Minggu, 30 Agustus 2015

Cerpen: Curahan Hati Ayah



Curahan Hati Ayah
Oleh: Sitie CB

            Kurasakan hembusan napas berat dari balik telepon.

            “Ayah kenapa?” tanyaku pelan. Entah ia mendengar pertanyaanku atau tidak. Aku sendiri merasa tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mungkin suaraku tertahan di pangkal tenggorokan.

            “Ayah sudah nggak tahan menghadapi si bungsu, Nduk,” kalimatnya terkesan dipaksakan. Nada suaranya pun berat, terkadang tersendat.

            “Apa yang sebenarnya terjadi, Yah?” tanyaku, kali ini aku benar-benar mengatakannya.

            Lama tak ada jawaban. Diamnya membuat otakku bekerja keras untuk menebak apa yang telah terjadi di sana. Apa yang kau lakukan terhadap Ayah, Dek? Kesalahan apa yang kau perbuat? Kenapa kau melakukannya? Bagaimana mungkin kau bisa melukai hati Ayah? Bukankah kau tahu, Ayah lah yang selama ini menghidupi kita? Dan, dan baru kali ini kujumpai Ayah sesedih ini. Aku tertunduk lesu. Percuma jika kulontarkan berpuluh-puluh pertanyaan pada si bungsu, karena pasti hanya diam yang kudapatkan. Atau jawaban yang berbelit-belit.

            Seandainya dekat dengan si bungsu, mungkin ia sudah kutonjok. Berani-beraninya membuat Ayah sedih. Emosiku meluap seketika. Tapi kucoba mengelus dada. Menyadari diri bahwa aku lah si kakak, panutan untuk adik-adik. Tidak sepantasnya meluapkan amarah sedemikian rupa, apalagi sampai bermain fisik. Karena aku tahu, pasti di balik semua yang si bungsu lakukan ada alasannya tersendiri.

             “Ayah yang sabar, ya,” lirihku, “nanti Putri nasihati si bungsu,” lanjutku.

Kali ini kurasakan hembusan napas kelegaan dari balik telepon, aku bahagia. Dan tanpa kusadari bulir-bulir bening bercucuran membasahi pipi.

            “Kamu kenapa, Nduk?”

Aku terhenyak, kaget dengan pertanyaan Ayah, apakah ia tahu bahwa aku sedang menangis?
            “Hmm … A-aku hanya terharu, Yah,” jawabku sekenanya.

            “Syukurlah. Ayah kira kamu menangis karena sedang ada masalah.”

            Meski beratus-ratus kilometer jarak yang memisahkan kami. Dan hanya bisa berbincang melalui telepon seluler, tapi aku bisa merasakan apa yang Ayah rasakan. Raut wajahnya, ya … pasti sekarang Ayah sedang bersedih. Lalu menenangkan diri duduk di dipan tempat favoritnya, sembari menikmati lintingan tembakau juga secangkir kopi hitam. Ah, Ayah. Bukankah dulu sudah pernah kunasihati perihal bahaya merokok? Tapi dengan santainya ia menjawab, “Kanker iku kan kantong kering tho, Nduk?” kelakarnya.
Kami pun tertawa. 

***
            Setiap kali rindu menyeruak ke permukaan, kurasakan semerbak tubuhnya memainkan indera penciumku. Karena bagiku, aroma tubuh Ayah begitu khas. Bau tembakau yang bercampur peluh. Pun dengan kulitnya yang kini semakin gelap karena terpanggang terik matahari.

            Pekerjaan Ayah yang hanya seorang petani diharuskan berjemur matahari di setiap harinya.  Apalagi jika musim kemarau tiba, panasnya menghalangi aktifitas. Tapi Ayah tak pernah mengeluh. Karena baginya, mencari nafkah adalah kewajiban utama.

            “Ayah  sekarang sudah gak kuat lagi kalau membawa beban 40 kg.
Jika dipaksakan, kakinya jadi mati rasa,” curhatnya kala kutelepon.

            “Ya sudah, bawanya sedikit-sedikit aja, Yah. Daripada tambah sakit,” jawabku. Sungguh, pernyataan Ayah barusan menghasilkan sesuatu yang menggenang di pelupuk mata.

            “Namanya merumput, kalau pas lagi dapat banyak pasti ya berat. Tapi kalau bawanya dipanggul masih kuat, daripada kalau dipikul,” jelasnya. 

            Aku terdiam. Mendengarkan dengan seksama. Aku hanya bisa membayangkan betapa selama ini Ayah sangat lelah. Menjadi petani yang penghasilannya tidak menentu. Maklum, di kampung meski pekerjaannya sebagian besar petani, tapi tidak benar-benar jadi petani seutuhnya. Karena musimnya tak menentu. Penghasilanya pun tak seberapa. Bersyukur, Ayah punya keahlian menjadi tukang kayu, juga tukang bangunan. Jadi dapat penghasilan tambahan.

***
            “Ayah gak usah repot-repot telepon, biar Putri saja,” kataku. Sedikit heran, tak seperti biasanya Ayah menelepon terlebih dulu.

            “Gak usah. Ayah ingin sekali-kali telepon kamu. Biar sekalian belajar,” jawabnya dan pastinya diiringi senyum sumringah.

Aku masih ingat. Satu tahun yang lalu tepatnya, aku membelikan Ayah Handphone. Meski awalnya menolak, tapi kuyakinkan bahwa alat komunikasi itu sangat penting, apalagi jarak yang memisahkan kami. Tak mungkin juga mengirim surat, karena prosesnya lama.

            “Tapi Ayah gak bisa cara pakainya, Nduk.”

            “Nanti Putri ajarin. Yang penting Ayah mau menerimanya.” Aku membuka bingkisan itu. Kulihat Ayah berdecak kagum. Bibirnya menyunggingkan senyum. Lalu memanggil Ibu yang sedang memasak di dapur.

            “Bu, Ibu, ke sini sebentar! Iki lho, Putri ngasih ini.” Ia menunjukkan Handphone itu pada wanita yang telah menemaninya kurang lebih tiga puluh tahun.

            Ah, kalau ingat itu, rasanya bahagia sekali. Senyum Ayah menggambarkan betapa bahagianya saat itu. Sebagai anak, yang terpenting adalah bisa membuat orang tua tersenyum. Sebuah penghormatan yang tak bisa tergantikan dengan apapun.

            “Nduk, Ayah mau ngomong.” Kalimat Ayah menyadarkan lamunanku.

            “Iya, Ayah mau ngomong apa?” tanyaku penasaran.
Diam sejenak. 

            “Pandu, Nduk− −” kata-katanya terhenti.
Pasti si bungsu buat ulah lagi! Batinku.

            “Tadi Ayah di telepon pihak sekolah. Mereka mempertanyakan kenapa beberapa hari ini Pandu tidak masuk sekolah,”lanjutnya dengan nada geram. Namun aku bisa merasakan, Ayah mengucapkannya dengan mata terbata-bata.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Rasanya ingin mengatakan sesuatu, menguatkan Ayah misalnya. Tapi lagi-lagi aku kehabisan kata-kata. Hanya kebisuan yang menyelimuti kami. Sampai Ayah membuka percakapan kembali dengan kalimat wassalam.
Sebenarnya mau kamu apa sih, Ndu? Batinku berkecamuk.

***
            Dongkol. Gemas. Dan bebagai perasaan berkecamuk di dada. Aku benar-benar sudah tak tahan dengan tingkah laku si bungsu. Bahkan Ayah  sudah angkat tangan dan tak mempedulikannya lagi. Masa bodoh. Terserah maunya apa. Itu terjadi semenjak si bungsu benar-benar mengabaikan sekolah. Ia dikeluarkan oleh pihak sekolah gara-gara tidak ikut ujian kenaikan kelas.

            Hanya doa yang bisa kulakukan setelah berbagai nasihat tak ada yang mempan. Karena hati yang keras suatu saat pasti akan mencair berkat doa yang tiada putusnya.

            “Anak tidak tahu diuntung! Sudah disekolahkan, bukannya belajar sungguh-sungguh malah buat mainan! Uang  bulanannya malah disalah gunakan!” seru Ayah. Aku memaklumi kemarahannya. Karena Ayah pernah bilang, untuk membiayai si bungsu sekolah, ia rela berhutang dan menjual hewan ternaknya.
Dan kini Ayah membiarkan si bungsu memilih jalan hidupnya sendiri. Karena jika dipaksa pun, belum tentu bahagia. Malah bisa jadi tersiksa.

            Maafkan aku, Yah. Karena belum bisa menjadi kakak yang baik. Sesalku tiada guna. 

***
            Lembayung senja menyelimuti Ibu kota. Meganya membentang luas, indah. Tapi, aku tak begitu menghiraukan. Bahkan terkesan tak acuh. Entahlah, rasanya tak ingin menikmati kebesaran-Nya di sore ini. Untuk sekedar melongoknya dari balik jendela pun, enggan. Aku lebih memilih  menyendiri di sudut kamar. Memainkan telepon seluler. Dan berniat untuk menghubungi si bungsu.

            Baru saja akan memencet kontak bernama Pandu. Tiba-tiba layar telepon muncul nama yang tak asing bagiku.

            “Ayah!” seruku. Ada  kabar apa lagi tentang si bungsu? Mungkinkah polahnya semakin menjadi? Semoga saja tebakanku salah.

            Dengan cepat kuangkat telepon itu. Baru saja ingin mengucapkan salam, tapi sudah keduluan Ayah.

            “Wa’alaikumsalam. Bagaimana kabar hari ini, Yah?” tanyaku hati-hati.

            “Alhamdulillah sehat, Nduk.” 

            “Bagaimana dengan si bungsu?” tanyaku lagi. Rasanya tak sabar ingin mendengar perkembangan adik laki-laki satu-satunya. 

            “Ia baik-baik saja, Nduk,” jawabnya. Kali ini Ayah terlihat lebih ceria, menjawab pertanyaanku pun seolah tanpa beban. Tidak seperti biasanya yang setiap kali kutelepon nadanya selalu berat . Mungkinkah itu bertanda si bungsu mulai berubah?

            Kurasakan kelegaan. Apalagi ketika Ayah menjelaskan bahwa si bungsu memilih pergi dari rumah untuk bekerja. Awalnya Ayah tak setuju, apalagi Ibu. Tapi, Pandu meyakinkan bahwa ia tak mau dianggap anak kecil. Ia ingin mandiri dan bisa membahagiakan orang tua. Seperti halnya diriku. Mungkinkah trik Ayah membiarkan Pandu memilih masa depannya  sendiri adalah pilihan terbaik? ya, mungkin Ayah ingin anak laki-lakinya bisa mandiri.

            “Sekali-kali main ke tempat kerja Pandu ya, Nduk. Katanya ia kangen.”
Ah, Pandu. Kakak juga kangen. Kangen sekali. Ingin rasanya cepat berjumpa denganmu. Mencubit, bahkan memelukmu. Jarak enam tahun usia kita membuatku terkenang  masa kecil. Kau selalu saja membuatku jengkel. Dan kini, kau tumbuh menjadi anak yang menjengkelkan pula. Batinku penuh haru.
            “Iya, Yah. Pasti.” 
***
            Sungguh, sebuah kebahagiaan tersendiri jika seorang Ayah mau mencurahkan hati pada anaknya. Termasuk Ayah. Jika boleh kuungkapkan betapa bahagianya kala Ayah membutuhkan waktuku, untuk sekedar mendengarkan curahan hatinya. Mungkin berlembar-lembar kertas tak akan cukup. 

            Aku hanya ingin bilang, memang Ayah tak mengandungku, melahirkan, menyusui, dan juga menjagaku setiap saat. Tapi, dari keringatnya lah setiap suapan yang menjadi air susuku. Hingga aku tumbuh. Kasih sayangnya pun tak perlu diragukan, bahkan sama seperti kasih sayang seorang Ibu.

            Ayah. Kaulah pahlawan dalam hidupku.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar