Akhir yang Indah
Oleh: Sitie CB
Ini adalah sebuah kisah tentang kematian.
Bahwa kematian adalah rahasia Ilahi. Tidak ada seorang pun yang tahu
kapan Malakat Izrail itu datang untuk mencabut nyawa kita. Dan kita pun
tidak tahu, dalam keadaan bagaimanakah saat ajal itu menjemput? Entah
khusnul khotimah atau suul khotimah.
***
Mbah Dawi namanya.
Seorang laki-laki tua yang memiliki sifat keras kepala, tapi tipikal
pekerja keras itu, telah menghembuskan napas terakhir di tempat
pembaringannya pada bulan Agustus 2012.
Banyak orang yang kehilangan sosok kakek yang suka bercerita tentang masa penjajahan dulu, termasuk diriku.
Dulu, sebelum pergi merantau, aku sering menyambangi rumahnya yang
hanya beberapa langkah dari tempat tinggalku. Meskipun kondisi tubuhnya
mulai lemah, beliau tetap melakukan aktifitas.
Tentu saja, saat
pertama mendengar kabar kematiannya aku sempat syok. Sosok beliau masih
terbayang jelas di kepala. Ketika hendak pergi merantau, satu tahun
sebelum kabar itu datang, kusempatkan berpamitan kepada beliau yang
sedang berbaring lemah di dipan kesayangan, "Saya pamit dulu, Kek."
Dengan segera kucium tangan keriputnya.
"Hati-hati di jalan, Cu," jawabnya dengan suara berat.
Dan tak pernah menyangka, bahwa itu adalah untuk terakhir kali aku melihat sosok beliau.
***
Semasa hidup, beliau hanya tinggal bertiga dengan anak bungsu juga
menantunya di rumah sederhana yang masih beranyamkan bambu usang karena
dimakan usia. Di sana-sini terlihat lubang bekas gerogotan rayap. Jika
hujan deras disertai angin kencang, rumah bagian belakang hampir saja
roboh.
Maka dari itu, Mbah Dawi berusaha bekerja keras. Dan,
beliau tunjukkan dengan membawa bongkahan batu yang diambilnya dari
sungai sepulang dari sawah. Kegiatan itu dilakukan bertahun-tahun
lamanya, hingga terkumpul memenuhi sebagian halaman rumah. Dengan
harapan, cita-cita untuk membangun rumah gedongan dapat terwujud. Ya,
beliau ingin sekali memiliki rumah seperti para tetangga yang lainnya,
rumah berdinding batu-bata.
Beliau merasa tak mungkin
mengandalkan anaknya yang sudah berumah tangga, dengan sifat kerasnya,
ia pun berusaha melakukan semua sendiri. Padahal, anak-anaknya sudah
berusaha menasihati agar tidak usah terlalu capek dalam bekerja.
Hingga akhirnya, di mana tubuh tak lagi kuat, semakin ringkih. Dan
terlihat pundaknya mulai membungkuk karena terlalu berat mengangkat
beban. Beliau pun berhenti dari kebiasaan tersebut. Kesehariannya lebih
sering mondar-mandir, entah ke sawah atau main di rumah tetangga.
Suatu hari, ketika mengetahui cucu yang baru lahir tidak lagi bernyawa.
Aku tidak sengaja mendengar obrolan beliau dengan para tetangga, bahwa
ingin sekali belajar mengaji lagi. Sontak saja para tetangga yang hadir
menyambut dengan gembira. Karena mereka tahu, walaupun beragama islam,
tapi semasa hidupnya jarang sekali shalat, bahkan tidak pernah, apalagi
mendatangi Mushala.
Alhamdulillah, rasa syukur kami haturkan
pada Sang Pemilik hidup. Apalagi aman dan bibi, mereka sangat bahagia.
Berharap, sifat kerasnya dapat terlunakkan dengan beliau mendekatkan
diri pada Sang Ilahi Rabbi. Hingga tahun berganti tahun, perubahan itu
nyata adanya.
Setiap Ramadhan datang, beliau berusaha untuk ikut
tarawih di mushala. Meskipun tubuhnya kian ringkih dan kondisi jalan
yang naik turun tanjakan, tidak menjadi alasan untuk meninggalkan ibadah
di rumah Allah. Subhanallah.
Dan bibi sempat bercerita. Sebelum
ajal menjemput, beliau ingin sekali menjalankah ibadah puasa. Tapi,
takdir berkata lain. Beliau menghembuskan napas terakhir menjelang bulan
ampunan itu datang.
***
Demikianlah sedikit kisah tentang Mbah
Dawi. Meskipun sebagian besar masa hidupnya lebih banyak dihabiskan
untuk urusan dunia, tapi di akhir hidup, beliau kembali ke jalan-Nya.
Inilah sebuah hidayah dari Allah, hidayah yang berikan kepada Mbah Dawi di hari tuanya.
Jakarta 21 Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar