Selasa, 03 Juni 2014

TANTANGAN KBM MANIA SEASON 2
BABAK KONSER LEVEL 1
Ide cerita : Ketika penyekapan memakan korban
Judul cerpen : Tragedi di Gudang Tua
Karya : Marsiti
Mentor : Erie GusNellyanti

“Aparat kepolisian Resor (Polres) Sukabumi Kota, Jawa Barat, menggerebek sebuah rumah di Jalan Goalpara, Kabupaten Sukabumi yang diduga dijadikan tempat penyekapan belasan wanita. Belasan wanita itu diduga merupakan korban perdagangan manusia (human trafficking).” (Okezone)
Begitulah bunyi berita hari ini. Penyekapan semakin marak terjadi dimana-mana, korbannya pun bertambah banyak. Tiba-tiba ingatanku kembali ke peristiwa masa lalu, yang masih menyisakan duka mendalam.

***

Pada pertengahan bulan September, ada seorang paruh baya mendatangi kampung kami, Pak Usman namanya. Ia ingin merekrut para pemuda pengangguran untuk dijadikan karyawan pabrik. Tak ada kecurigaan, Kepala Desa pun menyambutnya dengan senang hati.
Ia menjanjikan akan memberi gaji 500 ribu per bulan. Setelah Enam bulan, gaji akan dinaikkan menjadi 1,5 juta per bulan. Selain itu, kami juga diiming-imingi tempat tinggal yang layak, cuti kerja, serta liburan gratis ke Ancol. Siapa yang tak tertarik? Bagi orang kampung yang saban harinya bekerja sebagai buruh tani, gaji besar adalah suatu keberuntungan. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas, lantas kami mengiyakan. Berbekal izin dari kedua orang tua, kami berangkat dengan menaiki travel yang sudah disediakan.
Mereka melepaskan kami dengan harapan yang sangat, berharap sekembali dari rantau akan menjadi pahlawan perubahan untuk dukuh Jati, yang dipandang orang sebagai dukuh terpencil dan termiskin.
Dalam perjalanan, Pak Usman menyuguhi makan malam. Kami pun makan dengan lahapnya.
Hoammmm, tiba-tiba rasa kantuk menghinggapi kami yang terlalu kekenyangan. Kucoba untuk menahannya sejenak, tetap saja tak bisa. Sedikit aneh, karna tak biasanya sengantuk ini. Mungkin kelelahan, mencoba berpikir positif.

***

Hari Pertama
Gelap, itu yang aku rasakan ketika membuka mata. Tak ada cahaya yang menerangi. Kuraba-raba di sekelilingku, yang ada hanya balok-balok kayu. Dimanakah gerangan? Apa yang sebenarnya terjadi? Tanda tanya memenuhi kepalaku.

“Iwan, Badu, Roni… kalian di mana?” panggilku sedikit berteriak. Aku pun berjalan sembari mencari-cari tembok untuk pegangan.

“To, aku di sini,” sahut Iwan dengan nada ketakutan. “Tolong, di sini gelap sekali,” sambungnya. Kucari sumber suara Iwan, sesekali kaki menginjak kayu, tersandung benda entah apa namanya, hingga terjatuh.

“Awww…, sakit,” rintihku. Sepertinya benda tajam mengenai kaki, hingga kurasakan ada aliran dingin, darah.

“To, kamu kenapa?" tanya Iwan khawatir. Sepertinya posisi Iwan sudah dekat. Meski langkah kaki terasa gontai, aku tetap mencarinya. Akhirnya kumenemukan Iwan dengan napas tersengal-sengal, Ia takut sekali dengan gelap. Astaghfirullah hal’adzim…matanya ditutup dengan kain dan tangannya diikat kebelakang, pantas saja ketakutan. Benar-benar keterlaluan orang yang telah melakukan semua ini.

“Terimakasih, To,” ucapnya kala aku membantu membuka penutup mata.

“Kita di mana, To? Teman-teman yang lain pada di mana?" Bertubi-tubi pertanyaan keluar dari mulutnya. Aku hanya diam membisu, pandanganku menerawang jauh, namun sia-sia, kegelapan menghalangiku untuk berfikir jernih. Ruangan ini begitu tertutup, sama sekali tak ada cahaya yang masuk. Kita hanya bisa pasrah, pasrah dengan keadaan yang ada.

Tiba-tiba ruangan menjadi terang. Seisi ruangan terlihat jelas. Sebuah gudang tua, atapnya penuh sarang laba-laba, kayu-kayu berserakan, dan tercium bau tak sedap. Terdengar langkah kaki dan suara gaduh. Dua orang tak dikenal, yang satu berperawakan besar dan berkumis tebal, sedangkan yang satunya lagi berperawakan sedang berambut gondrong. Mereka membawa teman-teman kami, tangannya diikat serta mulutnya dilakban, kasihan sekali.

“Siapa kalian? di mana Pak Usman?” tanyaku dengan suara gemetaran. Rasa takut menjalari tubuhku.
“Hahahaaaa…., kalian tidak perlu tahu. Jangan macam-macam kau anak kecil, hahahaa…,” jawabnya diiringi tawa yang menggelegar, memekikkan telinga. Merekapun berlalu, meninggalkan kami dalam kebingungan. Di manakah Pak Usman? Mana janjinya untuk mempekerjakan kami jadi karyawan pabrik? Apakah semua itu hanya omong kosong belaka? Aku hanya bisa menerima nasib.

***

Hari Kedua
“Hei, siapa yang berisik tadi?” Teriaknya lantang, bagai anjing melolong karna kelaparan. Kami hanya bisa diam, tak ada yang berani menatapnya, apalagi menjawab. Tapi, tiba-tiba Iwan memberanikan diri dan mengakui kesalahannya.

Plakk!
Sebuah pukulan mendarat di bagian pipinya. Darah segar pun mengalir dari hidung dan mulut, serta diiringi rintihan kesakitan yang luar biasa.
Aku hanya bisa memandangi dengan mata nanar, perasaan ini bagai teriris pisau tajam, sakit. Hatiku menangis, ingin rasanya cepat-cepat menghampiri Iwan dan menenangkannya, sayang nyaliku ciut ketika manusia berperawakan besar itu memberi ancaman agar tak mendekati Iwan. Kucoba pejamkan mata sejenak, pedih. Seperti inikah yang dirasakan Iwan?

***

Hari Ketiga
Aku terduduk lesu, lemah, lunglai. Ingin rasanya memberontak, tapi tak ada nyali. Aku takut, takut yang amat sangat. Begitu juga dengan teman-teman yang lain, mereka begitu ketakutan. Gurat ketakutan pun terlukis jelas di raut wajahnya. Rasa haus, lapar, membuat kami tak berdaya.
Di sampingku ada Iwan, ia tengah meringkuk, memeluk diri dengan tubuh penuh luka. Detak jantungnya sudah tak beraturan. Terkadang mengerang kesakitan, rintihannya menyayat hatiku. Aku bingung, apa yang harus kulakukan?

Mata ini terpejam, kembali bertemu dengan gelap yang tak bisa bicara, dan hanya bisa menyaksikan semuanya.
Arghhh.. ada rasa sesal yang menyusup dalam relung jiwaku. Penyesalan yang amat sangat. Seandainya aku menolak ajakan Pak Usman, seandainya aku lebih bersyukur dengan hanya menjadi buruh tani meski berpenghasilan kecil, seandainya aku tak punya harapan terlalu tinggi untuk menginjakkan kaki di Jakarta, seandainya… seandainya aku tak menghiraukan ejekan orang-orang dukuh sebelah yang memandang sebelah mata tentang nasib dukuh kami. Aaahhhh… penyesalan memang selalu belakangan, agar kita bisa belajar dan memetik hikmahnya dari kejadian tersebut.

***

Hari Keempat
Kejadian malam itu menyadarkanku.Uuuhhh… betapa bodohnya. Melihat teman tak berdaya, aku malah hanya bisa diam. Ah, laki-laki macam apa aku ini, membela keadilan saja tak berani, melihat kezaliman di depan mata malah dibiarkan saja. Rasa geram menguasai kekujur tubuhku. Emosiku kian naik ke ubun-ubun. Kutatap lekat-lekat wajah manusia itu, kulitnya hitam, sorot matanya yang tajam, hidungnya pesek, berkumis tebal, dan dari bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang membuatku semakin muak melihatnya.

“Hahahaaa… hai anak kecil, mau apa kau. Melawan? Hahhaaa…” ejeknya.
Geram, hatiku tersulut api kemarahan. Entah setan apa yang merasuk dalam diriku hingga…

“Aowwww… sakit, aduh… aduh, sakit sekali.” Spontan saja si rambut gondrong meringis kesakitan setelah tendanganku mengenai sasaran. Melihat temannya terus-terusan meringis kesakitan, si kumis tebal meradang, lalu ambil ancang-ancang. Dengan gerakan silat bak pesilat jagoan, Ia berusaha menonjok bagian perutku, settttt meleset jauh dan hampir saja mengenai muka Badu yang sedari tadi hanya menyaksikan saja. Dengan sigapnya, Roni menendang bagian punggung hingga tersungkur, dan terjerembak pada tumpukan-tumpukan kayu.

"Aaa… am… ppuuunn." Akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutnya. Ada kepuasan tersendirI bisa membalas dan mengalahkan mereka, karna tak ada satupun dari kami yang jago silat. Mungkin, itu hanyalah refleksi tubuh, pengaruh otak yang timbul karna rasa emosi tidak bisa ditahan.

***

Hari Kelima
Akhirnya, kami bisa keluar dari gudang tua yang letaknya di bawah tanah. Sambil menggendong Iwan yang lunglai tak berdaya, kami meminta pertolongan warga.
Polisi telah berhasil meringkus Pak Usman, Ia termasuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang). Ternyata, Sudah banyak korban yang termakan janjinya.
Untuk sahabat sekalian WASPADALAH! WASPADALAH!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar