Liarmu Penolongku
Oleh: Sitie CB
“Bang, pokoknya aku gak setuju, kalau tanah itu
harus dijual!” seruku pada Bang Maman.
“Dari mana kamu tahu rencana itu, Ra?”
“Semalam, tak sengaja aku mendengar percakapan Abang
dengan Pak RT.” Aku tertunduk, merasa bersalah.
“Tapi ini demi kesembuhan Ibu, Ra?” jawabnya tetap
pada pendirian.
“Bang! Itu tanah peninggalan Bapak satu-satunya. Kalau
dijual, nanti kita tak punya tanah lagi!” nadaku semakin tinggi. Masih dalam
keadaan jengkel, aku pun menuju kamar ibu.
Kudapati tubuh kurusnya masih berbalut selimut,
diiringi dengkuran halus. Kutatap wajahnya lekat-lekat, garis-garis keriput
menghiasi keningnya.
Sepeninggal bapak, ibu jadi sering sakit-sakitan. Batuk
yang dideritanya tak jua sembuh. Meskipun sudah dibawa ke puskesmas dan meminum
semua jenis obat batuk, tapi hasilnya nihil! Hingga akhirnya abang putus asa
dan akan menjual tanah itu untuk berobat ibu ke kota.
“Bu, Ratih berjanji, akan melakukan apapun demi
kesembuhan ibu,” bisikku.
Dan aku takkan membiarkan Bang Maman menjual tanah
itu, batinku yakin.
*
“Memangnya Abang sudah gak punya simpanan lagi untuk
berobat Ibu?” tanyaku setelah keadaan mulai tenang.
Ia hanya diam, pandangannya terus mengarah ke
pekarangan di samping rumah.
“Sebenarnya abang sudah gak kerja lagi, Ra. Perusahaan
telah mem-PHK abang dari sebulan yang lalu,” jawabnya sendu.
“Kenapa Abang gak bilang sama aku?”
***
Hari ini juga kuniatkan untuk mencari kerja, apapun
pekerjaannya, asalkan halal aku terima. Tapi di luar dugaan, ternyata mencari
kerja itu tak mudah. Dalam terombang-ambingnya diri yang tak jelas tujuannya,
aku bersender di bangku taman, menikmati sang mega bersama teman-teman.
Pandanganku tertuju pada penjual koran yang sedang
menjajakkan dagangannya di pinggir jalan, aku pun menghampirinya.
“Bang, koran yang memuat lowongan kerja ada gak?” tanyaku
pada pemuda beranting satu.
“Ada, Mbak. Ini,” jawabnya sembari menyodorkan koran
yang aku minta.
Kucari-cari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan
pendidikan terakhirku, tapi tak ada. Rata-rata minimal harus lulusan
SMA/sederajat. Sedangkan aku hanya lulusan SMP.
Huf!
Rasanya lemas sekali.
Dalam keterputusasaan, aku melihat artikel dengan
judul ‘OBAT HERBAL TRADISIONAL’. Buru-buru kubaca.
“Meniran
(Phylanthus urinaria, Linn) merupakan tumbuhan liar yang banyak tumbuh di
tempat lembab pada dataran rendah daerah tropis. Tumbuhan ini banyak tumbuh di
hutan, kebun,
ladang dan halaman rumah. Tumbuhan ini biasa dianggap rumput liar, padahal tumbuhan meniran dapat dimanfaatkan sebagai obat herbal tradisional, seperti: Batuk, ayan, sakit kuning, malaria, demam, haid berlebihan, disentri, luka bakar, luka koreng, jerawat.”*
ladang dan halaman rumah. Tumbuhan ini biasa dianggap rumput liar, padahal tumbuhan meniran dapat dimanfaatkan sebagai obat herbal tradisional, seperti: Batuk, ayan, sakit kuning, malaria, demam, haid berlebihan, disentri, luka bakar, luka koreng, jerawat.”*
Tak terasa butiran bening menjadikan aliran sungai
kecil di pipi. Dengan perasaan bahagia, aku berlari pulang. Ingin rasanya
cepat-cepat sampai rumah dan berhambur memeluk ibu dan abang.
“Assalamu’alaikum. Ibu, Abang aku pu-,” Kata-kataku
terhenti begitu melihat Pak RT dan tiga orang lainnya sedang berbincang tentang
penjualan tanah.
“Tunggu!” Semua orang menolehku.
“Tanah itu tak jadi dijual!”
“Ratih!” tegur Bang Maman, ia pun menghampiriku yang
masih di ambang pintu.
“Ibu harus segera dirawat, Ra. Kita butuh biaya yang
tak sedikit!” lanjutnya
“Aku sudah menemukan obat yang tepat untuk Ibu.” Kusodorkan
artikel yang baru kubaca.
Ia hanya mengernyitkan kening, dihelanya napas
panjang.
“Kamu yakin Ibu akan sembuh setelah meminum ini, Ra?”
Kuanggukkan kepala.
“Kita harus yakin, Bang! Tak salahnya kita coba,
apalagi tanaman ini banyak bertebaran di pekarangan rumah.” Senyumku merekah
begitu Bang Mamam menyetujui usulanku.
Setelah membatalkan penjualan tanah dengan Pak RT,
aku dan abang menuju pekarangan untuk mengambil tanaman menir.
“Siapkan 3 – 7 batang tanaman meniran
lengkap (akar, batang, daun, bunga), Madu secukupnya. Bahan dicuci bersih,
kemudian ditumbuk halus dan direbus dengan 3 sendok makan air masak, hasilnya
dicampur dengan 1 sendok makan madu sampai merata. Diminum sekaligus dan
dilakukan 2 kali sehari.”*
Obat herbal ini kuberikan pada ibu secara rutin.
Berlahan, kesehatan ibu membaik, meskipun belum pulih seutuhnya.
Terima kasih menir, karena ke‘liar’anmu ibuku sembuh
dari penyakit batuk yang telah lama dideritanya.
Dan kini, hari-hari kuhabiskan untuk berkebun. Mengurus
si menir, si cempluk, si mutiara, dan masih banyak lagi rumput liar yang selama
ini terabaikan.
NB: Tanda * diambil dari http://raden-abdie.blogspot.com/p/tanaman-liar-yang-bermanfaat.html
Jakarta, 29-12-2014