Senin, 31 Agustus 2015

Musim Kemarau

Jika musim kemarau tiba, sawah di kampungku kering hingga tekstur tanahnya retak-retak.
Kalian pernah gak ngalamin kakinya masuk ke retakan tanah (lungka) tersebut? Sakit.
Ya, dulu aku sering ngalamin kejadian yang kurang menyenangkan, yaitu kakiku terjebak di sela-sela tanah. Itu terjadi ketika aku dan adik menggembala Kambing. Karena Kambingnya lari-lari ke segala arah, kami pun mengejarnya. Alhasil kakiku terluka karena harus melewati sawah yang kering.


 

View: Fajar yang Indah di Kawasan Tebet

Nostalgia: Punthuk 'Kenangan Manis Bersama Kawan-Kawan'

Pohon kelapa ini terdapat di pekarangan Bapak. Letaknya di tepi sawah. Pemandangannya indah bukan?
Dulu semasa kecil, sehabis pulang sekolah aku dan kawan-kawan sering bermain di sini. Menikmati semilir angin yang memainkan rambut kami. Dari pohon kelapa ini kami bisa sepuasnya melihat para petani menggarap sawahnya. Jika musim panen, aku dan kawan-kawan turun ke sawah. Berlari-lari melewati pematang, atau bermain-main di tumpukan jerami kering.
Ah, masa kecil  yang indah.

Apalagi jika musim layang-layang, sawah dipenuhi para pecinta layang-layang. Dari anak-anak hingga orang dewasa. Mereka saling beradu mana yang lebih tinggi. Yang paling menghebohkan jika benang layang-layangnya putus, mereka saling berkejaran mengejar layang-layang.


Jika bercerita tentang tempat ini, mungkin tidak ada habisnya. Yang pasti pohon kelapa ini adalah saksi betapa dulu aku memiliki kawan sepermainan yang mengasyikkan. Selain menikmati semilir angin, kami pun bermain petak umpet, masak-masakan, rumah-rumahan, dan  duduk-duduk di pohon kelapa ini.
.

Lagu: Malam Indah

Nostalgia

 Hai, Sob. Kalian masih ingat nggak sama lagu yang judulnya 'Malam Indah'?
.
Kalau gak ingat kebangetan deh hehe
Sebenarnya aku juga sudah lupa lirik di bagian tengah. Sudah berusaha tanya ke teman gak ada yang tahu.
Tanya ke mbah google belum juga ketemu. Hufff.
.
Dan entah kenapa barusan pengin banget nanya lagi ke si Mbah. Alhamdulillah akhirnya nemu juga. smile emotikon
.
Oh iya.
Ini adalah lagu yang pernah Pak Haryoko ajari waktu kelas 2 SMP, sekitar tahun 2004-2005 (wow sudah 10 tahun ternyata grin emotikon ).
.
Buatku lagu ini sangat spesial. Tanya kenapa?
Aku juga kurang tahu grin emotikon
.
Bagi yang sudah lupa, ini dia liriknya.
.
Malam indah bulan purnama di
kala kuterpesona
Datanglah karib meminta diri
Untuk pergi tunaikan bakti
.
Meskipun berat menekan rasa kata
diucapkan
Namun 'tuk mu jua kusampaikan
Dengarkan petuah dan pesan
.
Sungguh suci murni citamu
Bak bunga belum layu
Mekarlah hatimu, kembang
sayapmu
Jauh pandangan hidupmu
.
Semoga dikau pergi tanpa
halangan dalam perjalanan
Semoga dikau kembali beserta
bingkisan pemberi harapan
Bingkisan pemberi harapan...

Lagu: Irama Desa

Ada sesuatu yang indah di lirik ini. Jika melantunkan lagu ini, ingatanku melayang ke masa SMP dulu.
Betapa saat itu kami menyanyikan lagu ini dengan khitmat.
Dan spesialnya, sewaktu perpisahan kelompokku kebagian lagu "Irama Desa", tapi sayang nadanya gak pada hafal, jadinya diganti lagu "Malam Indah".

Yuk kita bernostalgia bareng-bareng. Pastinya kalian  masih hafal nadanya, kan?

Irama Desa
.
Nun dibalik gunung, dusun
terkurung sunyi
.
Sukma merenung dengar
senandung serunai
.
Sayup dendang menghimbau gita
irama desaku
.
Insan hidup rukun memupuk
cinta alam di desa
.
Nun dibalik gunung dengar
senandung serunai

Minggu, 30 Agustus 2015

Kesabaran Seorang Ibu

Kesabaran Seorang Ibu
Oleh: Sitie CB

Sahabat, saya ingin bercerita tentang seorang ibu yang memiliki tujuh anak. Ia ingin sekali memperbaiki rumah yang kini keadaannya kian rapuh, tapi belum juga terealisasi hingga sekarang. Namun demikian, ia selalu bersabar.

Suatu hari di bulan Syawal.

Seorang ibu sedang mengobrol bersama kedua anak perempuannya di dalam kamar yang masih berdindingkan kayu.
Sebut saja anak perempuan itu A dan B, yang A (kakak) sudah merantau sedangkan si B (Adik) masih berstatus santri di sebuah pondok pesantren.

Awalnya mereka membicarakan hal-hal biasa, hingga sang ibu bercerita tentang keadaan rumah yang semakin lama semakin menua/rapuh.
Tiba-tiba matanya berkaca-kaca kala bercerita tentang orang-orang yang terlalu ikut campur dalam masalah rumah tersebut.

“Punya anak banyak kok belum bisa bikin rumah gedongan.” Begitu kira-kira yang orang lain katakan.

“Jujur, hati ibu sakit mendengar semua itu, Nak. Tidak mudah untuk mengganjal apalagi menahan rasa itu,” curhatnya sembari menempelkan tangan di dada, “kenapa mereka terlalu ikut campur? Padahal kita tidak pernah mempermasalahkannya, yang penting nyaman dan masih bisa ditinggali,” lanjutnya dengan linangan air mata.

Mengetahui sang ibu menangis, kedua anak perempuannya pun ikut menangis. Hati mereka terluka, dan tidak tega ketika ibu harus menahan rasa itu sendirian.

Kamar berukuran 2x3 meter yang awalnya senyap kini berubah ramai oleh suara tangis. Haru biru menyelimuti kediaman mereka. Dinding kayu yang kian rapuh itu menjadi saksi gendu-gendu rasa yang sedang tuan rumah bagikan kepada anak perempuannya.

“Meskipun belum bisa seperti mereka, kita harus sabar. Pokoknya harus sabar. Karena rezeki setiap orang itu berbeda-beda, Nak.”
Sang ibu mencoba menguatkan hati. Ia tahu, dibanding tetangga lain. Hanya ia lah yang memiliki anak banyak, dan sudah besar-besar namun rumahnya belum juga di bangun. Sedangkan yang hanya memiliki anak satu atau dua, sudah bisa membangun rumah.

Si A menganggukkan kepala sembari menghapus air mata.
“Maafkan aku, Bu. Bisanya cuma membantu segini.” Si A, perempuan yang kini berusia dua puluh empat itu menyodorkan amplop yang berisi uang gajinya.

“Ibu gak berharap banyak dari kalian, Nak. Ibu sabar, nggak ngoyo. Apalagi keempat kakakmu sudah menikah semua. Tinggal kalian bertiga,” jawab perempuan yang usianya berkisar lima puluh tahunan. Ia hanya bisa mengandalkan anak perempaunnya, si A dan si bungsu. Karena tinggal mereka berdualah yang kini masih merantau.

Ya, keempat anak laki-lakinya memang sudah berumah tangga semua. Jadi sang ibu tidak bisa berharap banyak dari mereka. Sedangkan ia dan sang suami yang pekerjaannya hanya petani biasa tidak mungkin bisa mengumpulkan uang untuk membangun rumah gedongan. Penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Maafkan aku, Bu. Aku bisanya hanya menyusahkan Ibu dan Bapak,” kata si B sembari menangis, “masih suka meminta-minta uang sama Bapak,” lanjutnya diiringi tangis yang kian menjadi.

Ternyata si B merasa bahwa selama ini ia bisanya hanya minta-minta. Sebagai santri, banyak kebutuhan yang harus ia penuhi, misalnya: membeli kitab, kebutuhan sehari-hari, membeli baju, membayar bulanan, belum lagi jika dari pondok mengadakan ziarah kubur. Dan itu memerlukan uang yang tidak sedikit.

Lalu sang kakak mencoba menenangkannya. Alhasil, bukannya berhenti tangisnya malah semakin menjadi.

“Ibu nggak minta apa-apa darimu, Nak. Kamu belajar saja yang tekun,” jawab sang ibu mencoba menenangkan anaknya.

“Ibu, meskipun belum bisa membantu dengan uang, tapi aku selalu mendoakan semoga kita diberi rezeki supaya bisa membangun rumah ini,” sahut si B yang kini berusia dua puluh satu tahun.

Setelah keadaanya mulai tenang, sang ibu keluar dari kamar. Ia meninggalkan kedua anaknya yang masih menangis, terutama si B. Mungkin sang ibu tidak tega melihat anak perempuannya menangis. Atau bisa jadi sang ibu ingin menumpahkan air matanya dalam kesendirian, seperti hari-hari yang lalu ketika semua anaknya tidak ada di rumah.

***
Nb: Tapi sobat, meskipun sudah berumah tangga, ternyata keempat anaknya tidak melupakan kewajibannya. Mereka bermusyawarah, memikirkan keadaan rumah. Bergotong-royong mengumpulkan dana supaya keinginan orang tuanya cepat terealisasi.
Kita doakan, semoga sang anak tetap bersatu untuk mewujudkan keinginan kedua orang tuanya. Aamiin.

Cerpen: WULAN



WULAN
Oleh: Marsiti
“Tak lelo lelo lelo ledung, cup menenga aja pijer nangis, anakku sing ayu rupane, nek nangis ndak ilang ayune, tak gadang bisa urip mulyo, dadiyo wanito utomo, ngluhurake asmane wong tuwa, dadiyo pendekaring bangsa, wis cup menenga anakku, kae mbulane ndadari …”

Tembang jawa itu semakin lama terdengar lebih jelas, seiring disingkabnya tirai lusuh di salah satu rumah, tempat tingggal kita dulu.
Sepasang mata sayu menatapku lekat-lekat. Senyum pun mengembang, meski tak kutemukan lagi semburat di wajahmu. 
Entah untuk yang ke berapa kalinya kulihat kau begini. Aku sedih, namun tak bisa berbuat apa-apa.Yang bisa kulakukan hanyalah menyambut tatap kerinduan dengan senyum terindahku. Karena, kita tak mungkin bersama lagi.
***
Seingatku, waktu seperti ini bukankah seharusnya sudah ada di surau untuk mengajari anak-anak mengaji? Karena aku tahu, itu adalah tugas yang diamanatkan Pak Amir, laki-laki pemikul tulang punggung kita sebelum ia tiada. 
Lamat-lamat terdengar suara sesenggukan. Ah itukah kau? Tapi apa sebab? Bukankah kau sudah mengikhlaskan semuanya?
Tapi, aku pun tak mampu membaca pikiranmu. Sungguh, jika saja Tuhan mengizinkan kita kembali bersama, takkan kubiarkan hari-hari dipergunakan untuk mengeluh, meratapi nasib yang telah Tuhan gariskan untuk hidupku.
Apakah mungkin ada masalah yang sedang kau hadapi? Menyeruak pertanyaan itu dalam hati. Entahlah.
Berharap, sebentar lagi tubuh ringkih yang kau topang berbalik membelakangiku. Sungguh, aku tak tega melihat kau sesedih itu.
“Lan, emak ke surau dulu.” Kau pamit sembari menutup tirai biru, kala aku sedang asyik dengan dunia baruku.
“Emak,” lirihku, begitu tangis haru terdengar dari balik tirai kamarku.
***
Sepulang dari surau, kau memperhatikanku lagi, lama. Tak bosan-bosannya memandangiku, hingga bibir ini tersenyum bahagia.
“Lan, seandainya kamu masih di sini. Tentu emak tak akan kesepian,” lirihmu sembari memegang foto terakhirku saat mengenakan seragam putih abu-abu.
Seketika mata ini terasa dimasuki pasir, kukerjap-kerjapkan, tapi entah kenapa tak ada airmata yang keluar. Huf. Sekarang bukan lagi aku yang dulu, sadarku.
“Tenang saja, Mak. Aku akan selalu ada di sini, kecuali jika …,” kata-kataku terhenti, rasanya tak sanggup meneruskannya lagi, “kau pasti tahu, Mak,” lanjutku.
***
Dua tahun yang lalu.
Sebelum usiaku genap tujuh belas tahun, kau selalu bilang aku ini cantik. Senyumku bak bulan sabit yang mampu menyinari bumi.
"Benarkah itu, Mak? Tapi, kenapa mereka tetap memandangku aneh?" tanyaku setiap kali pulang sekolah.
"Karena mereka hanya melihat dari sisi kekuranganmu saja, Sayang." Selalu itu yang dikatakan, diiringi senyum, meski kutahu, dalam hati kau menangisi takdirku.

Terkadang aku bosan dengan hidup seperti ini. Memiliki tubuh yang tak sempurna membuat hari-hari di sekolah bagaikan neraka, selalu menjadi bahan olok-olokan teman. Meski sudah kuperjelaskan bahwa penyakitku adalah murni keturunan, tapi mereka seolah tak mau mendengarkan. Tetap saja, di mata mereka, aku adalah gadis yang aneh.
Perlakuan mereka membuatku frustasi. Setiap harinya kukurung diri di kamar. Menangis, menyesali nasib yang tak sebaik mereka. Mogok makan, tak mau sekolah, pasrah dan mudah menyerah. Bahkan, aku sempat mengatakan bahwa Tuhan tidak adil. Setiap kali bergaul dengan teman-teman sebaya dalam keseharian, selalu saja aku minder, merasa diri adalah yang terburuk, sangat berbeda dan tidak dapat berbuat seperti mereka.

Betapa tidak, di saat mereka tumbuh dan sedang seru-serunya menjalani masa puber, aku masih seperti anak-anak, tak ada perubahan fisik kecuali usia semakin menua, dan ditambah keadaan fisik yang mudah lemah. Di situ kadang aku merasa sedih.
Hingga suatu hari aku melihat kau tak seperti biasa, wajahmu pucat. 
“Emak kenapa?” tanyaku lirih.
Tiba-tiba kau memelukku, erat.
“Nduk, kamu gak boleh begini. Emak jadi sedih kalau kamu terus-terusan mengurung diri seperti ini.” Kau jawab diiringi sesenggukan, hingga tak terasa, pundakku basah oleh airmata yang tak mampu kau bendung lagi. 
Ah, kau memang selalu punya cara untuk  membuatku menyesali perbuatan bodoh ini. Walaupun aku tahu, itu adalah murni naluri seorang ibu.
“Sekali lagi, maafkan emak, Nduk,” tangismu kian pecah.
Aku jadi merasa bersalah. Kau pasti sedih, memikirkanku yang sampai saat ini masih belum bisa menerima penyakit bawaan dari orang yang telah meninggalkan kita, empat tahun lalu.
“Tapi emak tetap bangga punya anak seperti Wulan,” lanjutmu sembari mencium keningku, lalu kau menggendong tubuh yang hanya setinggi pinggang orang dewasa ini.
Aku tersenyum. Meskipun dalam hati tetap merasa hanya si kerdil yang lemah. Tak bisa berbuat apa-apa selain menyusahkanmu. Apalagi tentang transfusi darah yang harus kujalani seumur hidup, pasti beban yang kau tanggung akan semakin bertambah, meski semua biaya ditanggung oleh Yayasan Thalasemia. Tapi, untuk bolak-balik ke rumah sakit, kau harus menguras tabungan selama bekerja sebagai buruh tani.

“Mak,” tanyaku saat kau menemani tidur.
“Iya, Nak.”
“Kenapa Tuhan menciptakanku seperti ini? Aku malu sama teman-teman. Mereka gak ada yang mau berteman dengan Wulan.” 
Ya, aku malu. Malu dengan kejadian di saat Dani, teman SMA mengolok-olokku.
“Hai, lihat! Ada manusia planet di kelas kita,”  teriaknya diiringi tawa.
Sontak saja seluruh siswa di kelas ikut menertawakanku. Itulah sebab mengapa aku tak mau masuk sekolah.
Aku memang manusia aneh! Batinku mengiyakan.
Kulihat kau menghela napas, sedetik kemudian kau pejamkan mata, seolah sedang berpikir.
“Nduk, keadaan fisik mu memang tidak sempurna seperti orang lain, akan tetapi kamu diberi akal dan pikiran yang sama oleh Tuhan. Gunakanlah itu sebagai pelengkap kekurangan yang kamu miliki, Sayang,” jawabmu dengan senyum bahagia.
Seketika aku menangis dalam pelukanmu. Dengan penuh perhatian, kau mengusap-usap rambutku sembari menyanyikan tembang jawa penghantar tidur. Hingga aku terlelap, untuk selamanya.

***
========================selesai================================
* “Tak lelo lelo lelo ledung, cup menenga aja pijer nangis, anakku sing ayu rupane, nek nangis ndak ilang ayune, tak gadang bisa urip mulyo, dadiyo wanito utomo, ngluhurake asmane wong tuwa, dadiyo pendekaring bangsa, wis cup menenga anakku, kae mbulane ndadari …”: “Tak lelo lelo lelo ledung, sudahlah jangan menangis anakku,
Anakku yang cantik [bagus] rupanya, kalau menangis hilang cantiknya [bagusnya]
Kelak nanti bisa hidup mulai, jadilah wanita [pria] utama
mengharumkan nama orang tua, jadilah pendekar bangsa
sudahlah jangan menangis anakku, lihatlah rembulan bersinar terang …”