WULAN
Oleh: Marsiti
“Tak
lelo lelo lelo ledung, cup menenga aja pijer nangis, anakku sing ayu rupane,
nek nangis ndak ilang ayune, tak gadang bisa urip mulyo, dadiyo wanito utomo,
ngluhurake asmane wong tuwa, dadiyo pendekaring bangsa, wis cup menenga anakku,
kae mbulane ndadari …”
Tembang jawa itu
semakin lama terdengar lebih jelas, seiring disingkabnya tirai lusuh di salah
satu rumah, tempat tingggal kita dulu.
Sepasang mata sayu
menatapku lekat-lekat. Senyum pun mengembang, meski tak kutemukan lagi semburat
di wajahmu.
Entah untuk yang ke
berapa kalinya kulihat kau begini. Aku sedih, namun tak bisa berbuat
apa-apa.Yang bisa kulakukan hanyalah menyambut tatap kerinduan dengan senyum
terindahku. Karena, kita tak mungkin bersama lagi.
***
Seingatku, waktu
seperti ini bukankah seharusnya sudah ada di surau untuk mengajari anak-anak
mengaji? Karena aku tahu, itu adalah tugas yang diamanatkan Pak Amir, laki-laki
pemikul tulang punggung kita sebelum ia tiada.
Lamat-lamat terdengar
suara sesenggukan. Ah itukah kau? Tapi apa sebab? Bukankah kau sudah
mengikhlaskan semuanya?
Tapi, aku pun tak mampu
membaca pikiranmu. Sungguh, jika saja Tuhan mengizinkan kita kembali bersama,
takkan kubiarkan hari-hari dipergunakan untuk mengeluh, meratapi nasib yang
telah Tuhan gariskan untuk hidupku.
Apakah mungkin ada
masalah yang sedang kau hadapi? Menyeruak pertanyaan itu dalam hati. Entahlah.
Berharap, sebentar lagi
tubuh ringkih yang kau topang berbalik membelakangiku. Sungguh, aku tak tega
melihat kau sesedih itu.
“Lan, emak ke surau
dulu.” Kau pamit sembari menutup tirai biru, kala aku sedang asyik dengan dunia
baruku.
“Emak,” lirihku, begitu
tangis haru terdengar dari balik tirai kamarku.
***
Sepulang dari surau,
kau memperhatikanku lagi, lama. Tak bosan-bosannya memandangiku, hingga bibir
ini tersenyum bahagia.
“Lan, seandainya kamu
masih di sini. Tentu emak tak akan kesepian,” lirihmu sembari memegang foto
terakhirku saat mengenakan seragam putih abu-abu.
Seketika mata ini
terasa dimasuki pasir, kukerjap-kerjapkan, tapi entah kenapa tak ada airmata
yang keluar. Huf. Sekarang bukan lagi aku yang dulu, sadarku.
“Tenang saja, Mak. Aku
akan selalu ada di sini, kecuali jika …,” kata-kataku terhenti, rasanya tak
sanggup meneruskannya lagi, “kau pasti tahu, Mak,” lanjutku.
***
Dua tahun yang lalu.
Sebelum usiaku genap
tujuh belas tahun, kau selalu bilang aku ini cantik. Senyumku bak bulan sabit
yang mampu menyinari bumi.
"Benarkah itu,
Mak? Tapi, kenapa mereka tetap memandangku aneh?" tanyaku setiap kali
pulang sekolah.
"Karena mereka
hanya melihat dari sisi kekuranganmu saja, Sayang." Selalu itu yang
dikatakan, diiringi senyum, meski kutahu, dalam hati kau menangisi takdirku.
Terkadang aku bosan
dengan hidup seperti ini. Memiliki tubuh yang tak sempurna membuat hari-hari di
sekolah bagaikan neraka, selalu menjadi bahan olok-olokan teman. Meski sudah
kuperjelaskan bahwa penyakitku adalah murni keturunan, tapi mereka seolah tak
mau mendengarkan. Tetap saja, di mata mereka, aku adalah gadis yang aneh.
Perlakuan mereka
membuatku frustasi. Setiap harinya kukurung diri di kamar. Menangis, menyesali
nasib yang tak sebaik mereka. Mogok makan, tak mau sekolah, pasrah dan mudah
menyerah. Bahkan, aku sempat mengatakan bahwa Tuhan tidak adil. Setiap kali
bergaul dengan teman-teman sebaya dalam keseharian, selalu saja aku minder,
merasa diri adalah yang terburuk, sangat berbeda dan tidak dapat berbuat
seperti mereka.
Betapa tidak, di saat
mereka tumbuh dan sedang seru-serunya menjalani masa puber, aku masih seperti
anak-anak, tak ada perubahan fisik kecuali usia semakin menua, dan ditambah
keadaan fisik yang mudah lemah. Di situ kadang aku merasa sedih.
Hingga suatu hari aku
melihat kau tak seperti biasa, wajahmu pucat.
“Emak kenapa?” tanyaku
lirih.
Tiba-tiba kau
memelukku, erat.
“Nduk, kamu gak boleh
begini. Emak jadi sedih kalau kamu terus-terusan mengurung diri seperti ini.”
Kau jawab diiringi sesenggukan, hingga tak terasa, pundakku basah oleh airmata
yang tak mampu kau bendung lagi.
Ah, kau memang selalu
punya cara untuk membuatku menyesali
perbuatan bodoh ini. Walaupun aku tahu, itu adalah murni naluri seorang ibu.
“Sekali lagi, maafkan
emak, Nduk,” tangismu kian pecah.
Aku jadi merasa
bersalah. Kau pasti sedih, memikirkanku yang sampai saat ini masih belum bisa
menerima penyakit bawaan dari orang yang telah meninggalkan kita, empat tahun
lalu.
“Tapi emak tetap bangga
punya anak seperti Wulan,” lanjutmu sembari mencium keningku, lalu kau
menggendong tubuh yang hanya setinggi pinggang orang dewasa ini.
Aku tersenyum. Meskipun
dalam hati tetap merasa hanya si kerdil yang lemah. Tak bisa berbuat apa-apa
selain menyusahkanmu. Apalagi tentang transfusi darah yang harus kujalani
seumur hidup, pasti beban yang kau tanggung akan semakin bertambah, meski semua
biaya ditanggung oleh Yayasan Thalasemia. Tapi, untuk bolak-balik ke rumah
sakit, kau harus menguras tabungan selama bekerja sebagai buruh tani.
“Mak,” tanyaku saat kau
menemani tidur.
“Iya, Nak.”
“Kenapa Tuhan
menciptakanku seperti ini? Aku malu sama teman-teman. Mereka gak ada yang mau
berteman dengan Wulan.”
Ya, aku malu. Malu
dengan kejadian di saat Dani, teman SMA mengolok-olokku.
“Hai, lihat! Ada
manusia planet di kelas kita,” teriaknya
diiringi tawa.
Sontak saja seluruh
siswa di kelas ikut menertawakanku. Itulah sebab mengapa aku tak mau masuk
sekolah.
Aku memang manusia
aneh! Batinku mengiyakan.
Kulihat kau menghela
napas, sedetik kemudian kau pejamkan mata, seolah sedang berpikir.
“Nduk, keadaan fisik mu
memang tidak sempurna seperti orang lain, akan tetapi kamu diberi akal dan
pikiran yang sama oleh Tuhan. Gunakanlah itu sebagai pelengkap kekurangan yang
kamu miliki, Sayang,” jawabmu dengan senyum bahagia.
Seketika aku menangis
dalam pelukanmu. Dengan penuh perhatian, kau mengusap-usap rambutku sembari
menyanyikan tembang jawa penghantar tidur. Hingga aku terlelap, untuk
selamanya.
***
========================selesai================================
* “Tak lelo lelo lelo ledung, cup menenga aja pijer nangis, anakku sing
ayu rupane, nek nangis ndak ilang ayune, tak gadang bisa urip mulyo, dadiyo
wanito utomo, ngluhurake asmane wong tuwa, dadiyo pendekaring bangsa, wis cup
menenga anakku, kae mbulane ndadari …”: “Tak lelo lelo lelo ledung,
sudahlah jangan menangis anakku,
Anakku yang cantik
[bagus] rupanya, kalau menangis hilang cantiknya [bagusnya]
Kelak nanti bisa hidup
mulai, jadilah wanita [pria] utama
mengharumkan nama orang
tua, jadilah pendekar bangsa
sudahlah jangan
menangis anakku, lihatlah rembulan bersinar terang …”