Minggu, 30 Agustus 2015

Cerpen: WULAN



WULAN
Oleh: Marsiti
“Tak lelo lelo lelo ledung, cup menenga aja pijer nangis, anakku sing ayu rupane, nek nangis ndak ilang ayune, tak gadang bisa urip mulyo, dadiyo wanito utomo, ngluhurake asmane wong tuwa, dadiyo pendekaring bangsa, wis cup menenga anakku, kae mbulane ndadari …”

Tembang jawa itu semakin lama terdengar lebih jelas, seiring disingkabnya tirai lusuh di salah satu rumah, tempat tingggal kita dulu.
Sepasang mata sayu menatapku lekat-lekat. Senyum pun mengembang, meski tak kutemukan lagi semburat di wajahmu. 
Entah untuk yang ke berapa kalinya kulihat kau begini. Aku sedih, namun tak bisa berbuat apa-apa.Yang bisa kulakukan hanyalah menyambut tatap kerinduan dengan senyum terindahku. Karena, kita tak mungkin bersama lagi.
***
Seingatku, waktu seperti ini bukankah seharusnya sudah ada di surau untuk mengajari anak-anak mengaji? Karena aku tahu, itu adalah tugas yang diamanatkan Pak Amir, laki-laki pemikul tulang punggung kita sebelum ia tiada. 
Lamat-lamat terdengar suara sesenggukan. Ah itukah kau? Tapi apa sebab? Bukankah kau sudah mengikhlaskan semuanya?
Tapi, aku pun tak mampu membaca pikiranmu. Sungguh, jika saja Tuhan mengizinkan kita kembali bersama, takkan kubiarkan hari-hari dipergunakan untuk mengeluh, meratapi nasib yang telah Tuhan gariskan untuk hidupku.
Apakah mungkin ada masalah yang sedang kau hadapi? Menyeruak pertanyaan itu dalam hati. Entahlah.
Berharap, sebentar lagi tubuh ringkih yang kau topang berbalik membelakangiku. Sungguh, aku tak tega melihat kau sesedih itu.
“Lan, emak ke surau dulu.” Kau pamit sembari menutup tirai biru, kala aku sedang asyik dengan dunia baruku.
“Emak,” lirihku, begitu tangis haru terdengar dari balik tirai kamarku.
***
Sepulang dari surau, kau memperhatikanku lagi, lama. Tak bosan-bosannya memandangiku, hingga bibir ini tersenyum bahagia.
“Lan, seandainya kamu masih di sini. Tentu emak tak akan kesepian,” lirihmu sembari memegang foto terakhirku saat mengenakan seragam putih abu-abu.
Seketika mata ini terasa dimasuki pasir, kukerjap-kerjapkan, tapi entah kenapa tak ada airmata yang keluar. Huf. Sekarang bukan lagi aku yang dulu, sadarku.
“Tenang saja, Mak. Aku akan selalu ada di sini, kecuali jika …,” kata-kataku terhenti, rasanya tak sanggup meneruskannya lagi, “kau pasti tahu, Mak,” lanjutku.
***
Dua tahun yang lalu.
Sebelum usiaku genap tujuh belas tahun, kau selalu bilang aku ini cantik. Senyumku bak bulan sabit yang mampu menyinari bumi.
"Benarkah itu, Mak? Tapi, kenapa mereka tetap memandangku aneh?" tanyaku setiap kali pulang sekolah.
"Karena mereka hanya melihat dari sisi kekuranganmu saja, Sayang." Selalu itu yang dikatakan, diiringi senyum, meski kutahu, dalam hati kau menangisi takdirku.

Terkadang aku bosan dengan hidup seperti ini. Memiliki tubuh yang tak sempurna membuat hari-hari di sekolah bagaikan neraka, selalu menjadi bahan olok-olokan teman. Meski sudah kuperjelaskan bahwa penyakitku adalah murni keturunan, tapi mereka seolah tak mau mendengarkan. Tetap saja, di mata mereka, aku adalah gadis yang aneh.
Perlakuan mereka membuatku frustasi. Setiap harinya kukurung diri di kamar. Menangis, menyesali nasib yang tak sebaik mereka. Mogok makan, tak mau sekolah, pasrah dan mudah menyerah. Bahkan, aku sempat mengatakan bahwa Tuhan tidak adil. Setiap kali bergaul dengan teman-teman sebaya dalam keseharian, selalu saja aku minder, merasa diri adalah yang terburuk, sangat berbeda dan tidak dapat berbuat seperti mereka.

Betapa tidak, di saat mereka tumbuh dan sedang seru-serunya menjalani masa puber, aku masih seperti anak-anak, tak ada perubahan fisik kecuali usia semakin menua, dan ditambah keadaan fisik yang mudah lemah. Di situ kadang aku merasa sedih.
Hingga suatu hari aku melihat kau tak seperti biasa, wajahmu pucat. 
“Emak kenapa?” tanyaku lirih.
Tiba-tiba kau memelukku, erat.
“Nduk, kamu gak boleh begini. Emak jadi sedih kalau kamu terus-terusan mengurung diri seperti ini.” Kau jawab diiringi sesenggukan, hingga tak terasa, pundakku basah oleh airmata yang tak mampu kau bendung lagi. 
Ah, kau memang selalu punya cara untuk  membuatku menyesali perbuatan bodoh ini. Walaupun aku tahu, itu adalah murni naluri seorang ibu.
“Sekali lagi, maafkan emak, Nduk,” tangismu kian pecah.
Aku jadi merasa bersalah. Kau pasti sedih, memikirkanku yang sampai saat ini masih belum bisa menerima penyakit bawaan dari orang yang telah meninggalkan kita, empat tahun lalu.
“Tapi emak tetap bangga punya anak seperti Wulan,” lanjutmu sembari mencium keningku, lalu kau menggendong tubuh yang hanya setinggi pinggang orang dewasa ini.
Aku tersenyum. Meskipun dalam hati tetap merasa hanya si kerdil yang lemah. Tak bisa berbuat apa-apa selain menyusahkanmu. Apalagi tentang transfusi darah yang harus kujalani seumur hidup, pasti beban yang kau tanggung akan semakin bertambah, meski semua biaya ditanggung oleh Yayasan Thalasemia. Tapi, untuk bolak-balik ke rumah sakit, kau harus menguras tabungan selama bekerja sebagai buruh tani.

“Mak,” tanyaku saat kau menemani tidur.
“Iya, Nak.”
“Kenapa Tuhan menciptakanku seperti ini? Aku malu sama teman-teman. Mereka gak ada yang mau berteman dengan Wulan.” 
Ya, aku malu. Malu dengan kejadian di saat Dani, teman SMA mengolok-olokku.
“Hai, lihat! Ada manusia planet di kelas kita,”  teriaknya diiringi tawa.
Sontak saja seluruh siswa di kelas ikut menertawakanku. Itulah sebab mengapa aku tak mau masuk sekolah.
Aku memang manusia aneh! Batinku mengiyakan.
Kulihat kau menghela napas, sedetik kemudian kau pejamkan mata, seolah sedang berpikir.
“Nduk, keadaan fisik mu memang tidak sempurna seperti orang lain, akan tetapi kamu diberi akal dan pikiran yang sama oleh Tuhan. Gunakanlah itu sebagai pelengkap kekurangan yang kamu miliki, Sayang,” jawabmu dengan senyum bahagia.
Seketika aku menangis dalam pelukanmu. Dengan penuh perhatian, kau mengusap-usap rambutku sembari menyanyikan tembang jawa penghantar tidur. Hingga aku terlelap, untuk selamanya.

***
========================selesai================================
* “Tak lelo lelo lelo ledung, cup menenga aja pijer nangis, anakku sing ayu rupane, nek nangis ndak ilang ayune, tak gadang bisa urip mulyo, dadiyo wanito utomo, ngluhurake asmane wong tuwa, dadiyo pendekaring bangsa, wis cup menenga anakku, kae mbulane ndadari …”: “Tak lelo lelo lelo ledung, sudahlah jangan menangis anakku,
Anakku yang cantik [bagus] rupanya, kalau menangis hilang cantiknya [bagusnya]
Kelak nanti bisa hidup mulai, jadilah wanita [pria] utama
mengharumkan nama orang tua, jadilah pendekar bangsa
sudahlah jangan menangis anakku, lihatlah rembulan bersinar terang …”            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar