Minggu, 30 Agustus 2015

Kesabaran Seorang Ibu

Kesabaran Seorang Ibu
Oleh: Sitie CB

Sahabat, saya ingin bercerita tentang seorang ibu yang memiliki tujuh anak. Ia ingin sekali memperbaiki rumah yang kini keadaannya kian rapuh, tapi belum juga terealisasi hingga sekarang. Namun demikian, ia selalu bersabar.

Suatu hari di bulan Syawal.

Seorang ibu sedang mengobrol bersama kedua anak perempuannya di dalam kamar yang masih berdindingkan kayu.
Sebut saja anak perempuan itu A dan B, yang A (kakak) sudah merantau sedangkan si B (Adik) masih berstatus santri di sebuah pondok pesantren.

Awalnya mereka membicarakan hal-hal biasa, hingga sang ibu bercerita tentang keadaan rumah yang semakin lama semakin menua/rapuh.
Tiba-tiba matanya berkaca-kaca kala bercerita tentang orang-orang yang terlalu ikut campur dalam masalah rumah tersebut.

“Punya anak banyak kok belum bisa bikin rumah gedongan.” Begitu kira-kira yang orang lain katakan.

“Jujur, hati ibu sakit mendengar semua itu, Nak. Tidak mudah untuk mengganjal apalagi menahan rasa itu,” curhatnya sembari menempelkan tangan di dada, “kenapa mereka terlalu ikut campur? Padahal kita tidak pernah mempermasalahkannya, yang penting nyaman dan masih bisa ditinggali,” lanjutnya dengan linangan air mata.

Mengetahui sang ibu menangis, kedua anak perempuannya pun ikut menangis. Hati mereka terluka, dan tidak tega ketika ibu harus menahan rasa itu sendirian.

Kamar berukuran 2x3 meter yang awalnya senyap kini berubah ramai oleh suara tangis. Haru biru menyelimuti kediaman mereka. Dinding kayu yang kian rapuh itu menjadi saksi gendu-gendu rasa yang sedang tuan rumah bagikan kepada anak perempuannya.

“Meskipun belum bisa seperti mereka, kita harus sabar. Pokoknya harus sabar. Karena rezeki setiap orang itu berbeda-beda, Nak.”
Sang ibu mencoba menguatkan hati. Ia tahu, dibanding tetangga lain. Hanya ia lah yang memiliki anak banyak, dan sudah besar-besar namun rumahnya belum juga di bangun. Sedangkan yang hanya memiliki anak satu atau dua, sudah bisa membangun rumah.

Si A menganggukkan kepala sembari menghapus air mata.
“Maafkan aku, Bu. Bisanya cuma membantu segini.” Si A, perempuan yang kini berusia dua puluh empat itu menyodorkan amplop yang berisi uang gajinya.

“Ibu gak berharap banyak dari kalian, Nak. Ibu sabar, nggak ngoyo. Apalagi keempat kakakmu sudah menikah semua. Tinggal kalian bertiga,” jawab perempuan yang usianya berkisar lima puluh tahunan. Ia hanya bisa mengandalkan anak perempaunnya, si A dan si bungsu. Karena tinggal mereka berdualah yang kini masih merantau.

Ya, keempat anak laki-lakinya memang sudah berumah tangga semua. Jadi sang ibu tidak bisa berharap banyak dari mereka. Sedangkan ia dan sang suami yang pekerjaannya hanya petani biasa tidak mungkin bisa mengumpulkan uang untuk membangun rumah gedongan. Penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Maafkan aku, Bu. Aku bisanya hanya menyusahkan Ibu dan Bapak,” kata si B sembari menangis, “masih suka meminta-minta uang sama Bapak,” lanjutnya diiringi tangis yang kian menjadi.

Ternyata si B merasa bahwa selama ini ia bisanya hanya minta-minta. Sebagai santri, banyak kebutuhan yang harus ia penuhi, misalnya: membeli kitab, kebutuhan sehari-hari, membeli baju, membayar bulanan, belum lagi jika dari pondok mengadakan ziarah kubur. Dan itu memerlukan uang yang tidak sedikit.

Lalu sang kakak mencoba menenangkannya. Alhasil, bukannya berhenti tangisnya malah semakin menjadi.

“Ibu nggak minta apa-apa darimu, Nak. Kamu belajar saja yang tekun,” jawab sang ibu mencoba menenangkan anaknya.

“Ibu, meskipun belum bisa membantu dengan uang, tapi aku selalu mendoakan semoga kita diberi rezeki supaya bisa membangun rumah ini,” sahut si B yang kini berusia dua puluh satu tahun.

Setelah keadaanya mulai tenang, sang ibu keluar dari kamar. Ia meninggalkan kedua anaknya yang masih menangis, terutama si B. Mungkin sang ibu tidak tega melihat anak perempuannya menangis. Atau bisa jadi sang ibu ingin menumpahkan air matanya dalam kesendirian, seperti hari-hari yang lalu ketika semua anaknya tidak ada di rumah.

***
Nb: Tapi sobat, meskipun sudah berumah tangga, ternyata keempat anaknya tidak melupakan kewajibannya. Mereka bermusyawarah, memikirkan keadaan rumah. Bergotong-royong mengumpulkan dana supaya keinginan orang tuanya cepat terealisasi.
Kita doakan, semoga sang anak tetap bersatu untuk mewujudkan keinginan kedua orang tuanya. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar