Kesabaran Seorang Ibu
Oleh: Sitie CB
Sahabat, saya ingin
bercerita tentang seorang ibu yang memiliki tujuh anak. Ia ingin sekali
memperbaiki rumah yang kini keadaannya kian rapuh, tapi belum juga
terealisasi hingga sekarang. Namun demikian, ia selalu bersabar.
Suatu hari di bulan Syawal.
Seorang ibu sedang mengobrol bersama kedua anak perempuannya di dalam kamar yang masih berdindingkan kayu.
Sebut saja anak perempuan itu A dan B, yang A (kakak) sudah merantau
sedangkan si B (Adik) masih berstatus santri di sebuah pondok pesantren.
Awalnya mereka membicarakan hal-hal biasa, hingga sang ibu bercerita
tentang keadaan rumah yang semakin lama semakin menua/rapuh.
Tiba-tiba matanya berkaca-kaca kala bercerita tentang orang-orang yang terlalu ikut campur dalam masalah rumah tersebut.
“Punya anak banyak kok belum bisa bikin rumah gedongan.” Begitu kira-kira yang orang lain katakan.
“Jujur, hati ibu sakit mendengar semua itu, Nak. Tidak mudah untuk
mengganjal apalagi menahan rasa itu,” curhatnya sembari menempelkan
tangan di dada, “kenapa mereka terlalu ikut campur? Padahal kita tidak
pernah mempermasalahkannya, yang penting nyaman dan masih bisa
ditinggali,” lanjutnya dengan linangan air mata.
Mengetahui sang
ibu menangis, kedua anak perempuannya pun ikut menangis. Hati mereka
terluka, dan tidak tega ketika ibu harus menahan rasa itu sendirian.
Kamar berukuran 2x3 meter yang awalnya senyap kini berubah ramai oleh
suara tangis. Haru biru menyelimuti kediaman mereka. Dinding kayu yang
kian rapuh itu menjadi saksi gendu-gendu rasa yang sedang tuan rumah
bagikan kepada anak perempuannya.
“Meskipun belum bisa seperti mereka, kita harus sabar. Pokoknya harus sabar. Karena rezeki setiap orang itu berbeda-beda, Nak.”
Sang ibu mencoba menguatkan hati. Ia tahu, dibanding tetangga lain.
Hanya ia lah yang memiliki anak banyak, dan sudah besar-besar namun
rumahnya belum juga di bangun. Sedangkan yang hanya memiliki anak satu
atau dua, sudah bisa membangun rumah.
Si A menganggukkan kepala sembari menghapus air mata.
“Maafkan aku, Bu. Bisanya cuma membantu segini.” Si A, perempuan yang
kini berusia dua puluh empat itu menyodorkan amplop yang berisi uang
gajinya.
“Ibu gak berharap banyak dari kalian, Nak. Ibu sabar,
nggak ngoyo. Apalagi keempat kakakmu sudah menikah semua. Tinggal kalian
bertiga,” jawab perempuan yang usianya berkisar lima puluh tahunan. Ia
hanya bisa mengandalkan anak perempaunnya, si A dan si bungsu. Karena
tinggal mereka berdualah yang kini masih merantau.
Ya, keempat
anak laki-lakinya memang sudah berumah tangga semua. Jadi sang ibu tidak
bisa berharap banyak dari mereka. Sedangkan ia dan sang suami yang
pekerjaannya hanya petani biasa tidak mungkin bisa mengumpulkan uang
untuk membangun rumah gedongan. Penghasilannya hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Maafkan aku, Bu. Aku bisanya
hanya menyusahkan Ibu dan Bapak,” kata si B sembari menangis, “masih
suka meminta-minta uang sama Bapak,” lanjutnya diiringi tangis yang
kian menjadi.
Ternyata si B merasa bahwa selama ini ia bisanya
hanya minta-minta. Sebagai santri, banyak kebutuhan yang harus ia
penuhi, misalnya: membeli kitab, kebutuhan sehari-hari, membeli baju,
membayar bulanan, belum lagi jika dari pondok mengadakan ziarah kubur.
Dan itu memerlukan uang yang tidak sedikit.
Lalu sang kakak mencoba menenangkannya. Alhasil, bukannya berhenti tangisnya malah semakin menjadi.
“Ibu nggak minta apa-apa darimu, Nak. Kamu belajar saja yang tekun,” jawab sang ibu mencoba menenangkan anaknya.
“Ibu, meskipun belum bisa membantu dengan uang, tapi aku selalu
mendoakan semoga kita diberi rezeki supaya bisa membangun rumah ini,”
sahut si B yang kini berusia dua puluh satu tahun.
Setelah
keadaanya mulai tenang, sang ibu keluar dari kamar. Ia meninggalkan
kedua anaknya yang masih menangis, terutama si B. Mungkin sang ibu tidak
tega melihat anak perempuannya menangis. Atau bisa jadi sang ibu ingin
menumpahkan air matanya dalam kesendirian, seperti hari-hari yang lalu
ketika semua anaknya tidak ada di rumah.
***
Nb: Tapi sobat,
meskipun sudah berumah tangga, ternyata keempat anaknya tidak melupakan
kewajibannya. Mereka bermusyawarah, memikirkan keadaan rumah.
Bergotong-royong mengumpulkan dana supaya keinginan orang tuanya cepat
terealisasi.
Kita doakan, semoga sang anak tetap bersatu untuk mewujudkan keinginan kedua orang tuanya. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar