpai Ayah sesedih ini. Aku tertunduk lesu. Percuma jika kulontarkan
berpuluh-puluh pertanyaan pada si bungsu, karena pasti hanya diam yang
kudapatkan. Atau jawaban yang berbelit-belit.
Seandainya
dekat dengan si bungsu, mungkin ia sudah kutonjok. Berani-beraninya membuat Ayah
sedih. Emosiku meluap seketika. Tapi kucoba mengelus dada. Menyadari diri bahwa
aku lah si kakak, panutan untuk adik-adik. Tidak sepantasnya meluapkan amarah
sedemikian rupa, apalagi sampai bermain fisik. Karena aku tahu, pasti di balik
semua yang si bungsu lakukan ada alasannya tersendiri.
“Ayah yang sabar, ya,” lirihku, “nanti Putri
nasihati si bungsu,” lanjutku.
Kali ini kurasakan hembusan napas kelegaan
dari balik telepon, aku bahagia. Dan tanpa kusadari bulir-bulir bening
bercucuran membasahi pipi.
“Kamu
kenapa, Nduk?”
Aku terhenyak, kaget dengan pertanyaan
Ayah, apakah ia tahu bahwa aku sedang menangis?
“Hmm
… A-aku hanya terharu, Yah,” jawabku sekenanya.
“Syukurlah.
Ayah kira kamu menangis karena sedang ada masalah.”
Meski
beratus-ratus kilometer jarak yang memisahkan kami. Dan hanya bisa berbincang
melalui telepon seluler, tapi aku bisa merasakan apa yang Ayah rasakan. Raut
wajahnya, ya … pasti sekarang Ayah sedang bersedih. Lalu menenangkan diri duduk
di dipan tempat favoritnya, sembari menikmati lintingan tembakau juga secangkir
kopi hitam. Ah, Ayah. Bukankah dulu sudah pernah kunasihati perihal bahaya merokok?
Tapi dengan santainya ia menjawab, “Kanker iku kan kantong kering tho, Nduk?”
kelakarnya.
Kami pun tertawa.
***
Setiap
kali rindu menyeruak ke permukaan, kurasakan semerbak tubuhnya memainkan indera
penciumku. Karena bagiku, aroma tubuh Ayah begitu khas. Bau tembakau yang bercampur
peluh. Pun dengan kulitnya yang kini semakin gelap karena terpanggang terik
matahari.
Pekerjaan
Ayah yang hanya seorang petani diharuskan berjemur matahari di setiap harinya. Apalagi jika musim kemarau tiba, panasnya menghalangi
aktifitas. Tapi Ayah tak pernah mengeluh. Karena baginya, mencari nafkah adalah
kewajiban utama.
“Ayah sekarang sudah gak kuat lagi kalau membawa
beban 40 kg.
Jika dipaksakan, kakinya jadi mati rasa,” curhatnya kala kutelepon.
Jika dipaksakan, kakinya jadi mati rasa,” curhatnya kala kutelepon.
“Ya sudah, bawanya sedikit-sedikit
aja, Yah. Daripada tambah sakit,” jawabku. Sungguh, pernyataan Ayah barusan
menghasilkan sesuatu yang menggenang di pelupuk mata.
“Namanya merumput, kalau pas lagi
dapat banyak pasti ya berat. Tapi kalau bawanya dipanggul masih kuat, daripada
kalau dipikul,” jelasnya.
Aku terdiam. Mendengarkan dengan
seksama. Aku hanya bisa membayangkan betapa selama ini Ayah sangat lelah.
Menjadi petani yang penghasilannya tidak menentu. Maklum, di kampung meski
pekerjaannya sebagian besar petani, tapi tidak benar-benar jadi petani
seutuhnya. Karena musimnya tak menentu. Penghasilanya pun tak seberapa. Bersyukur,
Ayah punya keahlian menjadi tukang kayu, juga tukang bangunan. Jadi dapat
penghasilan tambahan.
***
“Ayah
gak usah repot-repot telepon, biar Putri saja,” kataku. Sedikit heran, tak
seperti biasanya Ayah menelepon terlebih dulu.
“Gak
usah. Ayah ingin sekali-kali telepon kamu. Biar sekalian belajar,” jawabnya dan
pastinya diiringi senyum sumringah.
Aku masih ingat. Satu tahun yang lalu
tepatnya, aku membelikan Ayah Handphone. Meski awalnya menolak, tapi kuyakinkan
bahwa alat komunikasi itu sangat penting, apalagi jarak yang memisahkan kami.
Tak mungkin juga mengirim surat, karena prosesnya lama.
“Tapi
Ayah gak bisa cara pakainya, Nduk.”
“Nanti
Putri ajarin. Yang penting Ayah mau menerimanya.” Aku membuka bingkisan itu.
Kulihat Ayah berdecak kagum. Bibirnya menyunggingkan senyum. Lalu memanggil Ibu
yang sedang memasak di dapur.
“Bu,
Ibu, ke sini sebentar! Iki lho, Putri ngasih ini.” Ia menunjukkan Handphone itu
pada wanita yang telah menemaninya kurang lebih tiga puluh tahun.
Ah,
kalau ingat itu, rasanya bahagia sekali. Senyum Ayah menggambarkan betapa
bahagianya saat itu. Sebagai anak, yang terpenting adalah bisa membuat orang
tua tersenyum. Sebuah penghormatan yang tak bisa tergantikan dengan apapun.
“Nduk,
Ayah mau ngomong.” Kalimat Ayah menyadarkan lamunanku.
“Iya,
Ayah mau ngomong apa?” tanyaku penasaran.
Diam sejenak.
“Pandu,
Nduk− −” kata-katanya terhenti.
Pasti si bungsu buat ulah lagi! Batinku.
“Tadi
Ayah di telepon pihak sekolah. Mereka mempertanyakan kenapa beberapa hari ini
Pandu tidak masuk sekolah,”lanjutnya dengan nada geram. Namun aku bisa
merasakan, Ayah mengucapkannya dengan mata terbata-bata.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Rasanya
ingin mengatakan sesuatu, menguatkan Ayah misalnya. Tapi lagi-lagi aku
kehabisan kata-kata. Hanya kebisuan yang menyelimuti kami. Sampai Ayah membuka
percakapan kembali dengan kalimat wassalam.
Sebenarnya mau kamu apa sih, Ndu?
Batinku berkecamuk.
***
Dongkol. Gemas. Dan bebagai perasaan
berkecamuk di dada. Aku benar-benar sudah tak tahan dengan tingkah laku si
bungsu. Bahkan Ayah sudah angkat tangan
dan tak mempedulikannya lagi. Masa bodoh. Terserah maunya apa. Itu terjadi
semenjak si bungsu benar-benar mengabaikan sekolah. Ia dikeluarkan oleh pihak
sekolah gara-gara tidak ikut ujian kenaikan kelas.
Hanya doa yang bisa kulakukan
setelah berbagai nasihat tak ada yang mempan. Karena hati yang keras suatu saat
pasti akan mencair berkat doa yang tiada putusnya.
“Anak tidak tahu diuntung! Sudah disekolahkan,
bukannya belajar sungguh-sungguh malah buat mainan! Uang bulanannya malah disalah gunakan!” seru Ayah.
Aku memaklumi kemarahannya. Karena Ayah pernah bilang, untuk membiayai si
bungsu sekolah, ia rela berhutang dan menjual hewan ternaknya.
Dan kini Ayah
membiarkan si bungsu memilih jalan hidupnya sendiri. Karena jika dipaksa pun,
belum tentu bahagia. Malah bisa jadi tersiksa.
Maafkan aku, Yah. Karena belum bisa
menjadi kakak yang baik. Sesalku tiada guna.
***
Lembayung senja menyelimuti Ibu
kota. Meganya membentang luas, indah. Tapi, aku tak begitu menghiraukan. Bahkan
terkesan tak acuh. Entahlah, rasanya tak ingin menikmati kebesaran-Nya di sore
ini. Untuk sekedar melongoknya dari balik jendela pun, enggan. Aku lebih
memilih menyendiri di sudut kamar.
Memainkan telepon seluler. Dan berniat untuk menghubungi si bungsu.
Baru saja akan memencet kontak
bernama Pandu. Tiba-tiba layar telepon muncul nama yang tak asing bagiku.
“Ayah!” seruku. Ada kabar apa lagi tentang si bungsu? Mungkinkah
polahnya semakin menjadi? Semoga saja tebakanku salah.
Dengan cepat kuangkat telepon itu.
Baru saja ingin mengucapkan salam, tapi sudah keduluan Ayah.
“Wa’alaikumsalam. Bagaimana kabar hari
ini, Yah?” tanyaku hati-hati.
“Alhamdulillah sehat, Nduk.”
“Bagaimana dengan si bungsu?”
tanyaku lagi. Rasanya tak sabar ingin mendengar perkembangan adik laki-laki
satu-satunya.
“Ia baik-baik saja, Nduk,” jawabnya.
Kali ini Ayah terlihat lebih ceria, menjawab pertanyaanku pun seolah tanpa
beban. Tidak seperti biasanya yang setiap kali kutelepon nadanya selalu berat .
Mungkinkah itu bertanda si bungsu mulai berubah?
Kurasakan kelegaan. Apalagi ketika
Ayah menjelaskan bahwa si bungsu memilih pergi dari rumah untuk bekerja. Awalnya
Ayah tak setuju, apalagi Ibu. Tapi, Pandu meyakinkan bahwa ia tak mau dianggap
anak kecil. Ia ingin mandiri dan bisa membahagiakan orang tua. Seperti halnya
diriku. Mungkinkah trik Ayah membiarkan Pandu memilih masa depannya sendiri adalah pilihan terbaik? ya, mungkin
Ayah ingin anak laki-lakinya bisa mandiri.
“Sekali-kali main ke tempat kerja
Pandu ya, Nduk. Katanya ia kangen.”
Ah, Pandu. Kakak
juga kangen. Kangen sekali. Ingin rasanya cepat berjumpa denganmu. Mencubit,
bahkan memelukmu. Jarak enam tahun usia kita membuatku terkenang masa kecil. Kau selalu saja membuatku
jengkel. Dan kini, kau tumbuh menjadi anak yang menjengkelkan pula. Batinku
penuh haru.
“Iya, Yah. Pasti.”
***
Sungguh, sebuah kebahagiaan
tersendiri jika seorang Ayah mau mencurahkan hati pada anaknya. Termasuk Ayah. Jika
boleh kuungkapkan betapa bahagianya kala Ayah membutuhkan waktuku, untuk
sekedar mendengarkan curahan hatinya. Mungkin berlembar-lembar kertas tak akan
cukup.
Aku hanya ingin bilang, memang
Ayah tak mengandungku, melahirkan, menyusui, dan juga menjagaku setiap saat.
Tapi, dari keringatnya lah
setiap suapan yang menjadi air susuku. Hingga aku tumbuh. Kasih sayangnya pun
tak perlu diragukan, bahkan sama seperti kasih sayang seorang Ibu.
Ayah.
Kaulah pahlawan dalam hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar