Senin, 23 Juni 2014

EVENT KANG ABU




Rinduku pada Bunda

Mbeee…, mbeee

“Ayo Mbing kita pulang, sebentar lagi aku mau ngebantuin Nenek masak,” ajakku pada kambing betina, sedangkan sang Bandot sudah lari duluan. Kugiring Kambing nenek yang berjumlah empat ekor, yang dua masih kecil-kecil. Menggembala kambing adalah pekerjaanku setelah pulang sekolah. Meski terkadang capek karena harus mengendalikan Kambing supaya tidak memakan tanaman orang, tapi aku senang menjalaninya. Kata nenek aku harus mandiri dan berbakti pada orang tua.

“Nek, Bunda kapan nyampainya?" tanya ku pada nenek yang sedang memasak untuk berbuka puasa.
 
"Mungkin sebentarn lagi, Cu," jawab nenek Ranti sembari meniup-niup bara di dalam tungku supaya apinya  menyala.

Uhuk! Uhuk!
 Asap api membuat nenek terbatuk-batuk. Aku pun menawarinya bantuan.
Sebenarnya aku kasihan sama nenek, sedari kecil neneklah yang merawatku hingga sekarang ini. Sedangkan bunda bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhan kami.
“Kalau Bunda tidak bekerja, nanti siapa yang mencari uang untuk membayar sekolah Febri?” Begitulah jawabannya setiap kutanyakan alasan bunda bekerja.
Benar juga sih, tapi waktuku bersama bunda jadi sedikit.

"Tapi Febri ingin cepat-cepat ketemu Bunda, Nek. Aku kangen."

“Yang sabar ya, Cu.” Nenek pun memelukku. Ini adalah kebiasaan nenek, jika aku rindu bunda, senjata paling ampuh supaya aku tidak larut-larut dalam kesedihan adalah dipeluk nenek. Rasanya sedikit lebih tenang. Setahun sekali bunda baru bisa pulang ke kampung halaman, begitu sibukkan di sana?
 ***
Semenjak orang tuaku berpisah, Bunda lebih memilih bekerja untuk mencari nafkah. Sedangkan ayah jarang sekali menjengukku, kadang-kadang saja datang ke rumah, sembari membawakan kebutuhanku meski tak seberapa.
Sebenarnya, aku pun ingin sekali merasakan punya orang tua yang utuh. Tapi keberadaan ayah pun tak begitu berpengaruh, mungkin karena sejak kecil aku tak pernah merasakan sentuhan kasih sayang dari seorang ayah.
Banyak yang bilang, ayah meninggalkan bunda karena sudah tidak cinta lagi. Ada juga yang berpendapat kalau ayahku menikah lagi dengan perempuan lain. Ah , entahlah. Apapun yang orang lain katakan, pesan nenek biarkan saja.
 ***
"Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar !
La ilaha illa-Llah wa-Llahu akbar,
Allahu akbar Wa li-Llahi l-hamd !

Gema Takbir berkumandang di mana-mana, Masjid, Mushola, Radio, Televisi, dan seantero bumi Pertiwi. Bunyi petasan, kembang api pun ikut menyemarakkan malam Idul Fitri ini.
Canda, tawa, menghiasi wajah polos-polos itu. Sedangkan aku? Ah, haruskah ikut merayakan kemenangan bersama mereka? Tapi…

“Bri, ayo sini, jangan sendirian di situ, ” ajak Yanto. Aku pun bergabung bersama mereka.

“Bri, kamu kenapa? Sepertinya sedang tidak semangat,” tanya Husni.

“Aku sedih, Bunda belum juga pulang. Padahal sudah janji mau pulang sebelum Lebaran.” Tidak terasa air mataku mengalir, aku tak mampu membendungnya.
 Aku benar-benar rindu bunda, rindu sekali. Seandainya bunda tidak merantau, dan tetap di sini, tinggal bersama aku dan nenek, mungkin sekarang aku merasakan kebahagiaan seperti yang mereka rasakan.

“Sudah jangan sedih ya, Bri. Aku yakin Bunda kamu pasti pulang. Mungkin sekarang masih di perjalanan, terjebak macet.” Ismun berusaha menenangkanku.

“Lebih baik kita ikut Takbir keliling aja, pasti ramai,” usul Juni. Aku menganggukkan kepala tanda setuju.

Kami pun menuju mushola Darussalam. Ternyata yang ikut banyak sekali, kami langsung menyesuaikan barisan. Berkeliling kampung dengan membawa obor yang terbuat dari bambu. 

Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar !
La ilaha illa-Llah wa-Llahu akbar,
Allahu akbar Wa li-Llahi l-hamd !

Aku terbawa suasana, kesedihan yang sempat aku rasakan sirna, tergantikan canda-tawa, riang-gembira.
***
Tok...tok...tok...
"Assalamu'alaikum." Suara salam membuyarkan lamunanku yang masih terjaga meski jam dinding menunjukkan angka sebelas.

"Wa'alaikum salam," jawab nenek, sembari membukakan pintu. Aku pun keluar ingin melihat siapa yang datang.
"Bunda....," seruku seranya memeluk bunda.

"Aku rindu ,Bun." Tidak terasa air mataku mengalir

 “Iya Sayang, Bunda juga rindu sekali. Sudah jangan nangis, anak laki-laki harus kuat, tegar, tidak boleh cengeng.”
“Duh, anak Bunda sudah gede ya, sudah kelas lima. Bunda sampai pangling.”

“Makannya Bunda di rumah saja, biar tahu perkembangannya Febri,” celetukku.
Pelukan bunda malah semakin kencang, ada aliran basah yang menetes ke punggungku.
***
Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar !
La ilaha illa-Llah wa-Llahu akbar,
Allahu akbar Wa li-Llahi l-hamd !
Para penduduk berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan shalat Idul Fitri. Begitu juga dengan kami. Aku bergabung dengan teman-temanku.
“Duh senangnya, yang Bundanya baru pulang dari Jakarta,” ledek Yanto.
***
Rinduku pada bunda terobati sudah. Setelah lebaran usai, bunda akan meninggalkan kampung halaman lagi. Ah...seandainya bunda tahu, bahwa aku setiap saat selalau merindukannya. Tapi, bukankah  bunda bekerja juga demi masa depanku?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar